Kepergok

POV Sherly

Aku duduk diam di kursiku, mencoba menyembunyikan rasa gelisah yang tiba-tiba menyeruak. Perkenalan Ibu Kirana dengan para peserta rapat baru saja dimulai. Satu per satu, orang-orang di ruangan ini menyambutnya dengan ramah, memperkenalkan diri dengan nada profesional, hingga akhirnya giliran Pak Ariel.

Pak Ariel berdiri, posturnya yang tinggi tegap terlihat begitu elegan meski gerakannya masih sedikit pelan. Ia menjulurkan tangan ke arah Ibu Kirana dan berkata dengan suara hangat, "Ariel Nathan, manajer keuangan. Selamat bergabung, Bu Kirana. Saya harap kerja sama kita akan berjalan lancar."

Senyumnya—yang sering kali jarang terlihat oleh orang lain—kali ini muncul dengan cara yang sangat alami. Aku memperhatikan Ibu Kirana, dan, entah kenapa, aku merasa dia sedikit terpukau. Tatapannya pada Pak Ariel lebih lama daripada pada orang lain sebelumnya, dan ekspresinya menunjukkan kekaguman yang jelas.

"Terima kasih, Pak Ariel. Saya yakin kita bisa bekerja sama dengan baik," jawab Ibu Kirana dengan nada percaya diri, namun masih menyiratkan kehangatan.

Ada sesuatu dalam interaksi itu yang membuatku merasa aneh. Bukan hanya karena Ibu Kirana tampak terkesan dengan Pak Ariel, tetapi juga karena Pak Ariel terlihat… berbeda. Aura ramah dan percaya diri itu tampak begitu kuat. Tidak ada jejak ketegangan atau ketidaknyamanan yang biasanya terlihat ketika ia berada di hadapan orang baru.

Dan kemudian, pikiran itu datang, seperti sebuah pukulan yang tiba-tiba. Apakah Pak Ariel… tertarik pada Ibu Kirana?

Aku mencoba menepis dugaan itu, tapi bayangan tentang bagaimana Pak Ariel memperlakukanku saat pertama kali kami bertemu menghantui pikiranku. Dingin, jauh, seolah-olah aku adalah seseorang yang sama sekali tidak berarti baginya.

Tapi kini, di hadapanku, dia adalah sosok yang sangat berbeda. Hangat, ramah, dan, mungkin, memikat.

Aku menunduk, menghindari perasaan aneh yang mulai menggeliat di dalam dadaku. Mungkin itu hanya aku yang terlalu sensitif. Tapi, aku tidak bisa mengabaikan fakta bahwa kehangatan dan kharisma itu terasa begitu nyata—dan Ibu Kirana, seperti orang lain di ruangan ini, tampaknya tidak kebal terhadapnya.

Apa yang sebenarnya membuat Pak Ariel berubah seperti ini? Apakah karena dia merasa lebih nyaman? Atau… apakah aku terlalu banyak berasumsi?

Aku menghela napas pelan, mencoba meredakan kekacauan di pikiranku. Tidak ada gunanya memikirkan hal ini sekarang. Yang jelas, Ibu Kirana akan menjadi bagian dari perusahaan ini, dan aku harus menerima apapun dinamika yang mungkin terjadi.

Yang penting, aku hanya staf. Dan Pak Ariel? Dia adalah seseorang yang memiliki dunianya sendiri—dunia yang, mungkin, tidak akan pernah bisa benar-benar kumasuki.

Aku belum sempat benar-benar mencerna perkenalan tadi ketika tiba-tiba suara pak Ariel terdengar pelan, tetapi cukup jelas untuk membuat pikiranku terhenti.

"Ibu Kirana itu bukan tipe wanita masa depan saya," katanya, dengan nada setengah bercanda namun cukup serius untuk membuatku menoleh dengan cepat.

Mataku langsung tertuju pada wajahnya. Pak Ariel tersenyum kecil, senyuman yang jarang terlihat di wajahnya, tapi setiap kali muncul, selalu terasa... berbeda. Seolah-olah ia sedang menantangku untuk memahami maksud di balik ucapannya.

Aku merasa pipiku memanas tanpa alasan yang jelas. "Maksud, Pak?" tanyaku, berusaha terdengar biasa saja, tetapi aku tahu suaraku sedikit bergetar.

Pak Ariel tidak menjawab, hanya mengangkat alis dan menggeser pandangannya ke arah lain, seolah membiarkanku mencari sendiri jawabannya. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa seakan-akan dia tahu sesuatu—sesuatu yang aku sendiri belum sadar.

Aku menundukkan wajahku, memandangi buku catatan di tanganku. Aku mencoret-coret sesuatu di sudut halaman tanpa pola, mencoba mengalihkan pikiran. Tapi pikiran itu tak mau pergi begitu saja.

Bagaimana bisa dia tahu aku sedang memikirkannya?

Kejadian ini bukan yang pertama. Aku sudah beberapa kali mendapati pak Ariel mengucapkan sesuatu yang terasa... nyambung dengan apa yang ada di pikiranku. Mulai dari pertanyaan, lelucon, hingga hal-hal kecil yang sepertinya tak mungkin ia tebak, tapi ia selalu tepat.

Aku menghela napas pelan, berusaha tenang, meskipun aku tahu otakku mulai melangkah ke arah yang aneh. Apa mungkin dia punya indera keenam? Atau telepati?

Aku menggelengkan kepala. Aku tahu ini teori gila, tapi tidak ada penjelasan logis lain. Orang normal tidak mungkin bisa membaca pikiran seseorang sampai sedetail itu, kan? Atau... mungkin aku yang terlalu mudah ditebak?

Pandanganku melirik ke arahnya. Ia terlihat biasa saja sekarang, kembali serius menatap layar ponselnya. Tidak ada tanda-tanda ia habis mengatakan sesuatu yang membuatku mempertanyakan kewarasan sendiri. Aku mengerutkan kening dan mengalihkan pandangan.

Pak Ariel memang misteri yang tidak akan mudah kutemukan jawabannya.

***

Aku baru saja melangkah keluar dari mini market, tas belanja kecil berisi pembalut tergenggam erat di tanganku. Langkahku terburu-buru, karena meski sudah berada di lingkungan kantor, rasanya aku ingin kembali ke ruangan secepatnya, sebelum ada yang menyadari aku pergi terlalu lama.

Namun, langkahku terhenti di dekat area parkir. Seorang pria berdiri tidak jauh dari pintu masuk, wajahnya terasa begitu familiar. Aku memicingkan mata, mencoba memastikan. Saat itu juga, aku tahu.

Bang Leon?

"Bang Leon?" aku memanggil, lebih keras dari yang seharusnya.

Pria itu menoleh, tampak terkejut luar biasa. Matanya membelalak saat melihatku. Tidak butuh waktu lama baginya untuk mengenali wajahku, aku bisa melihat itu dari ekspresinya yang perlahan berubah.

"Sherly?" tanyanya, seakan memastikan.

Aku mengangguk dan tersenyum. "Iya, ini aku. Sherly. Apa kabar, Bang Leon?"

Bang Leon masih terlihat sedikit kebingungan, tapi ia balas tersenyum tipis. "Baik, baik... Wah, nggak nyangka banget ketemu kamu di sini. Udah lama banget, ya."

Aku tertawa kecil. "Iya, lama banget. Nggak nyangka juga bisa ketemu Bang Leon di sini." Aku mengamati wajahnya yang masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya, hanya sedikit lebih dewasa. "Ngapain di sini, Bang? Ada urusan di perusahaan ini?" tanyaku penasaran.

Bang Leon terlihat sedikit gelisah, seolah sedang berpikir keras untuk menjawab. "Eh... Iya, aku tadi mau pastikan soal lowongan kerja di sini. Dengar-dengar ada lowongan buat orang seusia aku. Tapi ternyata hoax. Jadi ya udah, mau balik aja."

Aku mengangguk pelan, merasa jawaban itu cukup masuk akal. "Oh, begitu. Ya, sayang banget kalau nggak ada. Tapi... ngomong-ngomong, Bang Leon, gimana kabarnya Dwi? Dia baik-baik aja kan?" tanyaku, mataku berbinar penuh harap.

Wajah Bang Leon langsung berubah. Ia tampak tergagap sesaat, lalu mengangguk cepat. "Dwi? Oh, iya, dia baik-baik aja kok. Masih... sehat-sehat."

Jawabannya membuatku mengernyit. Ada sesuatu dalam cara dia menjawab yang terasa tidak meyakinkan, tapi aku mencoba mengabaikannya. "Sekarang Dwi di mana, Bang? Aku udah lama banget nggak dengar kabarnya. Kangen banget, loh," ujarku, mencoba menahan rasa penasaran yang semakin memuncak.

Bang Leon menggaruk tengkuknya, tampak semakin gelisah. "Eh, dia sekarang lagi di luar kota. Tapi dia pesan... nggak mau ada yang tahu dia di mana. Jadi... maaf ya, aku nggak bisa kasih tahu lebih banyak."

Jawaban itu terasa ganjil, tapi aku tidak ingin menekannya lebih jauh. "Oh, ya udah deh, nggak apa-apa. Kalau ketemu Dwi, bilang ya... aku titip salam," ucapku, mencoba tersenyum meski rasa penasaran terus menggumpal di dadaku.

Bang Leon mengangguk cepat. "Pasti, pasti. Aku sampaikan. Ya udah, aku mau jalan dulu. Hati-hati, Sherly."

Sebelum aku sempat membalas, Bang Leon sudah melangkah pergi dengan tergesa-gesa, meninggalkan jejak kejanggalan yang belum sempat aku uraikan.

Aku memandangi punggungnya yang semakin menjauh, lalu menghela napas. Ada apa sebenarnya dengan Dwi? Sesuatu dalam cara Bang Leon berbicara membuatku yakin dia sedang menyembunyikan sesuatu.

Aku menggenggam tas belanja kecilku lebih erat, berusaha menenangkan pikiran. Tapi, semakin aku mencoba melupakan pertemuan singkat tadi, semakin rasa penasaran itu tumbuh dalam diriku.

***