Kirana Salim

POV Sherly

Pagi ini, aku cukup terkejut saat sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah. Pak Ariel keluar dari kursi penumpang dan melambai kecil ke arahku. Aku tidak menyangka beliau benar-benar akan menjemputku. Di belakang kemudi, aku bisa melihat Pak Agus tersenyum sopan, seperti biasa.

"Selamat pagi, Sherly," sapa Pak Ariel dengan nada santai, seraya membukakan pintu mobil untukku.

"Selamat pagi, Pak Ariel," jawabku, mencoba menyembunyikan rasa canggung yang muncul. Aku naik dan duduk di kursi belakang, sementara beliau kembali ke kursi penumpang di depan.

Perjalanan dimulai, dan aku tidak bisa menahan diri untuk mencuri pandang ke arah Pak Ariel. Beliau tampak lebih segar dibandingkan terakhir kali aku melihatnya di kantor, tapi... tetap saja, kulitnya masih terlihat pucat. Kekhawatiran langsung muncul di pikiranku.

"Pak Ariel, apa Bapak sudah benar-benar sehat? Tidak terlalu memaksakan diri, kan?" tanyaku akhirnya, berusaha terdengar santai meski nada khawatirku terasa jelas.

Beliau menoleh sedikit, lalu tersenyum kecil. "Sherly, kamu ini seperti nenek-nenek saja. Khawatir terus."

Aku mengerutkan kening, merasa sedikit bingung dengan jawabannya. Sebelum aku sempat berkata apa-apa, beliau melanjutkan, kali ini dengan nada bercanda, "Kulit saya memang begini, Sherly. Secara alami memang agak pucat. Kamu lupa ya?"

Aku terkekeh pelan, merasa sedikit lega melihat beliau bisa bercanda seperti itu. "Oh iya, maaf, Pak. Saya pikir efek dari sakit kemarin."

"Tidak apa-apa. Terima kasih sudah peduli," balas beliau ringan, lalu menoleh ke Pak Agus. "Pak Agus, bagaimana kabar keluarga? Anak bungsu masih senang main bola di sore hari?"

Percakapan mereka berlanjut, tetapi aku merasa sedikit berbeda hari ini. Entah bagaimana, suasana di dalam mobil terasa lebih hangat. Rasanya aku tidak terlalu canggung lagi untuk berbicara dengan beliau. Bahkan aku sempat menimpali beberapa candaan, dan beliau merespons dengan tertawa kecil.

Mungkin... karena beliau sedang tidak terlihat seperti seorang atasan yang keras dan tegas. Pak Ariel pagi ini terlihat lebih seperti... seorang teman perjalanan.

Begitu mobil berhenti di area parkir kantor, aku segera keluar, diikuti oleh Pak Ariel. Beliau berjalan pelan, dan tanpa perlu bertanya, aku tahu pasti alasannya. Langkahku otomatis menyesuaikan ritme langkahnya, menjaga agar kami tetap sejajar. Aku mencoba membuat suasana terasa ringan dengan membuka percakapan kecil.

"Pak Ariel, apa rencana hari ini padat seperti biasanya?" tanyaku, sedikit basa-basi.

Beliau menoleh dan tersenyum tipis. "Tidak terlalu, hanya satu agenda penting nanti pagi."

Aku mengangguk kecil, meskipun dalam hati masih penasaran apa maksudnya. Kami berjalan perlahan menuju pintu depan, dan sesampainya di sana, security serta resepsionis langsung menyapa dengan antusias.

"Selamat, Pak Ariel, atas acara pertunangannya! Semoga lancar sampai hari H!" kata mereka hampir bersamaan, dengan senyum lebar di wajah mereka.

Aku hampir terpaku di tempat. Tapi saat melihat Pak Ariel hanya tersenyum ramah dan membalas, "Terima kasih," aku sadar bahwa aku juga harus ikut berakting. Aku memasang senyum kecil dan menganggukkan kepala, seolah semua itu adalah kenyataan yang tak perlu dipertanyakan.

Aku tidak tahu bagaimana caraku berhasil tetap tenang, tapi entah mengapa, aku tidak merasa terganggu dengan kebohongan ini. Justru, melihat Pak Ariel yang terlihat begitu santai membuatku berpikir... mungkinkah ia sudah terbiasa menjalani peran seperti ini?

Kami akhirnya tiba di depan ruangan bertuliskan "Manajer Keuangan". Pak Ariel mengeluarkan ID card-nya, lalu menempelkannya di sensor. Pintu terbuka otomatis, dan kami masuk ke dalam. Suasana ruangannya masih sepi. Bu Risti rupanya belum datang.

Pak Ariel duduk di kursinya, sementara aku mengambil tempat di mejaku sendiri. Beliau menarik napas panjang, lalu menatapku. "Sherly, nanti pagi akan ada pertemuan dewan direksi. Karena kondisi saya belum benar-benar pulih, saya ingin kamu ikut menemani saya di sana."

Aku langsung menegakkan punggung, sedikit terkejut dengan permintaannya. Tapi aku segera mengangguk. "Tentu, Pak. Apa yang perlu saya siapkan?"

"Tidak perlu apa-apa," jawab beliau santai. "Pertemuan itu hanya untuk memperkenalkan manajer operasional trainee baru."

Aku hanya mengangguk lagi, tapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatku berpikir. Rasanya... seperti ada hal besar yang akan terjadi. Aku tidak tahu apa itu, tapi firasatku berkata aku harus tetap waspada.

Lima menit setelah kami tiba, pintu ruang manajer terbuka, dan Bu Risti melangkah masuk. Ia sempat terhenti sejenak, mungkin karena terkejut melihat Pak Ariel sudah berada di ruangan. Namun, keterkejutannya segera tergantikan dengan senyuman tulus.

"Selamat, Pak Ariel, atas pertunangannya. Saya ikut bahagia mendengar kabar baik ini," ucapnya dengan nada hangat.

Aku melirik Pak Ariel, yang seperti sebelumnya, hanya tersenyum ramah dan menjawab dengan sopan, "Terima kasih, Bu Risti."

Aku hampir kagum dengan betapa lancarnya beliau menjalani peran ini. Tidak ada sedikit pun keraguan atau ketegangan di wajahnya, seperti semua itu adalah bagian dari rutinitas sehari-hari.

Bu Risti kemudian mengalihkan perhatiannya pada sebuah tablet yang ia bawa, tampak memeriksa sesuatu sebelum menatap Pak Ariel lagi. "Oh ya, Pak, nanti ada rapat dewan direksi pukul 09.00. Mohon diingat untuk hadir, karena ini agenda penting."

Nada bicaranya sopan, bahkan sedikit hati-hati. Namun, respons beliau justru membuatku tertegun.

"Ah, terima kasih sudah memberitahu saya, Bu," katanya dengan ekspresi sedikit terkejut, seolah beliau baru mendengar kabar itu.

Aku tahu itu tidak benar. Pak Ariel sudah memberitahuku tentang rapat ini beberapa menit yang lalu. Tapi melihat bagaimana beliau menanggapi informasi itu dengan penghargaan, meski sebenarnya tidak perlu, membuatku menyadari sesuatu.

Beliau tidak berpura-pura karena alasan tak berarti. Itu hanya caranya menghargai usaha orang lain, sekecil apa pun. Aku tidak yakin banyak orang di posisi seperti beliau yang mau melakukannya. Biasanya, orang dengan jabatan tinggi seperti itu cenderung mengabaikan hal-hal kecil semacam ini. Tapi tidak dengan Pak Ariel.

Aku memperhatikan beliau dari tempat dudukku. Pak Ariel kembali sibuk dengan layar laptopnya, seolah-olah percakapan tadi tidak terjadi. Tapi bayangannya masih tertinggal di pikiranku.

Hati yang tulus dan penyayang... Itu yang kurasakan tentang pak Ariel. Namun, entah kenapa, beliau memilih untuk menyembunyikannya di balik sikap profesional dan kadang dinginnya.

Dan entah bagaimana, menyadari sisi itu membuat perasaanku terhadap pak Ariel menjadi sedikit lebih dalam. Aku tidak tahu apakah ini hal yang benar untuk dirasakan, tapi aku tidak bisa mengelaknya.

***

Pukul sembilan tepat, aku dan Pak Ariel sudah berada di ruang rapat lantai tiga. Ruang ini berbeda dari ruang rapat biasa, lebih luas dengan meja oval besar yang mengelilingi monitor layar lebar di tengahnya. Para direksi satu per satu memasuki ruangan, wajah mereka serius seperti sedang mempersiapkan diskusi yang penting.

Pandangan mataku berhenti pada seorang wanita berpenampilan rapi yang duduk di sisi kanan meja, tepat di samping kursi yang biasanya ditempati oleh Direktur Operasional. Wanita itu berdiri begitu kami masuk. "Selamat pagi, Ibu Kirana," ucap salah satu anggota dewan, suaranya ramah namun tegas.

Wanita itu, tersenyum tenang. "Selamat pagi," balasnya sambil sedikit menundukkan kepala.

Aku memperhatikan sikapnya. Tegap, penuh percaya diri, namun tetap sopan. Sepertinya inilah gaya khas seorang pemimpin berpengalaman. Dia mengenakan blazer abu-abu sederhana, tapi raut wajah dan caranya membawa diri memancarkan aura kharismatik.

Aku duduk sedikit di belakang, tempat yang sengaja dipilih Pak Ariel untuk kami berdua. "Kamu cukup dengarkan saja," katanya tadi, membuatku merasa lega sekaligus penasaran.

Pak Hasyim membuka pertemuan dengan suara yang tenang tapi tegas. Dia memulai dengan menyampaikan evaluasi kinerja tahunan, khususnya pada divisi operasional. Penjelasan tentang rotasi posisi dan demosi terhadap manajer operasional lama disampaikan dengan bijak, menunjukkan bahwa keputusan ini diambil demi efisiensi dan keberlanjutan perusahaan.

"Kami sangat menghargai dedikasi beliau selama ini, namun setelah menganalisis bidang keahlian dan performa kerja, kami memutuskan untuk menempatkan beliau sebagai supervisor. Posisi ini akan lebih sesuai dengan kemampuan beliau dan mendukung kebutuhan divisi operasional."

Aku melirik ke arah Pak Ariel. Dia mendengarkan dengan sikap santai, tangannya bertumpu pada meja. Tapi aku menangkap pandangannya yang sedikit menerawang, seolah sedang memikirkan sesuatu.

Lalu, Pak Hasyim melanjutkan dengan memperkenalkan sosok pengganti. "Kami juga ingin memperkenalkan Kirana Salim, manajer operasional trainee baru yang akan memulai masa pelatihannya hari ini. Beliau memiliki latar belakang yang luar biasa, termasuk pengalaman sebagai asisten manajer operasional di perusahaan internasional berbasis di Amerika."

Ibu Kirana kembali berdiri, tersenyum sopan ke arah semua yang hadir. "Terima kasih atas kepercayaan yang diberikan. Saya berharap dapat belajar banyak dari Bapak dan Ibu sekalian selama masa transisi ini, dan saya akan melakukan yang terbaik untuk memberikan kontribusi maksimal," ucapnya dengan nada yang jelas dan penuh keyakinan.

Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku. Aura karismanya begitu kuat, seperti seseorang yang tahu persis apa yang dia inginkan dan bagaimana mencapainya.

Para direksi menyambut dengan anggukan, beberapa bahkan memberi tepuk tangan kecil. Aku melirik ke arah Pak Ariel lagi. Kali ini, dia tidak menyembunyikan rasa penasarannya.

"Impresif," gumamnya pelan, cukup untuk kudengar.

Pertemuan berjalan dengan agenda lain setelah itu, tapi pikiranku masih tertuju pada ibu Kirana. Tidak hanya karena pengaruhnya yang kuat di ruangan ini, tapi juga karena satu hal yang terus berputar di kepalaku—bagaimana wanita seperti dia bisa membawa perubahan besar di perusahaan ini?