Siapa Dia?

POV Sherly

Tangan ku terasa kaku saat aku membuka layar ponselku. Sudah cukup lama sejak aku mengirim pesan kepada Dwi, dan malam ini, akhirnya, sebuah notifikasi muncul. Aku merasa ada beban yang aneh di dada, seperti ada sesuatu yang aku tahu akan membuat hatiku semakin berat. Dengan ragu, aku membuka chat itu.

Dwi: "Aku memang mengenal orang yang ada di kantor tempat kamu bekerja, tapi aku belum bisa menceritakannya sekarang dengan lengkap."

Aku terperanjat. Jantungku seperti terhenti sesaat, dan seketika pikiranku mulai berpacu, mencari-cari penjelasan yang rasional. Jadi, memang benar? Dwi memang mengenal Juan, itu pasti. Teoriku selama ini sepertinya mulai menemukan titik terang, dan itu membuat perasaanku semakin kacau.

Kenapa dia harus membalas seperti itu? Kenapa tidak bisa memberitahuku lebih jelas? Apa yang dia sembunyikan? Kenapa dia tidak bisa jujur padaku? Semua pertanyaan itu berputar di kepalaku tanpa henti. Rasanya aku ingin berteriak, ingin melemparkan ponselku jauh-jauh. Tapi aku hanya diam, menatap layar itu dengan tatapan kosong.

Mungkin aku terlalu naif. Mungkin aku sudah terlalu percaya pada seseorang yang seharusnya tidak bisa aku percayai. Dwi, pria itu, sepertinya bukanlah orang yang bisa kupercayakan segalanya. Apa yang dia katakan, apa yang dia lakukan, semuanya membingungkan, dan itu hanya semakin membuatku ragu.

Dengan cepat, aku menutup layar ponsel dan meletakkannya di samping tempat tidur. Aku tidak ingin lagi berkomunikasi dengannya. Tidak sekarang, tidak dalam kondisi seperti ini. Bagaimana bisa aku terus berhubungan dengan seseorang yang tidak jelas? Seseorang yang memilih untuk menyembunyikan sesuatu yang besar dariku? Itu saja sudah cukup membuat hatiku terasa kosong.

Aku menarik selimut ke tubuhku, mencoba menenangkan diriku, mencoba untuk tidur meskipun pikiranku terus berputar. Rasanya sulit sekali untuk bisa memejamkan mata. Semua ini terlalu membingungkan. Semua ini terasa seperti jebakan yang aku buat sendiri. Tapi aku tahu satu hal: aku tidak ingin terjebak lebih jauh. Aku perlu menjaga jarak. Mungkin untuk sementara, mungkin untuk selamanya.

Aku memaksakan diri untuk menutup mata, meskipun hatiku terasa hampa.

***

POV Dwi

Aku bersandar di board tempat tidur, merasakan beratnya perasaan yang tidak bisa aku jelaskan. Ponselku tergeletak di sampingku setelah aku mengirim pesan kepada Sherly. Rasanya, setiap kata yang kutulis itu semakin mengikatku dalam kebingunganku sendiri. Aku tahu pesan itu tidak akan membuatnya merasa lebih baik. Aku bahkan merasa bahwa aku sedang berbohong, meskipun itu setengah benar. Tetapi, untuk saat ini, aku tidak bisa mengatakannya dengan jelas. Tidak padanya. Tidak sekarang.

Jantungku terasa seperti dihimpit, sakitnya mulai semakin intens sejak sore tadi. Sesuatu di dalam diriku merasa kosong, terhimpit oleh beban yang semakin berat. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi semakin lama aku mencoba tenang, semakin kuat rasa sakit itu menyerang. Aku meraih botol kecil obat yang selalu ada di samping tempat tidurku. Dengan tangan gemetar, aku membuka penutupnya dan meminum obat-obat itu, yang seolah menjadi satu-satunya cara agar aku bisa berfungsi seolah-olah baik-baik saja.

Aku kembali menatap laci meja samping tempat tidurku, tempat berbagai jenis obat tergeletak rapi. Obat-obat yang harus kutelan agar tubuhku bisa tetap berjalan, agar aku bisa tampil "normal" di depan orang lain. Seolah-olah aku tidak sedang hancur di dalam. Seolah-olah aku tidak merasa terperangkap dalam setiap pilihan yang pernah kuambil. Setiap pil yang kutelan adalah simbol dari keputusasaanku. Menghindari kenyataan, menghindari perasaan yang sesungguhnya.

Sebuah senyum pahit meluncur dari bibirku. Apa yang harus kuharapkan? Apa yang harus kukatakan pada diri sendiri agar bisa tidur dengan tenang malam ini? Semua terasa absurd. Aku mematikan lampu kamar dan merosot ke bawah selimut, mencoba untuk tidur meskipun pikiranku terus menerus berputar.

Aku memejamkan mata, tetapi rasa sakit di dadaku tak kunjung hilang. Itulah yang selalu kuhadapi: mencoba tidur dengan luka yang tak terlihat, berjuang untuk sembuh dengan cara yang tidak pernah cukup.

***

POV Sherly

Dua hari libur yang kuharapkan bisa menjadi pelarian dari segala pikiran tentang Dwi ternyata berubah haluan pagi ini. Cindy datang dengan segala drama khasnya, merengek-rengek seperti anak kecil yang kehilangan mainannya. Aku tahu dia sangat manja, tapi kali ini nada suaranya memancarkan ketulusan.

Dia memintaku menemaninya ke luar kota, katanya untuk membantu penelitian. Membagikan kuesioner ke masyarakat? Aku bahkan tak bisa membayangkan Cindy yang biasanya canggung itu berinteraksi dengan orang-orang asing sendirian. Dalam hati aku ingin menolak, tapi melihat raut wajahnya yang hampir memohon, aku tak sanggup. Cindy adalah sahabatku—seseorang yang selalu ada untukku, jadi bagaimana aku bisa menolak saat dia membutuhkan?

"Baiklah," akhirnya aku menyerah, meski dalam hati bertanya-tanya bagaimana jadinya kalau kami benar-benar berangkat.

Aku segera mulai berkemas, memasukkan pakaian ke dalam ransel kecil sambil berpikir bahwa mungkin ini adalah ide bagus. Dua hari jauh dari rumah, dari ponselku, dan dari pikiran tentang Dwi. Ya, ini bisa jadi kesempatan untuk melupakan. Setidaknya untuk sementara.

Sebelum pergi, aku menyempatkan diri berpamitan pada Ibu. "Dua hari saja, Bu. Aku cuma menemani Cindy," kataku, berusaha terdengar ringan. Ibu mengangguk sambil tersenyum, meski aku tahu beliau sedikit khawatir dengan keputusanku yang tiba-tiba ini.

Saat pintu rumah tertutup di belakangku, aku merasa seolah meninggalkan sepotong beban di sana. Aku berharap, dengan sibuk membantu Cindy, aku tak lagi punya waktu untuk memikirkan Dwi—atau tentang bagaimana perasaanku yang kacau setiap kali mengingatnya. Mungkin dengan begitu, aku bisa bernapas lebih lega.

***

POV Ariel

Sarapan pagi ini terasa sedikit berbeda. Kemarin aku makan sendirian di kamar, menikmati ketenangan dengan segelas jus dan roti panggang. Tapi pagi ini, aku memutuskan untuk keluar. Langkahku pelan, masih terasa sedikit nyeri dan tak sepenuhnya bertenaga, meski kemarin aku sudah berusaha untuk sedikit bergerak. Telingaku menangkap percakapan ringan antara Papa dan Pak Agus, yang duduk di meja makan. Mereka berbicara tentang wanita yang dijemput Pak Agus semalam di bandara.

Aku menatap mereka dengan penuh perhatian, tapi ada sedikit kekosongan di dalam diri. Mama dan Papa, mereka selalu membicarakan banyak hal, sering kali lebih tentang pekerjaan daripada kehidupan pribadi. Pak Agus mulai menggambarkan sosok wanita itu, katanya wanita itu sangat karismatik, terlihat begitu kuat tapi tetap elegan. Aku melanjutkan mengunyah sarapan, tidak begitu tertarik pada cerita itu, sampai Papa melanjutkan pembicaraan.

"Dia akan menjadi manajer operasional baru di perusahaan ini. Pengalaman kerja di perusahaan internasional, di Amerika. Direksi cukup terkesan, dan mereka merekomendasikan dia untuk posisi tersebut." Suara Papa terdengar penuh keyakinan, tapi nada bicara itu sedikit mengarah pada rasa penasaran yang tak kutemui sebelumnya.

Aku berhenti sejenak, sendokku yang tadi kugenggam terasa sedikit berat. Manajer operasional baru? Aku baru saja mendengar tentang wanita itu. Ternyata, dia datang dengan pengalaman yang luar biasa. "Enam bulan masa training," kata Papa, dan aku mulai berpikir, apa yang membuat wanita itu begitu istimewa hingga bisa mendapat tempat di perusahaan besar ini?

Sebagai seorang yang terbiasa dengan kontrol dan profesionalisme, aku tak ingin terlalu terpengaruh. Tapi entah kenapa, ada rasa penasaran yang tumbuh, meski aku coba untuk menahannya. Wajahnya yang tak kutahu, latar belakangnya yang mengesankan, semuanya mulai berputar di kepala. Aku tidak merasa cemas, hanya... penasaran.

Aku mencoba untuk kembali fokus pada sarapan, tapi pikiranku mulai melayang pada sosok wanita itu, yang baru saja masuk ke dunia ini.