POV Sherly
Setelah berpamitan kepada Pak Ariel dan mamanya, aku kembali masuk ke mobil yang dikemudikan Pak Agus. Perjalanan pulang terasa tenang, tapi pikiranku tidak. Masih ada satu hal yang tertinggal di benakku: Juan.
Saat kami hampir sampai di dekat supermarket yang sama seperti sebelumnya, aku meminta Pak Agus untuk berhenti lagi. Kali ini, alasanku sederhana. "Mau beli sesuatu untuk di rumah, Pak Agus," kataku sambil tersenyum tipis.
Pak Agus mengangguk tanpa banyak bertanya, dan aku segera turun.
Di dalam supermarket, langkahku langsung menuju ke bagian buah. Aku memilih buah-buahan segar, hampir mirip dengan yang kubeli untuk Pak Ariel. Lalu, di bagian jajanan, mataku tertuju pada keripik singkong pedas dan beberapa kue tradisional. Juan pernah membelikanku pecel ayam beberapa minggu lalu, jadi aku berpikir mungkin dia suka camilan yang renyah dan sedikit asin.
Sebelum ke kasir, aku menyempatkan diri ke rak kue basah. Ini untuk Ibu, pikirku, sambil memasukkan beberapa favoritnya ke keranjang belanja. Setelah membayar, aku kembali ke mobil dan menyerahkan kantong belanjaan itu kepada Pak Agus.
Pak Agus tetap tenang, mengemudikan mobil hingga kami sampai di depan rumah. "Terima kasih, Pak Agus," kataku sebelum keluar, memastikan kantong kue basah milik Ibu terpisah.
Setelah mobil Pak Agus pergi, aku segera masuk ke dalam rumah dan memberikan tentengan itu kepada Ibu. "Ini, Bu, kue kesukaan Ibu," ucapku sambil tersenyum.
Ibu memeriksa isinya, lalu menatapku dengan pandangan ingin tahu. "Mau ke mana lagi, Sher?" tanyanya, mengenali gelagatku yang belum ingin beristirahat.
Aku menarik napas pelan. "Ke rumah temanku, Bu. Dia lagi sakit."
Ibu mengangguk, lalu tanpa banyak bicara mengambil kantong plastik dan memasukkan beberapa kue ke dalamnya. "Bawa ini untuk temanmu. Siapa tahu dia suka."
Hatiku terasa hangat melihat perhatian Ibu. Aku menerima kantong itu dengan perasaan terharu, lalu memeluk Ibu sebentar sebelum keluar.
Aku memesan ojek langganan Ibu untuk mengantarkanku. Perjalanan menuju perumahan tentara cukup singkat, tapi perasaan gugup mulai muncul ketika aku sampai di depan pos keamanan.
Seorang tentara muda berjaga di sana. Dengan sopan, aku menjelaskan maksud kedatanganku. "Saya mencari rumah Juan. Dia teman saya, katanya sedang sakit."
Tentara itu mengangguk sambil tersenyum. "Rumah Juan nomor dua dari ujung, Kak. Jalan lurus saja, nanti ada di sebelah kiri."
Aku mengucapkan terima kasih sebelum melanjutkan langkahku. Rumah yang dimaksud cukup mudah dikenali, dengan pagar besi sederhana dan sebuah pot tanaman di depan teras.
Saat berdiri di depan pintu, aku menarik napas dalam. Ada rasa ragu yang tiba-tiba muncul, tapi aku menepisnya. Perlahan, tanganku mengetuk pintu, berharap ini adalah keputusan yang tepat.
Aku mengetuk pintu rumah itu beberapa kali. Suasana perumahan ini terasa hening, hanya ada suara angin yang menggoyangkan dedaunan. Tak lama, pintu terbuka, memperlihatkan seorang wanita yang tampak berusia sekitar lima puluh tahunan. Wajahnya mengingatkanku pada Juan—mata, hidung, bahkan lekukan senyumnya serupa, meski saat itu ekspresinya terlihat bingung.
"Selamat sore, Bu. Saya Sherly, teman Juan," aku memperkenalkan diri dengan hati-hati.
Raut wajahnya melunak, dan senyuman tipis muncul. "Oh, Sherly. Masuk, Nak. Silakan duduk," ucapnya, mempersilahkanku masuk ke dalam rumah.
Langkahku memasuki ruang tamu yang sederhana. Ada sofa dengan sarung bercorak bunga, rak kayu yang dihiasi foto-foto keluarga, dan beberapa atribut militer seperti baret, lencana, serta pigura besar bertuliskan Satya Lencana Dharma. Di dinding, tergantung foto keluarga Juan. Dalam foto itu, aku mengenali Juan berdiri di tengah, diapit oleh seorang pria berwajah tegas—ayahnya, yang aku tebak seorang tentara senior—dan wanita yang kini berdiri di hadapanku. Ada juga seorang gadis muda yang terlihat lebih muda dari Juan beberapa tahun, mungkin adiknya.
"Juan sedang di kamar. Tunggu sebentar, ya," ujar ibu Juan sebelum pergi meninggalkanku di ruang tamu.
Aku duduk, memandang sekeliling. Ada aura disiplin di sini, mulai dari tata letak furnitur yang rapi hingga detail kecil seperti sepatu yang berjajar sempurna di dekat pintu.
Tak lama, langkah kaki terdengar. Aku menoleh dan melihat Juan muncul dari sebuah koridor. Jantungku sedikit mencelos. Wajahnya tampak pucat, rambutnya kusut, dan dia berjalan dengan sedikit terhuyung menuju sofa di depanku.
"Juan..." aku memanggilnya pelan, nyaris berbisik.
Juan tersenyum kecil, meski terlihat dipaksakan. "Hei, Sher. Kamu datang," suaranya terdengar lemah, tapi ada nada senang di sana.
Aku menatapnya lekat. "Kamu... baik-baik saja? Kelihatannya tidak, Juan."
Dia tertawa kecil, hampir seperti berusaha menyembunyikan sesuatu. "Cuma demam biasa," katanya santai. Tapi gerakan tangannya saat mencoba menyisir rambutnya dengan jari terlihat canggung, dan senyumnya masih terasa tidak natural.
Pandangan Juan tiba-tiba tertuju pada pergelangan tanganku. "Kamu memakainya," katanya, menunjuk gelang resin yang kuanggap biasa saja pagi tadi.
Aku tersenyum kecil, sedikit terkejut dia memperhatikannya. "Tentu saja. Gelang ini cantik. Sayang kalau tidak dipakai."
Juan tertawa, kali ini lebih natural. Tapi aku tidak bisa mengabaikan perasaan ganjil yang menyelimuti suasana ini. "Kamu terlihat berbeda, Juan. Dari kemarin, aku merasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan," ujarku, mencoba mencari jawaban.
Wajah Juan berubah serius seketika. Dia mulai meremas-remas tangannya, sebuah kebiasaan yang baru kusadari belakangan ini. Aku menunggu, memberinya ruang untuk bicara. Setelah beberapa saat, dia menarik napas panjang, lalu menatapku dengan mata yang penuh keraguan.
"Sherly, aku... Aku senang kamu datang. Aku sangat menghargainya. Tapi ada sesuatu yang ingin aku katakan," katanya dengan nada yang berat.
Aku hanya mengangguk, mencoba memberikan rasa aman lewat tatapanku.
"Aku punya... penyakit mental," ujarnya akhirnya, suaranya hampir tenggelam. "Gangguan kecemasan umum, atau GAD. Aku kadang merasa cemas tanpa alasan yang jelas. Sulit untuk dikendalikan. Rasanya... menyiksa."
Aku terdiam, mencoba mencerna perkataannya. Juan, yang selalu terlihat ceria dan santai, ternyata menyimpan sesuatu yang begitu berat di balik senyumnya.
"Maaf, aku tidak ingin membuatmu tidak nyaman," lanjutnya, mengira reaksiku adalah sebuah penolakan.
Aku segera menggeleng. "Tidak, Juan. Aku tidak apa-apa. Aku hanya... tidak menyangka," kataku jujur. "Aku kagum padamu. Kamu tetap bisa terlihat tenang meski menghadapi hal seperti itu."
Juan tersenyum kecil. "Terima kasih, Sher. Aku hanya berharap... apa pun yang terjadi, kamu tidak akan berubah padaku."
"Aku janji, aku tidak akan berubah," jawabku dengan keyakinan yang tulus, meski ada sedikit rasa tegang di dada.
Suasana itu terputus oleh kedatangan ibunya yang membawa secangkir teh dan piring berisi beberapa kue. Aku meminta pisau untuk mengupas buah yang kubawa, dan ibunya tampak terharu mendengar permintaanku.
Kupotongkan buah pir untuk Juan, lalu menyodorkannya dengan senyuman. "Juan, kamu orang yang kuat. Kamu masih bisa tersenyum meski harus menghadapi ini semua. Aku benar-benar kagum."
Juan menerima potongan buah itu dengan senyuman yang lebih tulus. "Terima kasih, Sher," katanya, suaranya lebih hangat.
Aku merasa lega melihat ekspresi senangnya. Meski percakapan tadi berat, setidaknya aku tahu, kehadiranku di sini berarti untuknya.
***