Membesuk 1

POV Sherly

Saat perjalanan menuju rumah Pak Ariel, aku meminta Pak Agus untuk berhenti sejenak di supermarket. "Saya mau beli sesuatu dulu, Pak," kataku sambil tersenyum kecil.

Pak Agus mengangguk, dan aku segera turun, melangkah cepat ke dalam supermarket. Begitu masuk, aku langsung menuju bagian buah-buahan. Ada beragam buah segar tertata rapi di sana—apel merah mengilap, anggur hijau yang segar, dan jeruk manis yang tampak berair. Aku memilih beberapa apel dan jeruk, memastikan semuanya dalam kondisi terbaik.

Saat sedang memilih, mataku tertumbuk pada deretan teh herbal di rak sebelah. Aku tersenyum kecil, teringat bagaimana Pak Ariel sering menikmati teh dengan madu saat kami mengobrol santai di kantor. Teh herbal favoritnya ada di sana, lengkap dengan merek madu yang biasa dia konsumsi. Tangan ini otomatis mengambilnya, meskipun aku tahu mungkin ini berlebihan.

Aku sempat terpikir untuk membeli buah lebih banyak, sekalian untuk Juan nanti. Tapi, pikiran itu segera kuurungkan. Ketegangan antara Pak Ariel dan Juan tempo hari masih terbayang di kepalaku. Rasanya kurang bijak jika aku membawa buah untuk keduanya dalam waktu bersamaan. "Nanti saja untuk Juan," gumamku pelan, lalu berjalan menuju kasir.

Perjalanan pun dilanjutkan. Mobil Pak Agus berhenti tepat di depan rumah Pak Ariel yang megah.

Saat mobil berhenti di depan rumah Pak Ariel, aku merasa sedikit gugup. Padahal ini bukanlah kali pertama aku ke sini, —ke rumah yang megah tapi tidak berlebihan, dengan gaya Eropa yang kental. Pak Agus membukakan pintu untukku, dan aku segera turun sambil membawa kantong belanja berisi buah-buahan dan teh herbal yang baru saja kubeli.

Mama Pak Ariel menyambutku dengan senyum ramah begitu aku memasuki rumah. Beliau adalah sosok yang lembut, tidak berubah, masih sama seperti terakhir kali kami bertemu. Setelah berbasa-basi sejenak, beliau mengantarkanku ke samping menuju kamar Pak Ariel.

"Sherly, tolong langsung masuk saja, ya. Ariel sedang istirahat di dalam. Mama akan ke dapur dulu membantu menyiapkan minuman," katanya sebelum meninggalkanku di depan pintu.

Aku menarik napas dalam, lalu mengetuk pintu pelan sambil mengucapkan salam.

"Assalamualaikum, Pak Ariel," suaraku terdengar lebih kecil dari yang kuharapkan.

"Waalaikumsalam," jawab suara di dalam, lemah tapi jelas.

Aku mendorong pintu dan melangkah masuk. Kamar itu langsung mencuri perhatianku. Dindingnya berwarna abu-abu lembut, dengan furnitur minimalis yang sederhana namun modern. Sebuah rak buku besar berdiri di sisi ruangan, penuh dengan buku-buku keuangan dan pengembangan diri. Ada juga beberapa dokumen tertata rapi di salah satu rak. Di dekat tempat tidur, sebuah meja kecil menampung botol minum khusus dan humidifier yang mengeluarkan uap lembut. Lampu gantung dengan desain elegan memberikan pencahayaan yang hangat, menciptakan suasana nyaman. Sprei linen dengan pola sederhana menutupi tempat tidurnya, dan di dinding tergantung lukisan abstrak serta jam antik bergaya Eropa.

Aku melangkah mendekat, melihat Pak Ariel yang sedang berbaring dengan bantal yang ditinggikan. Ia mengenakan masker, dan tanpa kacamata, matanya tampak sedikit kosong, seperti berusaha fokus tetapi tidak berhasil.

"Silakan duduk," katanya pelan, sambil sedikit menoleh ke arahku.

Ada sesuatu yang aneh di dadaku saat itu—sebuah perasaan yang sulit kujelaskan. Pemandangan ini, suasana ini… terasa tidak asing. Seolah aku pernah berada di situasi seperti ini sebelumnya. Aku menelan ludah, mencoba menenangkan diri.

"Terima kasih, Pak," jawabku sambil meletakkan kantong belanja di meja kecil. Aku lalu duduk di kursi dekat tempat tidurnya.

"Bagaimana perjalanan, Pak? Saya dengar dari Pak Agus, Bapak tadi mual," tanyaku, berusaha mengalihkan pikiranku dari dejavu aneh yang terus menghantui.

"Capek… tapi sudah lebih baik," jawabnya, suaranya masih terdengar lelah.

Aku mengangguk pelan, memperhatikan wajahnya yang terlihat lebih pucat dari biasanya. Dengan masker itu, tanpa kacamata, dan tatapan matanya yang buram, ada sesuatu yang mengingatkanku pada seseorang. Tapi siapa?

Kepalaku terasa penuh dengan pikiran yang mencoba mencari koneksi, tapi aku memutuskan untuk menyimpan semua itu untuk nanti. Ini bukan waktu yang tepat untuk melamun. Pak Ariel membutuhkan perhatian dan kenyamanan, bukan kebingunganku.

"Saya bawakan beberapa buah dan teh herbal, Pak. Katanya bagus untuk relaksasi," kataku sambil tersenyum kecil.

"Terima kasih, Sherly," jawabnya, kali ini dengan sedikit senyuman yang hampir tidak terlihat di balik maskernya.

Aku berusaha tetap tenang, meskipun perasaan aneh itu belum juga hilang. Apa yang sebenarnya terjadi dengan pikiranku hari ini?

Aku duduk di kursi samping tempat tidur Pak Ariel, mencoba menenangkan diri dari perasaan canggung yang aneh ini. Pak Ariel tampak seperti sedang memikirkan sesuatu, ragu-ragu, tapi kemudian dia menatapku dan bertanya, "Bagaimana situasi di kantor selama saya tidak ada?"

Aku menjawab singkat, hanya hal-hal umum. Sejujurnya, aku khawatir kalau terlalu banyak bicara justru akan mengganggu pikirannya. Tapi yang membuatku terkejut, Pak Ariel malah berkata, "Ceritakan semuanya, Sherly. Saya ingin tahu."

Mataku membelalak sedikit mendengar permintaan itu. Biasanya Pak Ariel lebih memilih mendengar laporan singkat tanpa detail yang tidak penting. Tapi kali ini? Permintaannya jelas, jadi aku mulai bercerita.

Aku menceritakan bagaimana tugas-tugasku berjalan sejak hari pertama Pak Ariel tidak ada. Tentang Pak Haris yang menggantikan sementara, tentang tumpukan dokumen yang harus dicek dua kali lipat, dan beberapa interaksi dengan tim lain. Ceritaku mengalir begitu saja sampai di satu titik, di tengah kalimat, aku merasa aneh.

Aku berhenti. Dejavu. Perasaan itu datang lagi.

Ada sesuatu dalam situasi ini—duduk di samping Pak Ariel, bercerita panjang lebar—yang terasa sangat familiar. Namun, otakku tidak mampu mengaitkan apa yang kuingat. Hanya perasaan kosong yang membuatku berhenti bicara.

Pak Ariel menatapku, heran. "Ada apa, Sher?" tanyanya dengan nada lembut tapi penuh perhatian.

Aku menatapnya kembali, langsung ke mata hazel itu. Mata yang selalu memancarkan sesuatu yang sulit kujelaskan. Dan saat itu, entah bagaimana, aku merasa sangat terikat. Seolah-olah aku sedang berada di lingkaran emosi yang pernah kualami sebelumnya.

"Pak Ariel..." Aku ragu, tapi kata-katanya terlanjur meluncur dari bibirku. "Kita pernah bertemu sebelumnya, ya? Sebelum saya masuk ke perusahaan ini."

Pertanyaanku membuat ekspresinya berubah drastis. Wajahnya tampak terkejut, bahkan terlalu terkejut untuk seseorang yang biasanya sangat tenang.

Namun, hanya beberapa detik kemudian, ia kembali ke sikap biasanya. Dari balik masker, senyumnya muncul, tipis dan santai. "Mungkin saja pernah, Sher. Kita kan sama-sama tinggal di kota yang sama. Tapi saya sendiri tidak ingat." Nada suaranya terdengar begitu ringan, seperti jawaban itu hanyalah candaan biasa.

Aku tidak puas. Ada sesuatu di balik kata-katanya, tapi aku tidak ingin memaksanya. Aku memilih untuk mengakhiri ceritaku dengan cepat dan mengalihkan pembicaraan. "Bagaimana kondisi Pak Ariel sekarang? Apa yang dokter katakan?" tanyaku, mencoba mengalirkan percakapan ke topik yang lebih aman.

Namun, sebelum aku selesai berbicara, aku melihat pandangannya tertuju pada tanganku. Bukan, bukan tanganku—melainkan gelang resin yang baru saja kupakai. Pandangannya begitu fokus, seolah ada sesuatu yang spesial tentang gelang itu.

"Itu gelang yang bagus," katanya tiba-tiba, suaranya lemah tapi masih terdengar hangat. "Kamu memang tipe perempuan yang menyukai handicraft, ya?"

Aku tertegun. Kata-katanya terasa menusuk sesuatu di dalam diriku.

Bagaimana dia bisa tahu aku menyukai handicraft? Aku langsung bertanya, tanpa berpikir panjang, "Pak Ariel tahu dari mana kalau saya suka handicraft? Ada yang bilang ke Pak Ariel?"

Pak Ariel tertawa kecil, lemah tapi tulus. "Gelang itu kan handicraft, Sher. Saya hanya menyimpulkan saja. Jangan terlalu serius."

Aku mengangguk, mencoba menerima penjelasannya. Tapi hatiku masih terusik. Ada bagian dari diriku yang ingin menghubungkan semuanya dengan Dwi. Tapi...mungkin aku hanya overthinking.

Selang beberapa menit, Mama Pak Ariel masuk ke kamar bersama seorang asisten rumah tangga. Mereka membawa nampan berisi minuman dan beberapa kue khas Jerman. Suasana berubah seketika.

Mama Pak Ariel menyambutku dengan sangat ramah. "Sherly, ini teh herbal dan kue kesukaan Ariel. Coba dicicipi ya," katanya dengan senyum lebar.

Aku merasa sedikit canggung awalnya, tapi obrolan hangat dari Mama Pak Ariel membuatku perlahan nyaman. Waktu berlalu begitu cepat, hingga aku baru sadar satu jam telah lewat tanpa terasa.

Tetap saja, pertanyaan tadi masih menggantung di pikiranku. Tapi untuk sekarang, aku memilih menyimpannya sendiri.