Izin Keluar

POV Sherly

Pagi ini dimulai dengan rasa resah yang tak kunjung reda. Setelah selesai sholat subuh, aku segera memeriksa ponsel. Sebagian dari diriku berharap menemukan balasan dari Dwi—atau siapa pun dia sebenarnya. Namun, layar hanya menampilkan pesan terakhirku semalam, tanpa ada balasan baru. Aku menghela napas panjang, rasa bingung dan kesal bercampur menjadi satu. Ada apa sebenarnya dengan Dwi? Apa dia sengaja menghindar? Atau mungkin dia sedang memikirkan alasan untuk menjawab pertanyaanku?

Pikiran itu terus menghantuiku hingga aku bersiap untuk berangkat kerja. Saat melangkah keluar rumah, aku mencoba menyingkirkan perasaan gelisah. Pak Agus sudah menunggu di mobil, seperti biasa, dengan senyumnya yang ramah.

"Selamat pagi, Pak Agus," sapaku sambil masuk ke dalam mobil.

"Pagi, Nona Sherly. Sehat, kan?"

Aku mengangguk sambil membalas senyumnya. Mobil mulai melaju perlahan, meninggalkan rumah. Suasana pagi yang biasanya terasa menenangkan, kali ini tidak berhasil mengusir keruwetan pikiranku.

"Pak Agus," panggilku akhirnya, setelah beberapa menit hening.

"Ya, Non?"

"Pak Ariel... sudah ada kabar jam berapa beliau sampai rumah?" tanyaku, mencoba terdengar santai meskipun perasaanku jauh dari itu.

Pak Agus mengernyit sebentar, tampak berpikir. "Wah, kalau soal itu saya belum dapat informasi pasti, Non. Beliau memang rencananya pulang hari ini, tapi belum ada pembicaraan lebih lanjut. Mungkin nanti siang saya baru tahu."

Aku mengangguk, mencoba menyembunyikan rasa kecewaku. "Oh, baik, Pak. Kalau nanti sudah tahu, tolong kabari saya, ya. Saya ada rencana mau mampir ke rumah Pak Ariel."

Pak Agus tersenyum tipis melalui kaca spion. "Tentu, Non. Nanti kalau sudah jelas, saya jemput Non di kantor, ya."

"Wah, terima kasih banyak, Pak Agus," balasku dengan tulus.

Percakapan itu sedikit membuat suasana di hatiku membaik. Setidaknya aku punya rencana yang bisa membuat pikiranku teralihkan. Meski begitu, bayangan tentang Dwi dan chat yang menggantung tetap menjadi beban di belakang pikiranku.

Aku memandangi jalanan dari balik jendela, mencoba menata ulang pikiran. Entah bagaimana, semua ini terasa semakin rumit.

***

Sepanjang pagi ini aku mencoba fokus pada pekerjaanku. Menyelesaikan laporan, menyiapkan dokumen, dan memeriksa data keuangan seperti biasa. Tapi meskipun tanganku sibuk, pikiranku tetap melayang ke satu titik yang belum menemukan jawaban—Dwi. Rasanya seperti ada simpul di dalam kepalaku yang semakin hari semakin kencang. Aku perlu melepaskannya. Dan satu-satunya cara yang terpikirkan adalah bertanya langsung pada Juan.

Tepat setelah menyelesaikan sebagian besar tugasku, aku meminta izin kepada Ibu Risti untuk keluar sebentar. Aku katakan saja ada urusan kecil yang perlu aku selesaikan di divisi IT. Untungnya, Ibu Risti tidak curiga dan mengizinkanku tanpa banyak pertanyaan.

Langkahku menuju ruangan IT terasa berat. Bukan karena lelah, tapi karena aku terus-menerus bertanya dalam hati, Bagaimana aku akan menanyakan hal ini ke Juan? Blak-blakan? Atau mencoba menggiring pembicaraan secara halus? Tapi kalau terlalu bertele-tele, aku malah takut kehilangan arah.

Saat akhirnya aku tiba di depan pintu ruangan IT, aku menarik napas panjang sebelum masuk. Di dalam, suasana seperti biasa—sekelompok karyawan sibuk di meja masing-masing, layar monitor menyala, dan suara ketikan memenuhi ruangan. Aku melihat salah satu rekan Juan yang cukup aku kenal, lalu aku mendekatinya.

"Hai, Mas Ari," sapaku dengan senyum tipis.

"Oh, hai, Mbak Sherly. Ada yang bisa dibantu?" tanyanya, ramah seperti biasa.

"Ah, ini... Saya mau ketemu Juan. Dia ada, kan?" tanyaku, mencoba terdengar santai meskipun hatiku berdebar.

Ari mengerutkan dahi sebentar, seolah mengingat sesuatu. "Oh, Juan nggak masuk hari ini, Mbak. Dia izin sakit, tadi pagi kirim surat dokter ke HRD."

Jawabannya seperti petir yang menyambar. "Sakit?" ulangku, hampir tidak percaya.

Ari mengangguk. "Iya. Katanya nggak enak badan sejak kemarin."

Aku mengucapkan terima kasih singkat sebelum keluar dari ruangan itu. Di luar, aku berdiri sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. Juan sakit? Aku langsung merasa bersalah.

Kemarin dia memang terlihat aneh. Apa aku terlalu memaksakan diri membaca sikapnya? Apakah dia baik-baik saja?

Rasa empati di hatiku tak bisa aku abaikan. Aku harus melihat kondisinya. Aku tahu aku mungkin sedang berprasangka terlalu jauh, tapi ini bukan soal teoriku tentang Dwi lagi. Ini tentang Juan sebagai teman kerja, seseorang yang pernah membantuku di saat-saat sulit. Aku ingin memastikan dia baik-baik saja.

Keputusan itu bulat—setelah pulang kerja nanti, aku akan membesuk Juan.

***

Ketika ponselku berdering pada pukul tiga sore, aku sempat ragu untuk mengangkatnya. Nomor tidak dikenal. Biasanya aku tidak terlalu suka menerima panggilan seperti ini, tapi entah kenapa, aku malah menggeser ikon hijau.

"Assalamualaikun Nona Sherly, ini Pak Agus," suara di seberang terdengar jelas. Aku langsung duduk tegak.

"Pak Ariel sudah sampai di rumah. Saya sudah di depan kantor untuk menjemput Anda," katanya.

"Waalaikum salam, Oh, baik, Pak Agus. Tunggu sebentar ya, saya minta izin dulu," jawabku cepat.

Aku bergegas menuju meja Pak Haris. Tadi siang aku memang melihat beliau sudah kembali ke kantor setelah beberapa hari tugas di luar. Perasaanku sedikit gugup. Ini urusan sederhana, tapi entah kenapa tetap terasa berat.

"Pak Haris, permisi. Saya ingin minta izin untuk keluar sebentar," kataku.

Pak Haris mendongak, memasang ekspresi ingin tahu. "Ada keperluan apa, Sherly?"

Seketika aku ragu. Haruskah aku bilang? Tapi kalau aku berbohong dan dia tahu, situasinya malah bisa jadi lebih rumit. Jadi, akhirnya aku berkata, "Pak Ariel sudah pulang, Pak. Saya ada urusan untuk menemuinya."

Reaksi Pak Haris membuatku sedikit menahan napas. Matanya sedikit melebar. "Pak Ariel sudah pulang?" tanyanya, hampir seperti tidak percaya.

Aku mengangguk kecil, meski di dalam hati merasa canggung. Apakah aku seharusnya tidak mengatakan ini?

Pak Haris lalu bersandar di kursinya, ekspresinya berubah serius. Suaranya melunak, hampir seperti berbisik. "Sherly, bagaimana kondisinya sekarang? Beliau sudah sehat, kan?"

Pertanyaan itu membuatku tertegun. Dari mana beliau tahu? Bukankah kondisi Pak Ariel dirahasiakan? Tapi aku tidak ingin membuat situasi ini jadi aneh. Dengan cepat aku memutuskan untuk mengangguk pelan. "Sudah membaik, Pak," jawabku singkat, berusaha tetap tenang.

Ekspresi Pak Haris melunak, terlihat lega. "Syukurlah. Kalau begitu, sampaikan salam saya untuk beliau, ya."

"Iya, Pak," jawabku sambil tersenyum kecil.

Pak Haris akhirnya mengizinkanku pergi, dengan catatan bahwa alasannya adalah tugas luar sesuai perintahnya. Aku mengucapkan terima kasih dan segera keluar dari ruangan itu, menuju pintu depan kantor tempat Pak Agus sudah menunggu.

Di perjalanan keluar, pikiranku terus berputar. Tadi itu aneh sekali. Pak Haris tahu kondisi Pak Ariel? Apakah beliau salah satu orang yang memang diberitahu oleh Pak Ariel? Ah, ya mungkin saja! Mungkin saja pak Ariel hanya memberitahu kondisinya kepada beberapa orang yang ia percayai.