POV Sherly
Kerumunan di depan pintu keluar gedung perlahan-lahan bergerak seperti arus sungai. Udara sore yang lembap bercampur dengan suara langkah kaki, obrolan, dan deru kendaraan. Aku baru saja berpamitan dengan Ibu Risti, meninggalkan gedung kantor lebih dulu daripada beliau yang biasanya menunggu Ibu Riana. Saat melewati pintu luar, pandanganku secara tak sengaja bertemu dengan seseorang yang sudah beberapa hari ini tak kutemui.
Juan.
Dia berdiri di antara kerumunan, terlihat sedikit... canggung. Saat matanya bertemu denganku, dia menyapa dengan senyuman. Tapi senyuman itu terasa aneh—tidak seperti senyuman Juan yang biasa, yang hangat dan tulus. Senyumannya hari ini seperti ditarik paksa, seperti sedang berusaha menyembunyikan sesuatu.
Aku berusaha santai, mendekatinya sambil bertanya, "Hei, Juan. Lama nggak kelihatan. Kamu baik-baik aja?"
Dia menjawab dengan suara datar, senyumnya tak kunjung berubah. "Baik kok," katanya, tapi tangannya bergerak-gerak gelisah, meremas-remas tanpa sadar. Tatapannya pun tak fokus.
Belum sempat aku bertanya lagi, dia menambahkan, "Pak Ariel gimana? Udah balik belum?"
Pertanyaannya membuatku sedikit waspada, meskipun aku tak menunjukkan itu di wajahku. "Oh, beliau katanya mau balik besok dari cuti," jawabku datar, menghindari memberikan informasi yang terlalu banyak.
Aku memperhatikan tangannya yang terus bergerak. Apa dia sedang gugup? Atau ada yang salah? Juan jarang terlihat seperti ini. "Kamu kenapa? Kayak lagi mikirin sesuatu," tanyaku akhirnya, berharap dia mau cerita.
Tapi dia malah salah tingkah, tertawa kecil yang terasa dipaksakan. "Nggak, nggak ada apa-apa," katanya cepat, lalu menunduk dan membuka ranselnya. Tangannya masuk ke dalam tas itu, mencari-cari sesuatu dengan gerakan tergesa.
Setelah beberapa detik, dia mengeluarkan sebuah benda kecil. Sebuah gelang resin bening dengan bunga kering dan glitter di dalamnya, memantulkan cahaya keemasan saat terkena sinar matahari sore. Dia mengulurkannya ke arahku, tangannya sedikit gemetar.
Aku menatap gelang itu, lalu menatapnya. "Ini buat aku?" tanyaku, bingung sekaligus heran.
Dia mengangguk cepat, tanpa bertemu pandang denganku. "Iya," katanya, suaranya terdengar pelan.
"Kenapa kamu tiba-tiba kasih aku ini?" tanyaku lagi, mencoba mengurai rasa penasaran yang mulai muncul.
Dia tersenyum kecil, kali ini sedikit lebih tulus. "Kemarin aku lihat gelang ini, langsung kepikiran kamu. Jadi, ya... aku beli. Aku pikir kamu bakal suka."
Aku terdiam sejenak. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang terasa janggal, tapi aku tak tahu apa. Juan selalu ramah dan perhatian, tapi hari ini dia terlihat seperti membawa beban yang berat.
Akhirnya, aku menerima gelang itu, mencoba mengulas senyum sehangat mungkin. "Terima kasih, Juan. Gelang ini cantik banget."
Melihatku tersenyum, dia tampak sedikit lega. Wajahnya melunak sejenak, tapi detik berikutnya, dia bergerak cepat, seperti ingin segera pergi. "Aku harus jalan dulu. Sampai ketemu lagi, Sherly," katanya tergesa, sebelum aku sempat berkata apa-apa lagi.
Dia melangkah menjauh, langkahnya panjang-panjang dan terburu-buru. Aku hanya bisa berdiri di tempatku, menatap punggungnya yang makin jauh. Cara dia pergi terasa begitu tidak seperti Juan yang biasa.
Aku menunduk, memandangi gelang resin itu di tanganku. Cantik, benar-benar cantik. Tapi aku tak bisa mengabaikan perasaan aneh yang muncul. Seperti ada sesuatu yang ingin dia katakan, tapi dia memilih menyembunyikannya.
Entah kenapa, gelang ini tiba-tiba terasa lebih berat di tanganku daripada seharusnya.
***
Di kamar, aku duduk bersila di atas tempat tidur, memandangi gelang resin pemberian Juan yang masih melingkar di pergelangan tanganku. Matahari sore mulai tenggelam, dan cahaya keemasan dari jendela membuat glitter di gelang itu memantulkan kilau lembut. Gelang ini cantik, benar-benar cantik. Tapi semakin aku memandangnya, semakin pikiranku dipenuhi oleh sesuatu yang mengganggu.
Dwi.
Aku teringat percakapan dulu dengannya, tentang handicraft. Saat itu, kami mengobrol santai soal hobi dan hal-hal kecil yang disukai. Aku sempat bilang kalau aku suka handicraft yang unik, sesuatu yang sederhana tapi cantik. Tapi bagaimana bisa Juan tiba-tiba memberikan gelang ini? Rasanya seperti... kebetulan yang terlalu pas.
Aku meraih ponsel di sampingku, membuka aplikasi chat, dan mulai membaca ulang percakapanku dengan Dwi. Jari-jariku men-scroll layar, mencari sesuatu yang terasa... janggal.
Dan aku menemukannya.
"Ada masalah lagi, Sher?"
Pesannya itu muncul beberapa hari lalu, tepat di saat aku sedang merasa kesal di kantor. Tapi aku tidak pernah bercerita apa-apa ke Dwi tentang masalah itu sebelumnya. Bagaimana dia tahu? Apa dia menebak saja?
Aku terus men-scroll, membaca percakapan kami yang lain. Semakin aku membaca, semakin banyak detail kecil yang mencuat. Seperti bagaimana Dwi sering bertanya tentang pak Ariel. Kenapa dia begitu fokus pada Pak Ariel?
Kepalaku mulai dipenuhi teori yang tiba-tiba terasa masuk akal. Apa mungkin Dwi... kenal dengan Juan? Mereka seumuran, sama-sama pria. Apa mereka teman? Atau setidaknya saling mengenal?
Aku bergumam pelan, mencoba mengurai kemungkinan ini. Jika Dwi benar-benar kenal Juan, apa dia menceritakan semuanya tentangku ke Juan?
"Aku nggak akan terima kalau dia melakukannya," kataku pelan, perasaan kesal mulai mengalir. Apa itu sebabnya Juan tahu tentang gelang handicraft ini? Apa mereka membicarakanku di belakang?
Tiba-tiba ponselku bergetar. Sebuah pop-up chat muncul di layar.
Dwi: Hai, Sher. Gimana hari ini? Banyak yang menyenangkan?
Aku mematung. Dadaku langsung terasa sesak.
Mengapa dia menanyakan ini? Tepat setelah kejadian tadi dengan Juan? Apa mungkin teori yang aku buat di kepalaku benar?
Perasaanku kacau. Aku tahu ini hanya dugaan—sebuah cocoklogi tanpa bukti nyata. Tapi semakin kupikirkan, semakin masuk akal semuanya. Aku menatap layar ponsel itu, pesan dari Dwi seperti berteriak kepadaku, tapi aku terlalu bingung untuk membalas.
Aku menggenggam gelang di pergelangan tanganku erat-erat, mencoba menenangkan diriku sendiri. Tapi semakin aku mencoba, semakin pikiran itu berputar-putar. Kalau memang Dwi dan Juan saling mengenal, apa lagi yang mereka tahu tentang aku? Dan... kenapa Dwi melakukan ini?
Aku menghela napas panjang, merasa seperti sedang memegang teka-teki yang terlalu besar untuk dipecahkan sendiri. Tapi satu hal yang pasti—aku harus tahu jawabannya. Bagaimanapun caranya.
***
Malam yang tenang, aku menyandarkan tubuh di kasur sambil menatap langit-langit kamar yang mulai gelap. Pikiranku penuh dengan dugaan, seperti benang kusut yang tak kunjung terurai. Chat dari Dwi tadi sore begitu menggoyahkan logikaku. Bagaimana mungkin dia bertanya tentang hal-hal yang, kalau dipikir, terlalu tepat pada waktunya?
Aku membaca ulang percakapan kami. Entah kenapa, kali ini aku tak merasa nyaman seperti biasanya. Pertanyaan tentang hariku terasa seperti pancingan, bukan perhatian. Aku mencoba menenangkan diri, lalu mengetik jawaban yang paling aman.
"Tidak ada yang menyenangkan. Biasa saja."
Jawabanku mungkin terdengar dingin, tapi aku ingin tahu sejauh mana ia akan menanggapi. Dan tentu saja, aku punya pertanyaan untuknya—pertanyaan yang selama ini kutahan, tapi sekarang rasanya perlu dia jawab.
"Dwi, kenapa sih kita nggak pernah telepon atau video call? Aku kan sering ajak, tapi kamu selalu menghindar."
Aku menggigit bibir, merasa cukup berani mengajukan pertanyaan itu. Beberapa detik kemudian, balasannya muncul.
"Aku belum siap, Sher. Aku tipe orang yang introvert, jadi aku merasa nyaman begini dulu."
Introvert? Ah, alasan itu terdengar klasik. Aku mendesah pelan, menahan rasa jengkel. Tak mau berhenti di situ, aku mengetik lagi.
"Lalu kenapa kita nggak pernah bertemu lagi? Aku kan sudah bilang ingin ketemu. Apa alasannya?"
Jawaban itu datang sedikit lebih lambat kali ini.
"Aku sudah berubah, Sher. Bukan seperti dulu lagi. Kalau kita bertemu, kamu mungkin nggak akan mengenali aku, dan komunikasi kita nggak akan sama seperti sekarang."
Aku membelalakkan mata membaca pesannya. Maksudnya apa? Apa yang membuatnya berubah? Fisik? Cara bicara? Atau ada sesuatu yang dia sembunyikan?
Rasa frustrasi mulai merayap di pikiranku. Aku tak ingin terus-menerus dipermainkan. Jika Dwi tak mau jujur, maka aku akan memaksanya. Jari-jariku langsung mengetik pertanyaan berikutnya.
"Dwi, kamu kenal seseorang di kantorku?"
Pesan itu kukirim tanpa berpikir panjang. Aku menunggu dengan cemas, sambil memeluk lutut di atas kasur. Tapi balasan tak kunjung datang. Detik-detik berubah menjadi menit. Layar ponselku tetap sunyi, hanya menampilkan profil Dwi yang bergambar abstrak tanpa foto wajahnya.
Aku mendesah, kecewa sekaligus merasa bodoh. Apa aku terlalu keras? Atau mungkin dia memang tak punya jawaban? Aku tak tahu.
Ponselku masih kugenggam saat kantuk mulai menyerang. Dalam hati, aku bertekad, jika besok dia tak menjawab juga, aku akan membuat teori lain. Aku harus tahu siapa sebenarnya Dwi, dan mengapa dia terasa begitu dekat, tapi sekaligus jauh.
Malam itu aku tertidur dengan hati yang gelisah, membawa sebuah rahasia yang belum terungkap.
***