POV Sherly
Malam itu, setelah panggilan video dengan Pak Ariel berakhir, pikiranku terusik oleh percakapan kami. Pertanyaan tentang rhesus negatif itu seperti gema yang berulang di kepalaku. Benarkah darahku bisa begitu berbeda, tanpa ada alasan yang jelas? Atau mungkinkah memang ada sesuatu dalam sejarah keluargaku yang selama ini tersembunyi? Aku tak bisa membiarkannya begitu saja.
Tanpa berpikir panjang, aku keluar dari kamar dan berjalan menuju kamar Ibu. Pintunya sedikit terbuka, dan aku melihat beliau sedang menghitung uang hasil warung hari ini di atas tempat tidurnya.
"Ibu, boleh masuk nggak?" tanyaku, mengetuk pintu pelan.
Ibu mengangkat kepala dan tersenyum kecil. "Masuk saja, Sher. Ada apa malam-malam begini?"
Aku duduk di sisi tempat tidurnya, menatap wajahnya yang lelah tapi tetap berseri. Tanganku meremas ujung bantal kecil yang ada di pangkuanku, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Bu, aku mau tanya sesuatu. Soal silsilah keluarga kita…"
Ibu langsung mengernyitkan dahi, tampak heran. "Silsilah keluarga? Tumben banget kamu nanya hal kayak gitu. Ada apa, Sher?"
Aku menarik napas dalam, lalu mencoba menjelaskan. "Tadi aku ngobrol sama Pak Ariel. Dia bilang, rhesus negatif itu biasanya diwariskan secara genetik. Tapi, aku bingung, Bu. Ayah sama Ibu, kan, rhesus positif. Kok aku bisa beda?"
Ibu terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Kamu ini, Sher. Masa kamu meragukan kami? Jangan-jangan kamu mikir bukan anak kandung Ibu, ya?"
Aku ikut tertawa, walau ada rasa gelisah yang menggantung. "Nggak gitu, Bu. Tapi kan aneh aja. Serius, aku penasaran banget."
Ibu meletakkan tumpukan uang di tangannya dan mulai berbicara. "Keluarga kita, setahu Ibu, semuanya berdarah Indonesia asli, Sher. Dari pihak Ayah, kakek dan nenekmu asli orang kampung ini. Sudah turun-temurun tinggal di sini. Kalau dari pihak Ibu, kakek dan nenekmu juga asli Indonesia. Tapi..."
"Tapi apa, Bu?" tanyaku cepat, merasa ada sesuatu yang menarik di sana.
"Tapi soal kakekmu dari pihak Ibu—ayah kandung Ibu, ya—jujur Ibu nggak tahu banyak. Nenekmu, almarhumah, nggak pernah cerita banyak soal beliau. Mereka bercerai waktu Ibu masih kecil. Perceraian itu berat buat Nenekmu, jadi beliau jarang membicarakan soal itu. Bahkan, seingat Ibu, terakhir kali melihat Ayah kandung Ibu waktu Ibu masih SD."
Hatiku mencelos. Ini seperti potongan puzzle yang hilang tiba-tiba muncul. "Jadi, kakek kandung dari pihak Ibu itu... namanya siapa, Bu? Ada fotonya nggak?"
Ibu menggeleng pelan. "Namanya Darman. Kalau masih hidup, mungkin sekarang usianya sekitar 85 tahun. Tapi soal foto, Ibu nggak yakin ada. Cuma, kalau kamu benar-benar penasaran, Ibu ingat Nenekmu dulu menyimpan beberapa dokumen. Mungkin ada sesuatu di sana."
Jantungku berdebar mendengar itu. "Bisa kita lihat sekarang, Bu?"
Ibu tertawa kecil sambil menggeleng. "Besok saja, Sher. Sudah malam. Kamu juga harus istirahat. Besok kan kerja lagi."
Aku mengangguk, walau sebenarnya rasa penasaranku masih membara. "Iya, Bu. Tapi, Ibu janji ya, kita cari dokumen itu."
"Janji," jawab Ibu dengan senyum. "Sekarang tidur sana. Jangan kebanyakan mikir yang aneh-aneh."
Aku mengangguk dan berdiri, tapi sebelum keluar kamar, aku menoleh lagi. "Makasih ya, Bu."
Ibu tersenyum, wajahnya terlihat lembut. "Selamat tidur, Sher."
Aku kembali ke kamarku dengan perasaan bercampur aduk. Rasa penasaran, harapan, dan entah apa lagi berputar di benakku. Ada sesuatu di masa lalu keluargaku yang tersembunyi. Dan rasanya, aku semakin dekat untuk menemukannya.
***
POV Ariel
Siang itu, suasana di kamar rawat inapku terasa lebih ringan dari biasanya. Dokter yang memimpin visit hari ini menjelaskan bahwa kondisiku menunjukkan perkembangan yang lebih baik dari prediksi awal. Hanya butuh satu hari lagi untuk memastikan tekanan darahku stabil, dan jika semua berjalan lancar, besok aku sudah bisa pulang. Mendengar itu, rasa lega menyelimuti diriku, seperti beban yang perlahan terangkat dari dadaku.
Mama, Papa, dan kak Liese tampak bersyukur, meski mereka hanya tersenyum kecil dan saling melempar pandang penuh arti. Aku sendiri merasa seolah baru diberikan kesempatan kedua untuk menjalani hidup. Hidup yang entah mengapa... kini terasa lebih berarti karena seseorang.
Setelah dokter dan perawat meninggalkan ruangan, aku melirik ponselku. Ada dorongan yang begitu kuat untuk membagikan kabar ini kepada Sherly. Namun, aku sempat ragu. Apa dia sedang sibuk? Siang hari begini, dia pasti masih bekerja. Tapi keinginan untuk mendengar suaranya lebih besar daripada keraguanku.
Aku akhirnya mengetik pesan singkat.
"Sher, saya ada kabar baik. Dokter bilang besok saya bisa pulang. :)"
Aku menekan tombol kirim dan menunggu. Jantungku sedikit berdebar, seperti setiap kali aku berinteraksi dengannya.
Tak butuh waktu lama, layar ponselku menyala. Nama Sherly terpampang di layar, disertai ikon panggilan masuk. Aku membelalak kaget. Aku tidak menyangka dia akan langsung menelepon. Sebuah senyuman kecil tersungging, tapi seketika aku gugup. Apalagi, di ruangan ini masih ada Mama, Papa, dan kak Liese.
"Wah, siapa itu? Sherly ya?" Kak Liese tersenyum lebar sambil menatap layar ponselku, lalu melirikku dengan pandangan usil.
Mama dan Papa, yang sudah memahami kode kak Liese, langsung mengangguk ringan sebelum keluar dari ruangan. Mama bahkan sempat menepuk bahuku pelan, memberi dukungan yang tersirat.
"Angkat, dong!" Kak Liese mendorongku sambil tertawa kecil.
Aku menarik napas panjang dan akhirnya menjawab panggilan itu.
"Assalamualaikum, Sher," sapaku, berusaha membuat suaraku terdengar biasa saja.
Suara Sherly yang ceria langsung terdengar. "Waalaikum salam, Pak Ariel! Saya baca chat-nya tadi. Syukur banget dokter bilang besok Bapak sudah bisa pulang! Saya senang sekali dengar kabar ini!"
Hanya mendengar nada riang di suaranya sudah cukup untuk membuat semua rasa lelahku lenyap. "Terima kasih, Sher. Saya juga nggak nyangka perkembangannya secepat ini."
Kami berbincang sejenak, membahas cuaca yang semakin tidak menentu belakangan ini—topik ringan, tapi terasa hangat. Aku berusaha fokus, meski sebagian besar pikiranku hanya tertuju pada kenyataan bahwa Sherly benar-benar peduli padaku. Dia bahkan sempat mengatakan, "Kalau Bapak sudah sampai rumah, saya mau berkunjung, ya. Biar saya lihat langsung kalau Bapak benar-benar sudah sehat."
Ucapan itu seperti angin segar di tengah padang pasir. Aku tersenyum, tapi segera menyadari bahwa aku harus menjaga agar nada suaraku tetap netral. "Boleh, Sher. Saya tunggu."
Sebenarnya, aku ingin mengatakan lebih dari itu—ingin mengungkapkan bagaimana kata-katanya tadi sangat berarti bagiku. Tapi aku tahu, aku harus menjaga batas ini.
"Terima kasih, Sher," ucapku akhirnya, lirih namun tulus, sebelum telepon berakhir.
Begitu panggilan itu selesai, aku mendesah panjang. Perasaanku berkecamuk, tapi yang paling dominan adalah kehangatan aneh yang menenangkan.
Kak Liese yang masih di ruangan mendekat, mengamati wajahku sambil menyeringai kecil.
"Ariel... kamu harus hati-hati. Kalau kamu terlalu senang begitu, tekanan darahmu bisa naik lagi, lho."
Aku tertawa kecil, meski pipiku terasa hangat. "Kamu kebanyakan nonton drama, Kak Liese."
Tapi dalam hati, aku tahu dia mungkin ada benarnya. Sherly punya pengaruh yang lebih besar pada diriku dibandingkan yang ingin kuakui.
***