POV Sherly
Langit sore mulai memerah saat aku tiba di rumah. Setelah hari yang panjang di kantor, rasanya lega bisa bersandar di kasur. Aku menghela napas, menatap langit-langit kamar sambil memikirkan banyak hal. Hari ini adalah kali pertama aku berhasil menyelesaikan anggaran biaya besar untuk divisi kami. Rasanya tidak mungkin tanpa bantuan Pak Ariel yang sabar membimbingku meskipun dengan sikapnya yang tegas dan penuh tuntutan.
Aku ingin mengucapkan terima kasih, tapi... bagaimana caranya? Aku tidak mungkin menelepon langsung. Mungkin beliau sedang beristirahat. Setelah berpikir cukup lama, aku memutuskan untuk mengirim pesan singkat saja.
Aku:
"Selamat sore, Pak. Terima kasih banyak atas bimbingannya selama ini. Saya akhirnya berhasil menyelesaikan anggaran yang tadi kita bahas. Rasanya lega sekali. Semoga Bapak juga dalam keadaan sehat, ya."
Sambil menunggu balasan, aku berjalan menuju kamar mandi untuk mandi sore. Rasanya segar setelah seharian bekerja. Baru saja aku selesai mengeringkan rambut dan mengenakan baju rumah, suara notifikasi dari ponselku terdengar. Dengan cepat aku berjalan mendekat, tapi langkahku terhenti saat melihat layar.
Video call dari Pak Ariel.
Deg.
Aku langsung panik. Rambutku masih sedikit basah, dan aku belum memakai hijab. Dengan gerakan cepat, aku meraih hijab instan yang tergantung di belakang pintu. Setelah memakainya, aku mengambil napas panjang dan mengangkat panggilan itu.
"Lho, Sherly? Maaf, ganggu waktu kamu ya?" Suaranya terdengar hangat, dan senyuman kecil tersungging di wajahnya.
"Oh, tidak, Pak. Sama sekali nggak ganggu," jawabku gugup, mencoba mengendalikan detak jantungku yang tiba-tiba berdebar lebih cepat. "Saya cuma... ya, tadi habis mandi."
Pak Ariel sedikit tertawa kecil, lalu mengangguk pelan. "Kamu sehat, Sherly? Kelihatan lebih segar malam ini."
Aku tersipu, berusaha menutupi wajahku dengan senyum canggung. "Alhamdulillah, sehat, Pak. Bapak sendiri bagaimana? Apa kondisinya sudah lebih baik?"
Dia mengangguk lagi, kali ini dengan ekspresi yang lebih tenang. "Lumayan membaik, Sher. Terima kasih sudah tanya."
Aku mengangguk, tidak tahu harus berkata apa lagi. Tapi kemudian dia melanjutkan. "Saya dengar kamu tadi bagus saat presentasi rapat. Semua orang kelihatannya puas dengan hasil kerja kamu."
"Oh, itu berkat bantuan Bapak," ujarku cepat. "Kalau bukan karena bimbingan Bapak, mungkin saya nggak akan bisa menyusun anggaran itu dengan baik."
"Jangan terlalu merendahkan diri, Sherly. Kamu punya potensi besar. Saya hanya memberikan arahan. Selebihnya itu hasil kerja keras kamu sendiri."
Mendengar pujian itu, aku hampir lupa cara bernapas. Wajahku terasa hangat, tapi aku mencoba tetap terlihat tenang. "Terima kasih, Pak. Saya... saya akan terus belajar."
Obrolan kami berlanjut tentang rapat tadi dan beberapa hal ringan lainnya. Sesekali aku tertawa kecil mendengar komentarnya yang singkat tapi penuh makna. Ada sesuatu yang membuatku merasa nyaman dalam percakapan ini, meski aku sedikit salah tingkah.
Tiba-tiba suara azan magrib terdengar dari ponselku. Aku tersentak pelan. "Pak, sepertinya saya harus menutup panggilan ini. Sudah waktunya shalat."
Pak Ariel tersenyum kecil dan mengangguk. "Iya, Sherly. Terima kasih atas obrolannya. Semoga kamu selalu semangat."
"Terima kasih, Pak. Bapak juga."
Panggilan terputus, tapi senyumku masih bertahan. Aku duduk diam sejenak, mencoba mencerna perasaan aneh tapi hangat yang mengalir di hatiku. Ada sesuatu tentang dia yang... sulit dijelaskan, tapi membuatku merasa nyaman.
***
POV Ariel
Lampu-lampu kota tampak temaram dari balik jendela besar di kamar rawat inap VVIP ini. Malam kembali terasa sunyi, setelah papa pergi keluar untuk menjawab panggilan telepon, saat ini aku hanya ditemani bunyi pelan dari tetesan infus di samping tempat tidurku. Meskipun ruangan ini begitu nyaman, ada saat-saat di mana kesunyian menjadi beban yang tak terelakkan.
Aku memandangi ponsel yang tergeletak di meja kecil di sebelahku. Pesan Sherly yang masuk tadi siang masih tersimpan di layar. Kata-katanya sederhana, tapi selalu ada kehangatan di dalamnya yang sulit untuk aku abaikan.
"Pak, bagaimana kabarnya hari ini? Semoga semakin membaik. Jangan lupa untuk banyak istirahat, ya."
Aku tersenyum kecil, membaca ulang pesannya sebelum akhirnya memutuskan untuk membalas.
"Malam, Sher. Terima kasih sudah tanya kabar saya. Kamu baik sekali. Kalau nggak keberatan, apa saya boleh video call lagi? Kemarin sepertinya saya mengganggu waktu istirahat kamu."
Tidak butuh waktu lama sebelum balasannya masuk.
"Oh, nggak apa-apa, Pak. Saya juga senang bisa ngobrol. Kalau Bapak mau video call lagi, saya siap, kok."
Aku menghela napas lega dan segera memulai panggilan. Saat wajah Sherly muncul di layar, dengan hijab instannya yang sederhana tapi manis, aku merasa dunia di sekitarku jadi sedikit lebih cerah.
"Assalamualaikum, Sher," sapaku lembut.
"Waalaikumsalam, Pak," jawabnya dengan senyum kecil. "Bagaimana hari ini? Sudah lebih baik?"
Aku mengangguk. "Alhamdulillah, lumayan. Hari ini lebih tenang, nggak banyak pemeriksaan. Tapi ya begini, harus tetap sabar menjalani."
Sherly mengangguk pelan. Wajahnya penuh perhatian, seperti biasa. Setelah beberapa obrolan ringan tentang pekerjaan dan harinya di kantor, aku merasa dorongan untuk membahas sesuatu yang selama ini selalu ada di pikiranku.
"Sher," panggilku, mencoba terdengar santai.
"Ya, Pak?"
Aku menatap layar, merasa sedikit ragu sebelum melanjutkan. "Saya ingin mengucapkan terima kasih lagi. Soal donor darah yang kamu lakukan untuk saya. Kamu nggak tahu betapa berharganya itu untuk saya."
Wajahnya tampak terkejut, lalu berubah menjadi haru. "Pak, jangan begitu. Saya cuma melakukan apa yang bisa saya lakukan. Kalau saya ada di posisi Bapak, saya yakin Bapak juga pasti akan melakukan hal yang sama."
Aku tersenyum, merasa hangat mendengar kata-katanya. "Mungkin kamu benar. Tapi tetap saja, kamu sudah menjadi bagian penting dari proses penyembuhan saya. Itu sesuatu yang nggak akan pernah saya lupakan."
Dia mengangguk pelan, matanya tampak berkaca-kaca. Aku terdiam sejenak, lalu, tanpa sadar, rasa penasaranku muncul ke permukaan.
"Ngomong-ngomong, Sher," ucapku, mencoba menjaga nada tetap ringan, "saya penasaran soal rhesus darah kamu. Kamu tahu kan, saya juga punya rhesus negatif karena ibu saya yang dari Jerman. Tapi kalau kamu? Keluarga kamu ada yang berdarah Eropa juga?"
Dia tampak bingung, keningnya berkerut sedikit. "Nggak, Pak. Setahu saya, orang tua saya dua-duanya rhesus positif. Dan nggak ada cerita keluarga saya ada yang dari luar negeri."
Aku mengangguk pelan, mencoba mencerna jawabannya. "Kalau begitu, apa kamu pernah memikirkan soal kemungkinan mutasi genetik?" tanyaku dengan nada ingin tahu.
Sherly tersenyum kecil, sedikit canggung. "Ya, mungkin. Selama ini saya menduga begitu. Rasanya nggak mungkin kalau saya punya warisan genetik lain, Pak."
Aku tertawa ringan, mencoba mencairkan suasana. "Atau jangan-jangan kamu punya darah campuran seperti saya? Siapa tahu ada cerita keluarga yang belum kamu tahu."
Dia ikut tertawa, meski dengan wajah yang tampak tidak percaya. "Ah, itu mustahil, Pak. Saya yakin nggak ada cerita seperti itu."
Sebelum aku sempat menanggapi lebih jauh, suara ketukan pelan di pintu kamar terdengar. Seorang perawat masuk, membawa alat suntik dan tensimeter.
"Pak Ariel, waktunya suntikan malam dan pemeriksaan tekanan darah," katanya ramah.
Aku menoleh ke layar. "Sher, sepertinya saya harus selesai dulu. Perawat sudah datang."
Dia tersenyum kecil, tampak mengerti. "Baik, Pak. Jangan lupa istirahat, ya. Semoga cepat sembuh."
"Terima kasih, Sher. Selamat malam."
"Selamat malam, Pak."
Panggilan berakhir, tapi senyumnya masih membekas di pikiranku. Aku menyandarkan punggung, membiarkan perawat menjalankan tugasnya. Malam ini rasanya lebih ringan, mungkin karena kehangatan percakapan tadi. Sesuatu tentang Sherly selalu bisa membuat hari-hari yang berat terasa sedikit lebih mudah untuk dilewati.