Handicraft

POV Sherly

Pagi itu, setelah Cindy pamit pulang ke rumahnya, aku berdiri di depan cermin kamar, menatap bayangan diriku sendiri dengan sorot mata yang berusaha tegas. "Kamu bisa, Sherly," gumamku, memberi semangat pada diriku sendiri. Rapat antar divisi hari ini adalah kesempatan untuk membalikkan kegagalanku beberapa hari yang lalu. Aku tidak ingin mengulangi rasa kecewa yang sama.

Setelah memastikan semua dokumen lengkap dan rapi, aku menuju kantor lebih awal. Degup jantungku semakin terasa saat jam menunjukkan pukul sepuluh pagi. Aku melangkah masuk ke ruang rapat dengan membawa presentasi yang sudah kurevisi bersama Pak Ariel dua hari yang lalu.

Ketika giliran presentasiku dimulai, aku berusaha mengendalikan suaraku, membuat setiap kata terdengar percaya diri. "Anggaran biaya untuk penambahan fitur teknologi ini kami perhitungkan berdasarkan kebutuhan teknis terkini dan potensi penghematan jangka panjang," kataku dengan mantap, menampilkan slide demi slide di layar proyektor. Suara-suara persetujuan mulai terdengar dari peserta rapat, dan itu memberiku kekuatan lebih.

Saat sesi diskusi dimulai, aku menahan napas menunggu tanggapan. Pak Dani, kepala divisi IT, mengangguk setuju. Itu sangat melegakan, mengingat beberapa hari lalu beliau sempat menyampaikan keberatan yang cukup tajam. Maya, rekan senior dari divisi keuangan yang sebelumnya selalu mengkritisi presentasiku, kali ini hanya diam. Dia bahkan tidak bisa menemukan celah untuk menolak anggaran yang sudah kurevisi bersama Pak Ariel.

Aku melirik ke arah Juan yang duduk tak jauh dariku. Kali ini, dia tersenyum tipis sambil berkata, "Anggaran ini sudah sesuai dengan ekspektasi kami di divisi IT. Terima kasih atas usaha kerasnya, Sherly." Ada nada tulus dalam suaranya, meski aku tahu dia sedang mencoba menenangkan dirinya sendiri.

Ketika Pak Setiawan, direktur divisi, memberi komentar tentang cadangan biaya tak terduga yang lebih besar dari proyek sebelumnya, aku merasa seperti ujian terakhirku baru saja dimulai. Tapi aku sudah siap. "Cadangan biaya itu kami tambahkan berdasarkan analisis risiko teknis yang lebih kompleks, Pak," jawabku tenang, mengingat detail diskusi dengan Pak Ariel dua hari yang lalu. "Fitur ini jauh lebih baru dibandingkan proyek sebelumnya, sehingga kami perlu mengantisipasi segala kemungkinan tantangan teknis."

Aku melihatnya mengangguk perlahan. "Baiklah, jika itu sudah diperhitungkan, saya setuju. Anggaran ini disetujui."

Degup jantungku perlahan melambat. Aku hampir tidak percaya mendengar kata-kata itu. Rasanya seperti beban besar yang terangkat dari pundakku.

***

Aku baru saja selesai merapikan dokumen di meja ketika wajah Pak Setiawan tampak tersenyum tipis, tanda bahwa presentasiku tadi cukup memuaskan. Rasanya seperti ada beban berat yang terangkat dari pundakku. Anggaran untuk proyek IT akhirnya disetujui, sesuatu yang beberapa hari lalu terasa seperti tembok besar yang sulit kutembus.

Tapi begitu suasana rapat bubar dan aku kembali ke mejaku, pikiran lain mulai menyelinap. Pak Ariel. Entah kenapa, dia seperti bayangan yang tak pernah benar-benar hilang dari pikiranku. Pagi ini, aku sempat teringat saat terakhir kali kami berbicara lewat telepon. Nada suaranya terdengar tajam waktu itu—pertanyaan tentang kenapa aku berangkat bersama Juan, perintahnya agar aku selalu bersama Pak Agus.

Aku menghela napas panjang. Rasanya seperti dilempar ke pusaran yang campur aduk. Di satu sisi, aku tahu Pak Ariel bukan tipe yang gampang menunjukkan emosinya, tapi percakapan semalam itu… berbeda. Apakah dia cemburu? Tidak mungkin, kan? Tapi, kenapa caranya bertanya waktu itu terdengar seperti seseorang yang—ah, aku bahkan tidak tahu bagaimana menjelaskannya.

Di satu sisi, aku merasa harusnya marah dengan cara dia berbicara yang terkesan memerintah. Tapi di sisi lain, ada sesuatu yang hangat di balik sikap tegasnya. Dia benar-benar memperhatikan, bahkan ketika aku tidak mengharapkan itu. Perasaan ini sulit dijelaskan. Aku dulu hanya merasa takut padanya—ketegasannya, sikap dinginnya. Lama-lama, aku mulai melihat sisi lain dari dirinya. Yang lebih manusiawi.

Mungkin, itu sebabnya sekarang aku merasa lebih dari sekadar hormat. Ada empati, mungkin juga kekaguman. Dia yang tetap menjalani hari-hari di tengah rasa sakitnya, yang selalu memastikan aku tidak menyerah ketika aku hampir putus asa. Dan ketika dia mengatakan bahwa aku harus kuat, rasanya seperti ada bagian diriku yang percaya—percaya bahwa aku memang bisa.

Aku menyandarkan kepala di kursi, menatap langit-langit ruangan. Apa yang sebenarnya sedang aku rasakan? Kenyamanan ini terasa terlalu akrab, hampir seperti… seperti ketika aku bersama abangku dulu. Tapi, di saat yang sama, rasanya berbeda. Lebih kompleks, lebih membingungkan.

Aku menggeleng pelan, mencoba membuang semua pikiran itu. Ini bukan saatnya untuk terjebak dalam emosi yang tidak pasti. Tapi tetap saja, bayangan Pak Ariel—senyumnya yang jarang, tatapannya yang kadang terasa hangat—tidak mau pergi dari pikiranku.

"Aku terlalu banyak berpikir," gumamku pelan, lebih untuk diriku sendiri. Aku mengambil dokumen anggaran yang baru disetujui, berusaha memfokuskan diriku kembali.

Namun, di dalam hati, aku tahu. Seberapa keras pun aku mencoba, sosoknya tetap ada.

***

Aku baru saja selesai makan siang dan duduk kembali di meja kerjaku. Kantor terasa lebih sepi dari biasanya, banyak yang masih berada di ruang makan atau ruang istirahat. Ponselku bergetar, dan aku melihat nama Dwi muncul di layar. Aku membuka pesan dari dia dengan sedikit rasa penasaran, meskipun obrolan kami sebelumnya masih membekas di pikiranku.

Dwi: "Hei, Sher, gimana makan siangnya? Ada yang seru?"

Aku tersenyum tipis, merasa seolah-olah dia bertanya hanya untuk mengisi kekosongan waktu. Dwi memang sering seperti itu, mengajak ngobrol tanpa ada tujuan yang jelas.

Sherly: "Lancar kok. Nggak seru sih, cuma makan biasa. Gimana kamu?"

Dwi membalas cepat, seperti biasanya, dengan balasan yang terasa santai, hampir tanpa beban.

Dwi: "Aku lagi duduk-duduk, sambil santai. Tahu nggak, aku lagi kepikiran sesuatu nih…"

Pesan itu membuatku sedikit penasaran. Dwi yang biasanya nggak pernah berbicara serius, sekarang tampaknya punya sesuatu di pikirannya.

Sherly: "Kepikiran apa, nih? Kamu lagi banyak mikir, ya?"

Dwi: "Gini deh, Sher. Aku penasaran sama kamu."

"Kamu tuh orangnya suka apa sih? Maksudnya, kayak hal-hal yang bisa bikin kamu senang gitu?"

Aku terkejut mendengar pertanyaan itu. Biasanya, Dwi nggak pernah serius bertanya tentang hal-hal pribadi kayak gini. Aku merasa sedikit bingung, mencoba mencerna maksud di balik pertanyaannya.

Sherly: "Hah? Kenapa tiba-tiba nanya gitu? Suka apa, ya?"

"Hmm... aku sih nggak tahu ya. Kalau lagi banyak waktu, aku suka banget sama barang-barang seni. Kayak handicraft gitu. Bikin aku seneng kalau nemu yang unik."

Aku membaca ulang kalimat itu. Kenapa aku jawab seperti itu? Rasanya pertanyaan Dwi membuatku sedikit canggung, jadi aku berusaha memberi jawaban yang terasa ringan, meskipun itu bukan hal yang biasanya aku ceritakan.

Dwi tak membalas langsung, dan sepertinya dia agak terdiam. Aku menunggu, sedikit bingung kenapa dia bisa tertarik sama hal-hal semacam itu. Tapi tak lama kemudian, pesannya datang lagi, dan sepertinya Dwi ingin segera mengalihkan topik.

Dwi: "Wah, itu keren sih! Kalau kamu suka barang unik, berarti kamu harus mampir ke tempat yang aku tahu. Banyak banget barang menarik di sana, deh. Kalau ada waktu, nanti kita jalan-jalan bareng."

Aku mendengus pelan. Nggak ngerti juga kenapa tiba-tiba dia jadi ngajakin jalan-jalan. Tapi, aku nggak berpikir banyak. Mungkin dia cuma coba mengalihkan pembicaraan setelah pertanyaan yang agak aneh itu.

Sherly: "Boleh juga tuh! Tapi jangan kaget kalau aku malah borong semua barangnya, ya."

Dwi: "Hahaha, nggak masalah! Aku justru senang kalau kamu suka. Nanti kita atur waktunya ya."

Aku tersenyum kecil, mengabaikan rasa bingung yang masih menggelayuti. Tak ada hal lain yang perlu aku pikirkan lagi. Percakapan kami terus mengalir dengan santai, seolah-olah pertanyaan tadi hanyalah bagian dari obrolan ringan. Tapi entah kenapa, ada rasa aneh di dada. Seolah Dwi mengajukan pertanyaan itu untuk alasan lain, bukan sekadar keingintahuan biasa.