Curhat

POV Sherly

Sejak pagi tadi, pikiranku terasa kacau. Semua gara-gara sikap Juan yang memaksaku berangkat bersamanya dan sikap pak Ariel yang tak terduga. Aku merasa ada yang aneh, seperti ada sesuatu yang tak terkatakan antara kami. Tapi, aku berusaha untuk menepisnya, mencoba tetap fokus pada pekerjaanku. Namun, ketegangan itu membuatku sulit berkonsentrasi.

Tiba-tiba, pintu ruanganku terbuka, dan Pak Haris masuk dengan wajah serius. Aku terkejut sejenak, tapi langsung mencoba menata ulang pikiranku. Kehadirannya seperti angin segar yang membawaku kembali ke dalam alur kerja. Segera, aku mengumpulkan fokus dan menunjukkan anggaran biaya yang sudah kubuat.

Pak Haris membaca dengan seksama, matanya bergerak cepat di atas kertas yang kuberikan. Aku bisa merasakan ketelitiannya, dan tak lama setelah itu, ia mengulang beberapa bagian sambil berpikir keras. Aku menunggu dengan sabar, mencoba menahan rasa cemas yang mulai timbul. Akhirnya, ia menatapku dan memberikan saran untuk menyesuaikan estimasi harga pasar dengan data terbaru yang ia dapatkan dari kantor cabang.

"Revisi sedikit, Sherly. Perhatikan data terbaru ini, ya," katanya dengan suara yang tenang tapi penuh perhatian.

Aku mengangguk paham. "Baik, Pak Haris. Terima kasih atas masukannya."

Dengan semangat yang baru, aku segera bekerja menyesuaikan anggaran itu, meskipun perasaan tidak nyaman masih menyelimuti hatiku. Tak lama kemudian, setelah sedikit perbaikan, aku kembali menemui Pak Haris sebelum pulang. Ia memeriksa hasil revisiku, dan kali ini, senyumnya mengembang. "Bagus, Sherly. Ini sudah sangat baik. Besok kita siap untuk rapat antar divisi."

Mendengar itu, aku merasa sedikit tertekan. Rapat besok pasti akan menuntut perhatian ekstra. Aku mengangguk, berusaha untuk tidak menunjukkan kegelisahan yang mulai tumbuh di dalam diriku. Namun, tiba-tiba wajah pak Ariel melintas di pikiranku—wajahnya yang lemah dan tegang saat di video call semalam. Seketika, aku merasa canggung.

Mengapa aku memikirkan pak Ariel sekarang? Aku menggelengkan kepala, mencoba mengusir pemikiran itu. Itu gila, kan? Pak Ariel, hanya Bosku, dan aku terlalu banyak berpikir. Tetapi, kenapa hatiku terasa berdebar setiap kali aku membayangkan wajahnya?

Aku menggelengkan kepala lagi, berusaha untuk kembali fokus. Pekerjaan ini adalah prioritas utamaku sekarang, bukan perasaan aneh yang mulai muncul tanpa bisa kujelaskan.

***

Setelah seharian penuh dengan pekerjaan yang menumpuk, aku merasa sedikit lega saat akhirnya keluar dari kantor dan memasuki mobil. Pak Agus menyetir dengan tenang, namun, saat mobil itu mulai bergerak keluar dari area kantor, mataku menangkap sosok Juan yang sedang berdiri di sisi jalan, tampak memikirkan sesuatu dengan wajah serius. Melihat wajahnya seperti itu, entah kenapa aku merasa ada yang tidak beres. Seperti ada perasaan bersalah yang tiba-tiba muncul tanpa alasan yang jelas. Apakah aku telah melakukan sesuatu yang salah? Aku merasa tak nyaman seketika.

Sesampainya di rumah, aku terkejut melihat Cindy sudah berada di depan pintu. Mataku langsung berbinar melihat sahabatku itu. Cindy datang tanpa memberi kabar sebelumnya dan bahkan berencana menginap di rumahku malam ini. Aku sangat senang, rasanya seperti sudah lama sekali tak bertemu dengannya. Ibu pun menyambut kedatangan Cindy dengan senang hati, senyum ibu meluas, tanda senang dengan kedatangan teman baik anaknya. Kami berbicara banyak hal, dan tak lama kemudian, suasana menjadi hangat seperti dulu.

Di malam hari, saat kami berdua duduk santai di atas kasurku, cerita-cerita pun mengalir begitu saja. Cindy mengajakku untuk berbagi, dan aku tak bisa menahan diri. Aku menceritakan semuanya—tentang kejadian pagi tadi, tentang pak Ariel, tentang Juan, dan segala yang terjadi dalam hidupku belakangan ini. Cindy mendengarkan dengan seksama, tak ada yang terlewatkan dari cerita yang kuutarakan. Dan setelah aku selesai, dia terdiam sesaat, seolah berpikir, lalu membuka suara.

"Lu tahu, kan, Sher, kalau pak Ariel dan Juan itu suka sama lu?" kata Cindy dengan nada yang langsung menohok, seolah itu adalah fakta yang pasti.

Aku terdiam, otakku langsung berputar. Sebenarnya, aku sudah menduga hal itu, tapi entah kenapa aku masih ragu. Mungkin aku terlalu sensitif, terlalu memikirkan hal-hal yang tidak perlu. Namun, mendengar Cindy mengatakan itu membuatku merasa seperti ada sesuatu yang jelas dan pasti.

"Lu yakin?" tanyaku, sedikit ragu.

"Yakin, lah," jawab Cindy tanpa keraguan. "Lihat aja sikap mereka, Sher. Cuma orang yang jatuh hati yang bisa cemburu kayak gitu."

Aku menghela napas panjang, masih merasa bingung dengan perasaanku sendiri. "Tapi, gua takut aja kalau gua cuma overthinking tentang mereka."

Cindy tertawa pelan, "Lu selalu gitu, kan? Terlalu sering ragu sama diri sendiri. Tapi menurut gua, dua orang itu emang naksir lu. Dan mereka lagi cemburu satu sama lain."

Aku mematung, bingung. Perasaan apa yang harus kuberikan pada mereka? "Tapi gua... gua bingung, Cin. Gua nggak tahu harus gimana dengan mereka. Gua nggak mau salah langkah."

Cindy kemudian mengajukan sebuah pertanyaan yang membuatku semakin terjaga dari kebingunganku. "Gimana perasaan lu sama mereka, Sher? Gue nggak bilang lu harus pilih sekarang, tapi coba deh perhatiin perasaan lu."

Aku menggigit bibir, bertanya-tanya pada diriku sendiri. "Perasaan gua...?" Aku tak tahu harus menjawab apa. Sebetulnya, aku merasa nyaman dengan keduanya, tapi ada sesuatu yang berbeda antara mereka. Perasaan itu tak bisa kujelaskan dengan mudah.

Cindy melanjutkan dengan suara yang tenang dan bijak. "Lu nggak usah buru-buru. Coba deh perlakukan mereka dengan baik, biarkan aja waktu yang mengarahkan. Kalau hati lu nyaman dengan Pak Ariel, berarti itu buat Pak Ariel, tapi kalau nyaman dengan Juan, ya itu buat Juan."

Aku mengernyit, merasa ragu dengan cara Cindy itu. "Tapi gua nggak tahu kalau itu bisa benar, Cin. Gua nggak mau bikin kesalahan."

Cindy tersenyum bijak. "Coba aja dulu, Sher. Setiap orang punya cara masing-masing untuk tahu apa yang mereka rasakan. Gua cuma kasih saran."

Aku terdiam lama, berpikir keras tentang apa yang baru saja Cindy katakan. Mungkin memang benar, aku harus memberi waktu pada diriku sendiri untuk merasakan mana yang lebih terasa benar. "Gua akan pertimbangin itu, Cin. Tapi gua nggak janji apa-apa."

Cindy mengangguk dengan senyum. "Gitu dong. Yang penting, lu nggak salah langkah. Gua yakin lu bisa ngerti perasaan lu sendiri."

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikiran yang mulai semakin kacau. Malam ini, aku tak punya jawaban pasti untuk semuanya, tapi setidaknya aku tahu aku bisa mencari jawabannya pelan-pelan.

***

POV Liese (Kakak Ariel)

Aku duduk di samping tempat tidur Ariel, memperhatikan wajahnya yang termenung. Sudah beberapa jam ia terdiam, matanya menatap kosong ke arah jendela yang hanya menunjukkan kegelapan malam. Tidak biasanya dia seperti ini, dan aku mulai khawatir. Adikku yang satu ini cenderung menutup diri, tapi aku tahu, ada sesuatu yang sedang mengganggunya.

Lalu, aku memutuskan untuk mencoba sesuatu. "Ariel, was geht in deinem Kopf vor?" (Ariel, apa yang sedang kamu pikirkan?)

Ariel mengalihkan pandangannya dariku dan menarik napas panjang, seolah berusaha menyembunyikan sesuatu. "Nichts," jawabnya singkat, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang dia sembunyikan.

Aku tahu dia sedang berusaha menutupi perasaannya, jadi aku mencoba pendekatan yang berbeda. "Weißt du, als ich in deinem Alter war, hatte ich auch solche Gedanken. Oft war ich verwirrt über meine Gefühle, und ich wusste nicht, wie ich damit umgehen sollte." (Kamu tahu, waktu aku seumuran denganmu, aku juga sering merasa bingung dengan perasaan seperti ini. Aku sering galau dan tidak tahu harus bagaimana.)

Ariel menoleh ke arahku, sedikit terkejut. "Bist du dir sicher? Was hast du damals gemacht?" (Kamu yakin? Apa yang kamu lakukan waktu itu?)

Aku tersenyum dan memutar pandangan sejenak, mengingat masa-masa itu. "Nun, ich hatte damals Leon, und er war immer da, um mich zu beruhigen. Wir haben uns oft gestritten und uns dann wieder versöhnt. Das war auch eine seltsame Zeit für uns beide." (Saat itu, aku punya Leon, dan dia selalu ada untuk menenangkanku. Kami sering berdebat dan kemudian berdamai. Itu memang waktu yang aneh bagi kami berdua.)

Ariel menatapku lebih intens. "Und wie hat er dir gezeigt, dass er dich mochte?" (Lalu, bagaimana dia menunjukkan bahwa dia menyukaimu?)

Aku tertawa pelan, mengenang kembali cara Leon memperlakukanku. "Er hat mir immer Blumen geschenkt, weil ich Blumen liebe." (Dia selalu memberiku bunga karena aku suka bunga.)

Ariel terlihat berpikir keras, matanya seolah menerawang, seolah ia sedang menimbang kata-kataku. Aku tahu, dia sedang mencoba mencerna kata-kataku, tapi aku tidak ingin memaksanya bercerita lebih banyak. Aku bisa merasakan bahwa dia tidak siap untuk itu.

"Du musst jetzt nicht antworten, Ariel. Aber du weißt, dass du immer mit mir sprechen kannst." (Kamu tidak harus menjawab sekarang, Ariel. Tapi kamu tahu, kamu selalu bisa bicara dengan aku.)

Ariel mengangguk perlahan, dan meskipun ada keraguan di matanya, aku tahu dia mulai merasa sedikit lebih lega. Kami berdua diam dalam keheningan yang nyaman, dan aku memutuskan untuk tidak mengganggunya lebih jauh.

"Es ist spät, Ariel. Ruh dich aus." (Sudah larut, Ariel. Tidurlah.)

Ariel mengangguk sekali lagi, dan aku melihat dia mulai merentangkan selimut. Aku kemudian berdiri dan menyiapkan tempat tidur di samping ranjangnya, yang memang sudah disiapkan untuk yang menjaga pasien. "Ich werde hier bleiben. Gute Nacht, Ariel." (Aku akan tidur di sini. Selamat malam, Ariel.)

Ariel hanya tersenyum kecil. "Gute Nacht, Schwester Liese." (Selamat malam, Kak Liese.)

Aku berbaring di ranjang sebelah, menutup mata, tapi pikiranku tetap melayang pada percakapan kami tadi. Aku tahu, Ariel sedang berjuang dengan perasaan yang tidak mudah baginya untuk diungkapkan. Namun, aku percaya, dia akan baik-baik saja. Setiap orang memiliki cara mereka sendiri untuk menghadapinya.

***