POV Sherly
Setelah menyelesaikan video call dengan pak Ariel, aku menyandarkan punggungku di kursi dan menghela napas panjang. Rasanya lega sekaligus melelahkan, tapi aku senang bisa menyelesaikan sebagian besar revisiku. Aku memutuskan untuk beristirahat sebentar sebelum tidur. Saat aku melihat ponselku, tiba-tiba aku teringat pada Dwi. Entah kenapa aku ingin mengirim pesan padanya, hanya sekadar menyapa.
Aku mengetik singkat, Hai, lalu menekan tombol kirim. Tak lama kemudian, Dwi membalas, Ada masalah lagi, Sher?
Aku terdiam, bingung. Kenapa dia menanyakan itu? Padahal terakhir kali kami chatting siang tadi, obrolannya ringan, soal menu makan siangku dan komentar random dia tentang makanan sehat. Apa maksudnya sekarang? Aku memiringkan kepala, mencoba mencerna kalimat itu, lalu membalas, Gak ada, emang masalah apa?
Pesanku terkirim, tapi tak kunjung dibalas. Aku menunggu dengan gelisah, hingga akhirnya rasa kantuk mulai menyerangku. Tepat ketika aku hampir menyerah, notifikasi muncul.
Maksud aku ada yang perlu kamu ceritakan ke aku mungkin, seperti sebuah masalah di kantor atau di rumah.
Aku membaca pesannya beberapa kali. Nada bicaranya terasa serius, tapi... kenapa? Dari mana dia tahu aku baru saja menghadapi sesuatu? Aku menggigit bibir, menimbang apa yang harus kubalas. Akhirnya, aku mengetik dengan hati-hati, Aku ada masalah di kantor kemarin, tapi sekarang sudah nggak ada kok.
Setelah mengirim balasan itu, aku mencoba mengalihkan obrolan ke topik lain, mengajaknya bicara tentang hal-hal ringan. Dwi merespons seperti biasa, dengan komentar pendek dan sesekali melontarkan candaan khasnya yang dingin. Namun, di dalam hati, aku merasa ada yang janggal dengan pesannya tadi.
Kenapa dia tiba-tiba menyinggung soal masalah di kantor atau di rumah? Apakah dia tahu sesuatu? Atau mungkin aku terlalu memikirkan hal ini?
Aku menggelengkan kepala, mencoba menepis pikiran itu. Udah, Sherly, kamu cuma overthinking, gumamku pada diri sendiri. Tapi rasa penasaran itu terus menggelitik. Aku melirik layar ponselku, melihat balasan terakhir Dwi. Sekilas, aku merasa ada sesuatu yang... lain, tapi aku memilih untuk mengabaikannya. Mungkin hanya perasaanku saja.
***
Pagi itu, aku baru saja selesai merapikan hijab ketika mendengar suara obrolan dari luar. Saat membuka pintu, aku melihat Juan sedang bercakap-cakap dengan Ibu. Mereka tampak akrab, bahkan Ibu tertawa kecil mendengar sesuatu yang dikatakan Juan. Dalam hati aku heran, sejak kapan dia bisa sedekat ini dengan keluargaku?
Aku melangkah keluar sambil membawa tas kerjaku. Juan langsung berdiri begitu melihatku, wajahnya berbinar seperti anak kecil yang menemukan hadiah. "Pagi, Sherly. Aku kebetulan lewat dan pikir, kenapa nggak sekalian jemput kamu?" katanya, nada suaranya terdengar terlalu riang untuk pagi yang masih dingin.
Aku mencoba menolak dengan sopan. "Terima kasih, Juan, tapi aku sudah dijemput Pak Agus. Dia pasti sudah di perjalanan."
Juan menghela napas panjang, tapi tidak menyerah. "Ayolah, Sher. Untuk sekali ini saja. Aku cuma mau antar kamu ke kantor, itu saja. Apa aku nggak boleh?"
Aku tertegun, mencoba memikirkan alasan lain untuk menolak tanpa menyakitinya. Namun, sebelum aku sempat menjawab, nada bicaranya berubah. "Kenapa hanya untuk satu kali ini saja kamu nggak mau kasih aku kesempatan? Apa aku sehina itu di matamu?"
Kata-katanya menusuk. Aku langsung merasa tidak enak hati. Juan bukan orang jahat, dan dia benar-benar berusaha mendekatiku belakangan ini. Aku menarik napas dalam, mencoba mengusir rasa bersalah yang mulai muncul. "Baiklah, Juan. Tapi hanya untuk kali ini saja, ya," jawabku akhirnya.
Wajahnya langsung berubah cerah. "Terima kasih, Sherly!" serunya, seperti seseorang yang baru saja memenangkan undian besar.
Ketika aku melangkah menuju mobil Juan, aku melihat Pak Agus berhenti di depan rumah. Aku mendekatinya dan meminta maaf dengan tulus. "Maaf ya, Pak Agus. Saya akan ke kantor dengan teman hari ini."
Pak Agus hanya mengangguk pelan, wajahnya netral tapi matanya menunjukkan rasa bingung. "Baik, Nona Sherly."
Aku masuk ke mobil Juan dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, aku merasa lega telah menghindari konfrontasi lebih jauh. Tapi di sisi lain, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Mungkin, ini bukan keputusan yang tepat. Namun, melihat Juan yang tampak sangat senang, aku memutuskan untuk tidak memikirkannya lebih jauh.
Di perjalanan, Juan memecah keheningan dengan suara pelan tapi terdengar serius. "Sher, aku minta maaf untuk kemarin. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku tahu seharusnya aku nggak memaparkan kesalahanmu di rapat seperti itu. Aku... ditekan, tapi itu bukan alasan. Aku nggak mau kita jadi renggang karena ini."
Aku melirik ke arahnya, agak terkejut mendengar permintaan maaf yang begitu tulus. "Nggak apa-apa, Juan. Aku sudah melupakannya," jawabku singkat, mencoba meredakan situasi.
Namun, Juan tidak berhenti. "Tapi aku nggak bisa. Aku memikirkan ini semalaman. Aku janji nggak akan ngulangin lagi. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada di sisimu."
Aku terdiam sesaat, merasa bingung. Apa maksudnya dengan "selalu ada di sisimu"? Kenapa dia terdengar seperti membuat sumpah yang begitu besar? Aku merasa ini berlebihan, tapi memutuskan untuk tidak mengomentarinya.
"Aku benar-benar nggak apa-apa, Juan," ulangku sambil tersenyum kecil. "Lagipula, masalah kemarin sudah hampir selesai kok, berkat bantuan Pak Ariel."
Sekilas aku melihat perubahan di wajah Juan. Mata yang tadi fokus ke jalan kini melebar, dan tiba-tiba saja dia menginjak rem mendadak.
"Juan!" seruku panik, pikiranku langsung melayang ke bayangan mobil ini mungkin saja menabrak sesuatu.
"Tadi aku kira ada lubang, ternyata cuma genangan air," katanya sambil tertawa canggung, meskipun wajahnya terlihat agak tegang.
Aku memutar mataku, merasa sedikit lega tapi juga bingung dengan sikapnya yang aneh. Apa benar hanya genangan air?
Perjalanan kembali dilanjutkan dalam keheningan. Namun, setelah beberapa menit, Juan kembali membuka pembicaraan. Kali ini, nada suaranya berubah, lebih santai tapi dengan pertanyaan yang aneh. "Sher, kamu tahu nggak, Pak Ariel itu sudah punya calon, lho"
Pernyataan itu membuatku bingung. Apa hubungannya pak Ariel dengan ini? Tapi aku mencoba menjawab dengan santai. "Nggak tahu."
Juan mengangguk, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggunya. Aku melirik sekilas, dan dia terlihat menggigit bibir bawahnya, seperti menahan emosi.
Begitu sampai di kantor, aku melepas sabuk pengaman dan berbalik ke arahnya. "Juan, makasih ya udah nganterin aku."
Dia hanya mengangguk kecil, tanpa menatapku. "Iya. Hati-hati, Sher."
Nada suaranya terdengar dingin, jauh berbeda dari tadi. Aku keluar dari mobil dengan perasaan aneh. Ada sesuatu yang berubah sejak aku menyebut nama pak Ariel tadi, tapi aku tidak ingin memikirkannya terlalu dalam. Aku masih punya banyak pekerjaan yang menunggu di mejaku.
Baru saja aku melangkah ke dalam ruang kerjaku, ponsel di saku blazerku bergetar. Nama Pak Ariel muncul di layar, membuat nafasku tercekat. Ada apa lagi kali ini? Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengontrol detak jantungku yang mendadak berpacu.
"Assalamualaikum," ucapku dengan suara yang tidak bisa kusembunyikan ketegangannya.
"Waalaikumsalam," balas pak Ariel. Suaranya tegas, lebih tegas daripada biasanya, meski masih terdengar lemah seperti pasien yang sedang memulihkan diri. "Kenapa kamu tadi pagi tidak berangkat dengan Pak Agus?"
Pertanyaannya langsung menusuk, tanpa basa-basi. Aku menggigit bibir, berusaha mencari jawaban yang tidak terlalu menyinggung. "Juan... Juan datang lebih dulu, Pak," jawabku ragu-ragu.
Pak Ariel diam sesaat, lalu suaranya meninggi. "Apa hubunganmu dengan Juan?" tanyanya tanpa sedikit pun mencoba terdengar profesional. Nada suaranya lebih seperti seseorang yang... entahlah, merasa punya hak atas jawabanku.
Aku tergagap. "Dia... teman saya, Pak," jawabku, nyaris berbisik.
"Teman?" Pak Ariel mendengus pendek. "Saya tidak percaya itu alasan yang cukup."
Aku tertegun. Sejak kapan pak Ariel berbicara dengan nada seperti ini? Sebelum aku sempat berkata apa-apa, dia melanjutkan, "Mulai sekarang, kamu harus berangkat dan pulang dengan Pak Agus. Itu perintah, Sherly. Saya tidak mau dengar alasan lagi."
Kalimatnya seperti petir di siang bolong. Aku hampir tidak percaya dia baru saja berkata begitu. Perintah? Tanpa memberikan ruang untukku menjelaskan? Tapi nada bicaranya tidak memberikan ruang untuk penolakan. Aku mengangguk refleks, meskipun dia jelas tidak bisa melihatnya. "Ba-baik, Pak," jawabku akhirnya.
Kemudian hening. Pak Ariel tidak berbicara lagi. Hanya ada suara napasnya yang terdengar berat. Aku menggigit bibir, bingung harus mengatakan apa. Akhirnya, aku memutuskan untuk memberanikan diri bertanya. "Bapak?" tanyaku pelan, nyaris seperti bisikan.
"Saya tiba-tiba merasa tidak enak badan," jawabnya, suaranya melemah. "Maaf kalau saya terlalu keras tadi."
Sebelum aku sempat merespons, dia menutup telepon.
Aku masih memegang ponselku erat-erat, memandang layar yang kini kembali gelap. Ada sesuatu yang tidak kumengerti dari sikap pak Ariel. Kenapa dia terdengar begitu emosi? Kenapa aku merasa seolah-olah dia... cemburu? Tidak, tidak mungkin. Aku pasti hanya terlalu banyak berpikir.
Tapi kenapa aku merasa detak jantungku belum kembali normal? Kenapa hatiku terasa berat, seolah ingin memikirkan pak Ariel lebih dari yang seharusnya? Aku menggelengkan kepala, berusaha mengusir pikiran itu. "Fokus, Sherly," gumamku pada diri sendiri. Tapi, tetap saja, bayangan pak Ariel tak mau pergi dari benakku.
***