POV Sherly
Pagi itu, setelah melalui dua hari libur kerja yang berat, aku masuk ke ruang kerja dengan perasaan yang masih campur aduk. Rasanya aneh setelah semalam menangis dan mendengar suara pak Ariel yang tiba-tiba terasa… manusiawi. Tapi hari ini aku memutuskan satu hal: aku akan mencoba melanjutkan ini semua. Setidaknya, aku harus memperbaiki anggaran biayaku.
Pak Haris memanggilku ke mejanya sebelum aku mulai bekerja. Aku sempat mengira dia akan melontarkan candaan atau mencoba meremehkan kesalahanku, seperti biasanya, tapi kali ini berbeda. Wajahnya serius, dan ketika aku duduk di depannya, dia menghela napas panjang.
"Sherly," katanya dengan nada rendah. "Saya minta maaf. Saya harusnya lebih memperhatikanmu sebagai trainee yang baru naik posisi. Kelalaian ini bukan cuma kesalahanmu, tapi juga kesalahan saya."
Aku tertegun. Mendengar kata "maaf" dari Pak Haris adalah sesuatu yang tak pernah kubayangkan.
"Saya tahu kamu kecewa. Tapi saya juga yakin kamu bisa memperbaiki semuanya," lanjutnya. "Kesalahan itu biasa. Yang penting adalah bagaimana kita bangkit setelahnya. Kalau kamu butuh arahan atau bantuan, jangan ragu untuk bicara."
Aku hanya bisa mengangguk, lalu tersenyum kecil. Kata-katanya sederhana, tapi entah kenapa itu cukup membuatku merasa lebih ringan.
Setelah itu, aku memutuskan untuk ke divisi IT. Aku tahu di sana aku bisa mendapatkan dokumen dan data yang aku butuhkan. Saat melangkah ke ruangannya, aku melihat Juan sedang duduk di mejanya, tampak sibuk dengan layar monitor.
Ketika dia melihatku, ekspresinya berubah. Ada rasa bersalah yang sangat jelas tergambar di wajahnya.
"Sherly…" katanya pelan, seperti mencoba membaca suasana.
Aku menghela napas dan tersenyum kecil. "Pagi, Juan," jawabku santai, berusaha membuat semuanya terlihat normal.
Dia tampak bingung sejenak, lalu berkata, "Aku minta maaf soal kemarin. Aku nggak bermaksud mempermalukanmu di depan rapat. Aku cuma—"
Aku mengangkat tangan, memotongnya dengan lembut. "Nggak apa-apa, Juan. Kamu cuma melakukan tugasmu. Lagipula, aku tahu itu bukan salahmu."
Juan terdiam, lalu mengangguk pelan. Dia masih terlihat tidak nyaman, tapi aku memutuskan untuk tidak memperpanjang pembicaraan ini.
"Ngomong-ngomong, aku butuh beberapa dokumen," kataku, mengganti topik. "Aku butuh data tentang kebutuhan sumber daya eksternal, penggunaan fitur harian, dan kebutuhan backup keamanan tambahan. Kamu bisa bantu?"
Juan terlihat lega karena aku langsung masuk ke pembahasan pekerjaan. "Oh, tentu. Tunggu sebentar, aku ambilkan filenya."
Aku menunggu di meja kerja Juan, memandangi tumpukan dokumen dan layar monitor yang penuh dengan diagram dan angka. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Meski dia tampak profesional, aku bisa merasakan rasa bersalah itu belum sepenuhnya hilang darinya. Tapi aku tidak ingin mempermasalahkan hal itu lagi.
Ketika dia menyerahkan dokumen yang kubutuhkan, aku menerima semuanya dengan senyum. "Terima kasih, Juan. Ini sangat membantu," kataku sambil mulai membuka file-file itu dan mencatat hal-hal penting.
Meskipun aku masih merasa kecewa dengan kejadian kemarin, aku sadar ada hal yang lebih penting daripada tenggelam dalam rasa kecewa itu. Aku harus bangkit. Bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk diriku sendiri.
Dengan dokumen-dokumen itu di tangan, aku kembali ke mejaku. Langkah-langkah perbaikan mulai terasa lebih jelas di kepalaku. Ini belum selesai, tapi aku yakin bisa menyelesaikannya.
***
Ponselku bergetar pelan di meja. Nama Pak Ariel muncul di layar, dan entah kenapa, hatiku seperti dihantam ombak kecil yang tiba-tiba menggulung. Aku mengernyitkan dahi, bingung dengan reaksi tubuhku sendiri. Itu hanya telepon, bukan sesuatu yang luar biasa.
Kupandangi layar itu beberapa detik sebelum akhirnya kugeser ikon hijau untuk menjawab.
"Assalamualaikum, Pak Ariel," ucapku dengan nada yang kuusahakan tetap tenang. Tapi jujur saja, suaraku terdengar agak bergetar di awal.
"Waalaikumsalam, Sherly." Suara pak Ariel terdengar lebih tenang, meskipun tidak selembut tadi malam. Masih ada kelembutan di sana, tapi nada itu lebih tegas sekarang.
"Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanyanya.
Oh. Jadi itu alasannya menelepon? Aku menarik napas dan tersenyum tipis, meskipun dia tidak bisa melihatnya. "Alhamdulillah, saya baik, Pak. Terima kasih sudah bertanya."
Pak Ariel terdiam sejenak sebelum lanjut berbicara. "Bagaimana dengan revisi anggaran? Ada kendala sejauh ini? Kalau butuh bantuan, jangan ragu untuk hubungi saya."
Nada suaranya terdengar tulus, dan aku bisa merasakan perhatian itu meskipun jarak kami terpisah ratusan kilometer. Ada sesuatu yang berbeda dari cara dia berbicara. Biasanya, pak Ariel berbicara dengan nada dingin, seperti ada tembok yang menghalangi. Tapi kini... tembok itu seperti retak.
Aku menggelengkan kepala meskipun dia tidak bisa melihatku. "Sejauh ini, masih bisa saya tangani, Pak. Terima kasih banyak atas tawarannya. Saya benar-benar menghargainya."
"Baik. Kalau ada sesuatu, jangan sungkan," jawabnya.
Percakapan itu berakhir dengan salam, seperti biasa. Aku meletakkan ponselku di meja dan menghela napas panjang. Lalu, tiba-tiba aku tersenyum.
Ada perasaan hangat yang merayap pelan di dadaku. Ini aneh. Sangat aneh. Pak Ariel biasanya tidak seperti itu—dan aku juga tidak biasanya seperti ini. Apa yang salah denganku?
Aku menggelengkan kepala lagi, mencoba mengusir pikiran-pikiran aneh yang mulai bermunculan.
Mungkin dia hanya sedang lembut karena kondisinya yang masih dalam masa perawatan. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri. Tapi tetap saja, senyum itu tidak hilang dari wajahku. Bahkan ketika aku kembali menatap dokumen revisi di meja, rasa hangat itu masih tinggal.
Aku menekan dadaku pelan.
"Apa, sih, sebenarnya yang aku rasakan ini?" gumamku pelan sambil menatap langit-langit ruangan, mencari jawaban yang mungkin tidak akan kutemukan.
***
Aku baru saja masuk ke rumah, membawa semua tugas yang harus kuselesaikan. Malam ini aku berniat untuk memperbaiki anggaran biaya, agar semua bisa selesai dengan baik dan tepat waktu. Aku duduk di meja kerja, menghadap layar komputer yang sudah penuh dengan data dan perhitungan, lalu mulai melanjutkan pekerjaan.
Namun, tiba-tiba wajah pak Ariel muncul begitu saja di pikiranku. Hatiku berdegup kencang seketika, dan aku tersentak, mencoba mengusir gambaran itu. Aku kembali fokus pada layar, tapi tidak lama kemudian, wajah itu kembali muncul. Pak Ariel... kenapa aku terus memikirkannya? Aku menggigit bibir, mencoba menenangkan diri dan mengusir perasaan itu.
Aku berhenti sejenak dan memikirkan kata-kata pak Ariel tadi siang. Kalau butuh bantuan, jangan ragu untuk hubungi saya. Rasanya, aku ingin sekali menghubunginya, tapi aku nggak tahu apa yang harus kutanyakan. Sungguh, aku cuma ingin berbicara dengannya lebih lama, ingin ada alasan untuk berbicara lebih banyak dengan dia. Aku melihat-lihat data anggaran itu lagi, memeriksa angka-angka yang kuinput.
Tiba-tiba, sebuah ide nakal muncul di pikiranku. Bagaimana kalau aku bertanya tentang apa yang telah kutulis di anggaran ini? Meminta konfirmasi dari pak Ariel apakah anggaran yang kubuat sudah sesuai, atau justru terlalu tinggi atau rendah? Aku bisa menanyakan beberapa hal teknis, seperti perhitungan alokasi dana untuk sumber daya eksternal, dana untuk keamanan dan backup sistem, dan estimasi biaya operasional yang tidak terduga. Sekalian menanyakan hal-hal itu, aku bisa melakukan video call dengan pak Ariel.
Aku mencoba menghubunginya, meskipun sedikit ragu. Saat itu aku tahu, tujuanku jelas. Aku ingin mendengarnya lebih lama, melihat wajahnya lebih lama. Aku menjelaskan maksudku dengan cepat, mencoba terdengar profesional meski ada perasaan canggung di dalam hatiku.
Pak Ariel, yang tampaknya merasa pertanyaanku rumit untuk dijawab lewat telepon, langsung menyarankan untuk melakukan video call. Aku merasa senang, bahkan mungkin sedikit terlalu senang. Dalam hati, aku menyukainya lebih dari yang seharusnya, dan aku tahu ini adalah kesempatan untuk berbicara lebih banyak dengannya.
Aku segera mengatur video call, dan seketika wajah pak Ariel muncul di layar. Kulihat wajahnya yang masih tampak pucat, sementara aku mungkin terlihat segar seperti biasanya. Lihat wajahnya... hati ini langsung bergetar. Aku berusaha menenangkan diri, berusaha menjaga profesionalisme. Aku kembali menatap layar dan melanjutkan pekerjaan, mencoba mengabaikan perasaan yang mulai menggoyahkan ketenanganku. Pak Ariel terlihat sangat fokus pada perhitunganku, matanya yang tajam mengamati setiap angka dan detail yang kutampilkan.
Aku berusaha untuk tidak terlalu memikirkan perasaan ini. Aku tidak bisa membiarkan diriku terlalu larut. Tapi... entah kenapa, aku merasa seperti ada sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan di antara kami.
***