Pengunduran Diri

POV Sherly

Aku duduk terpuruk di depan layar komputer, dengan jari yang terhenti di atas keyboard. Rasanya seperti ada beban yang menekan dada, semakin lama semakin berat. Kepalaku dipenuhi dengan pikiran yang saling berbenturan—satu sisi ingin terus berjuang, tapi sisi lain merasa tak mampu melanjutkan. Seperti ada jurang yang semakin lebar antara diriku dan posisi ini, dan aku… merasa semakin jauh darinya.

Keputusan ini tidak logis. Mengundurkan diri, kembali ke posisi awal sebagai sekretaris direktur—itu terasa seperti langkah mundur. Tapi, apakah aku pantas berada di posisi ini? Setiap kali aku memandang nama di meja kerjaku, setiap kali aku menyadari ekspektasi yang harus kupenuhi, ada perasaan cemas yang mengguncang. Mungkin ini bukan tempatku. Mungkin aku terlalu cepat menganggap diriku siap untuk sesuatu yang lebih besar.

Aku tahu aku bisa lebih baik, tapi kenyataan tidak pernah sesederhana itu. Semua yang aku lakukan terasa salah, bahkan saat aku mencoba yang terbaik. Mungkin aku hanya belum siap. Mungkin memang ada yang lebih cocok di sini, yang lebih tahu bagaimana menjalani semuanya tanpa ragu.

Aku meraih laptop dan mulai mengetik, tangan terasa berat, tapi aku tahu ini adalah langkah yang harus kutempuh. Ini mungkin keputusan yang tak masuk akal, tapi rasanya, inilah yang terbaik untukku—untuk mengakhiri kekhawatiranku, dan memberi ruang bagi diriku untuk kembali menemukan arah.

***

Kepada Yth. 

Bapak D. Ariel Nathan, MBA 

Manajer Keuangan 

PT. Altara Teknologi, Tbk. 

Dengan hormat, 

Melalui surat ini, saya, Sherly Anindita, mengajukan permohonan untuk mengundurkan diri dari posisi Asisten Manajer Keuangan yang saat ini sedang saya jalani. Keputusan ini saya ambil setelah mempertimbangkan kemampuan dan kesiapan saya dalam memenuhi ekspektasi yang diharapkan dari posisi tersebut. 

Saya menyadari bahwa saya masih perlu meningkatkan kompetensi untuk dapat memberikan hasil yang optimal. Oleh karena itu, dengan penuh kesadaran, saya memohon izin untuk kembali menjalani masa pelatihan sebagai Sekretaris Direktur seperti semula. Saya berharap langkah ini dapat menjadi cara terbaik bagi saya untuk tetap berkontribusi kepada perusahaan sambil terus belajar dan berkembang. 

Saya mengucapkan terima kasih atas kepercayaan yang telah diberikan kepada saya. Saya juga memohon maaf apabila selama menjalankan tugas terdapat kekurangan atau kesalahan yang mungkin saya lakukan. 

Atas perhatian dan pengertian Bapak, saya ucapkan terima kasih. 

Hormat saya, 

Sherly Anindita, S.E. 

***

POV Ariel

Aku baru saja dipindahkan ke ruangan inap biasa setelah beberapa hari di ruang rawat intensif. Dokter mengatakan kondisiku stabil, meski rasa lelah masih menyelimuti tubuhku. Aku mencoba untuk bersantai, berharap bisa sedikit tenang setelah sekian lama terbaring tanpa banyak yang bisa kulakukan.

Namun, begitu aku melihat email yang masuk, hatiku seketika terasa berat. Dari Sherly. Surat pengunduran diri. Aku terkejut. Benar-benar terkejut. Mataku tidak bisa berpaling dari layar ponselku, meskipun dadaku terasa semakin sesak, seperti ada yang menekan keras. Rasanya seperti tercekik—nyeri yang muncul begitu tiba-tiba.

Aku menarik napas, mencoba mengusir perasaan aneh itu. "Aku harus tenang," pikirku. Tapi itu tidak mudah. Aku segera meraih ponsel kembali dan menghubungi Pak Haris, manajer keuangan cabang yang menggantikanku selama cuti.

"Pak Haris," suaraku terdengar lebih dingin dari yang kutuju, namun aku bisa merasakan ketegangan di dalamnya. "Apa yang sebenarnya terjadi dengan Sherly?"

Pak Haris menjawab dengan nada agak panik. "Maafkan saya, Pak Ariel. Saya… saya tidak memberikan bimbingan yang cukup untuk Sherly. Seharusnya saya lebih memperhatikan perkembangan kerjanya. Saya merasa dia sangat terbebani, dan saya—"

Aku menahan napas, mencoba untuk tetap terkendali. Namun, ada amarah yang mulai naik di dadaku. Aku tahu, seharusnya aku ada untuk Sherly, memberikan arahan yang lebih jelas. Tapi aku juga tahu, ini bukan saat yang tepat untuk meledak. Aku menahan diri. Terkadang, meski aku marah, aku harus tetap mengontrol diri.

"Apa maksud Anda dengan 'tidak memberikan bimbingan yang cukup'? Anda menggantikan posisi saya. Anda harus memastikan semuanya berjalan dengan baik!" Suaraku lebih keras dari yang kuinginkan, namun segera aku menundukkan kepala, merasakan nyeri yang kembali datang menghantam dadaku.

Aku menutup mata sejenak, berusaha menenangkan diri. Aku merasa sangat rapuh—dalam banyak hal, bukan hanya soal pekerjaan ini. Sherly, meski dia baru, selalu menunjukkan keteguhan. Namun, aku tidak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. Apa benar dia merasa seburuk itu?

"Aku akan segera berbicara dengan Sherly," kataku, kali ini dengan nada yang lebih rendah. "Jangan khawatir, Pak Haris. Kita akan selesaikan masalah ini."

Setelah menutup telepon, aku kembali menatap surat itu. Aku tahu, aku harus segera mengambil langkah. Tapi ada perasaan tak menentu yang menghantuiku, menyadarkanku bahwa meski aku terlihat kuat, aku pun bisa rapuh—dan Sherly mungkin tidak sekuat yang kuperkirakan.

***

Aku menatap layar ponsel, panggilan kelimaku lagi-lagi berakhir dengan nada sambung yang hampa. Aku memejamkan mata, mencoba mengendalikan napas yang terasa berat. "Please, Sher," gumamku pelan, hampir tanpa suara.

Aku tidak tahu kenapa aku begitu ingin bicara dengannya. Mungkin untuk memastikan dia tidak membuat keputusan ini dalam keadaan emosi. Atau mungkin karena aku… tidak ingin dia pergi.

Panggilan keenam. Kali ini, ia mengangkat.

"Assalamualaikum," suaranya terdengar serak, pelan, tapi tetap dengan nada yang biasa. Formal, seperti saat ia berbicara di kantor.

"Waalaikumsalam," jawabku, berusaha menjaga nada suara tetap stabil meskipun dadaku masih terasa nyeri. "Sherly, saya baru saja membaca suratmu."

Dia hanya diam sebentar sebelum menjawab, "Seperti yang tertulis di surat itu, Pak, saya rasa saya belum layak berada di posisi ini. Saya lebih cocok kembali ke posisi sekretaris direktur." Suaranya terdengar lelah, namun masih mencoba terdengar profesional, seperti biasa.

Aku terdiam sesaat, mencoba menimbang kata-kata yang harus kukatakan. "Sherly," ujarku akhirnya, suaraku sedikit lebih lembut dari biasanya. "Apa yang sebenarnya terjadi?"

Hening. Suara di seberang sana mendadak sunyi. Lalu, aku mendengar sesuatu yang membuat hatiku terasa mencelos—suaranya yang bergetar, patah-patah. Dia mulai menangis.

"Saya…" suaranya parau, hampir seperti bisikan. "Saya sudah berusaha sebaik mungkin, Pak. Tapi… ada masalah yang muncul… saya bahkan tidak tahu kenapa semua jadi seperti ini."

Hatiku hancur. Mendengar Sherly menangis—dia yang selalu berusaha kuat, selalu mencoba menjaga profesionalitasnya—membuatku merasa bersalah. Seolah semua ini adalah kesalahanku.

"Saya dipojokkan, Pak," lanjutnya dengan nada semakin bergetar. "Seolah saya ini tidak layak. Dan mungkin… memang saya belum pantas untuk posisi ini."

Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Ada sesuatu yang menguasai diriku—perasaan yang membuatku ingin membantunya, membuatnya merasa lebih baik. Kata-kata keluar begitu saja, tanpa bisa kucegah.

"Sherly," kataku dengan suara yang lebih lembut dari yang pernah kudengar dari diriku sendiri. "Dengar, kamu tidak sendiri. Semua orang pasti mengalami momen-momen di mana mereka merasa gagal. Saya pun begitu."

Aku mulai menceritakan masa-masa sulitku, saat aku berada di titik terendah dalam hidupku. "Saya pernah gagal total dalam proyek besar di kantor cabang Jerman. Itu adalah momen yang membuat saya merasa seperti tak punya tempat lagi di perusahaan ini. Tapi saya bertahan. Saya belajar. Dan sekarang saya ada di sini."

Dia tidak menjawab, tapi aku tahu dia mendengarkan.

"Sherly," lanjutku, nadaku semakin terdengar cerewet tanpa kusadari. "Kamu tidak gagal. Kamu hanya sedang belajar. Masalah yang terjadi hari ini bukan akhir dari segalanya. Ini bagian dari perjalananmu. Kamu pantas berada di posisi ini. Jangan biarkan siapa pun, termasuk dirimu sendiri, membuatmu berpikir sebaliknya."

Aku bisa mendengar dia terisak pelan. Aku merasa perlu mengatakan lebih banyak, entah kenapa. "Kamu tidak perlu menyerah hanya karena hari ini berat. Kita semua pernah ada di titik itu, Sher. Saya tahu kamu kuat, meski kamu mungkin belum menyadarinya."

Setelah beberapa saat, dia mengucapkan sesuatu. Suaranya masih serak, tapi ada ketenangan yang mulai muncul. "Terima kasih, Pak."

Aku menghela napas panjang. "Besok, kita bicara lagi. Jangan ambil keputusan apa pun sebelum kita selesai berbicara, ya?"

"Baik, Pak," jawabnya, kali ini lebih tenang.

Aku menutup telepon dan menatap layar ponsel di tanganku. Hatiku masih terasa sesak, tapi ada perasaan lega yang mulai mengisi ruang kosong itu. Aku tidak tahu kenapa aku begitu peduli. Tapi aku tahu, aku tidak ingin dia menyerah.

***

POV Sherly

Aku menatap layar ponsel yang kini gelap, menyisakan pantulan samar wajahku yang terlihat kusut. Nama Pak Ariel, masih terbayang di benakku—nama yang baru saja kulihat saat ia menghubungiku untuk keenam kalinya. Suaranya… berbeda. Itu bukan suara pak Ariel yang dingin dan penuh formalitas seperti biasa.

Suara itu terdengar hangat, bahkan sedikit cerewet, seolah dia benar-benar peduli. Dan entah kenapa, aku merasa aneh. Ada sesuatu dalam cara dia berbicara, dalam nada yang nyaris lembut itu, yang membuat pikiranku melayang ke masa lalu.

Tiba-tiba, wajah kakakku muncul di pikiranku. Bang Ega. Senyumannya yang selalu membuatku merasa aman, caranya memegang tanganku saat aku takut, dan suaranya yang selalu terdengar menenangkan meski aku menangis.

Aku menutup mata, membiarkan kenangan itu mengalir. Aku bisa melihat kami berdua duduk di bawah pohon mangga di halaman rumah nenek, saat dia mengusap kepalaku dengan lembut karena aku jatuh dan lututku terluka. "Sher, kamu itu kuat, tahu nggak? Jangan nangis lagi, ya?" katanya waktu itu.

Hatiku terasa hangat, sama seperti saat ini. Saat aku mendengar pak Ariel bicara tadi, ada sesuatu yang serupa dengan kehangatan itu—perasaan yang membuatku merasa tidak sendiri.

Aku membuka mata dan memandang layar ponselku lagi, lalu menutupnya perlahan. Namanya masih terbayang di benakku. Dada yang sebelumnya terasa berat kini mulai sedikit lega. Aku menarik napas panjang, mencoba merasakan apa yang sedang terjadi di hatiku.

Apa yang sebenarnya kurasakan?

Aku mengusap sisa air mata yang mengering di pipiku, lalu tersenyum kecil. Senyum yang samar, tapi cukup untuk menghangatkan hati yang sempat terasa beku beberapa jam terakhir.

Perasaan ini aneh, tapi… aku tidak ingin menolaknya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang cukup lama, aku merasa ada seseorang yang benar-benar peduli. Aku memandang ke langit-langit, membiarkan pikiranku melayang, dan bertanya pada diriku sendiri, Apa ini? Apa yang sebenarnya aku rasakan?

***