Rapat antar Divisi

POV Sherly

Aku menarik napas panjang sebelum berdiri di depan ruangan rapat. Rapat ini adalah ujian besar pertamaku sejak menjadi asisten manajer keuangan. Meskipun Pak Haris tidak ada, aku yakin dengan presentasi ini. Dua hari kerja penuh kuhabiskan mengutak-atik angka-angka itu, mempelajari spesifikasi teknis yang diberikan, dan mencoba membuat semuanya sesuai arahan. Presentasi berjalan dengan baik—aku merasa lega saat Direktur Divisi Keuangan, Pak Setiawan, menganggukkan kepala beberapa kali, tanda bahwa ia menyimak dengan baik.

Namun, kelegaan itu tidak bertahan lama.

Ketika sesi diskusi dimulai, Pak Dani, Kepala Divisi IT, tersenyum tipis sebelum mengangkat tangannya.

"Angka-angka ini… menarik," ujarnya dengan nada santai, membuat semua mata tertuju padanya. "Tapi, Sherly, menurut saya anggaran ini terlalu kecil untuk kebutuhan teknis proyek ini. Mungkin ada beberapa hal yang terlewat?"

Tenggorokanku terasa kering. Aku mencoba tetap tenang dan menjawab dengan hati-hati.

"Terima kasih, Pak Dani. Saya menyusun ini berdasarkan data yang saya terima dari tim, termasuk dari teknisi yang bertugas saat itu. Apakah ada bagian spesifik yang menurut Bapak belum tercakup?"

Pak Dani mengangguk pelan, tapi sebelum ia menjawab, Maya, senior di divisi keuangan, menyela dengan suara yang sedikit meninggi.

"Bagian spesifik? Sherly, ini bukan hanya masalah satu atau dua bagian! Anggaran seperti ini bisa membuat perusahaan kehilangan kepercayaan dari vendor jika nanti proyek ini gagal terealisasi. Sejujurnya, ini adalah sebuah kesalahan besar."

Jantungku berdegup kencang. Aku menatap Maya dengan cemas, tapi aku mencoba tidak menunjukkan emosi.

"Saya terbuka untuk koreksi, Kak Maya," ucapku hati-hati.

"Kalau begitu, kenapa kita tidak langsung tanya ke Divisi IT?" Maya menoleh ke arah Juan, yang duduk tenang di sudut ruangan. "Juan, Anda pasti tahu lebih banyak tentang ini. Tolong jelaskan aspek teknis yang terlewat dari perhitungan Sherly."

Juan tampak terkejut dipanggil. Ia mengangkat pandangan, lalu melirikku sesaat. Entah kenapa, tatapan itu membuat dadaku terasa sesak. Aku tahu dia tidak ingin terlibat. Tapi, setelah Pak Setiawan mengangguk sebagai tanda persetujuan, Juan akhirnya bicara.

"Baik," katanya, suaranya tenang. "Beberapa hal yang mungkin terlewat adalah biaya lisensi tambahan untuk software pengembangannya. Angka yang dimasukkan Sherly terlalu rendah dibanding harga pasar. Selain itu, ada kebutuhan untuk upgrade perangkat keras karena fitur baru ini membutuhkan server yang lebih kuat."

Aku menelan ludah, merasa diriku semakin kecil. Juan melanjutkan dengan nada yang tetap netral, berusaha tidak menyalahkan secara langsung, tapi kata-katanya tetap menusukku seperti duri.

"Dan terakhir, estimasi waktu implementasi yang ada di anggaran ini sangat optimis. Jika waktu yang diperkirakan tidak realistis, itu bisa berimbas pada kebutuhan tenaga kerja tambahan, yang tentu akan menambah biaya signifikan. Kalau saya hitung, anggaran ini meleset hampir lima puluh persen."

Aku meremas jemariku di bawah meja. Setiap kalimat Juan terasa seperti palu yang menghantam kepercayaan diriku.

Pak Setiawan, untungnya, menutup pembahasan dengan nada bijak.

"Kita semua tahu bahwa Sherly masih dalam masa adaptasi. Ini adalah pelajaran penting baginya. Sherly, revisi anggaran ini dengan mengikuti masukan dari Divisi IT, lalu ajukan kembali untuk kita review bersama."

Aku hanya bisa mengangguk, suaraku tercekat. Ketika rapat selesai, aku merasa seperti seseorang yang baru saja dihantam badai. Semua orang perlahan meninggalkan ruangan. Aku tetap di tempatku, membereskan dokumen dan laptop dengan gerakan otomatis, pikiran masih terjebak pada apa yang baru saja terjadi. Kata-kata Maya dan Juan terus terulang di kepalaku, seperti gema yang sulit dihentikan. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa sesak di dadaku.

"Sherly, tunggu sebentar," suara Maya memecah keheningan. Aku menoleh dan melihatnya berdiri di dekat pintu, menatapku dengan senyum tipis yang sulit diartikan.

"Iya, Kak Maya?" tanyaku, mencoba terdengar netral meskipun tubuhku terasa kaku.

Dia berjalan mendekat, tangannya terlipat di depan dada. "Aku hanya ingin memberi saran. Kamu tahu, sebagai senior di divisi ini, aku merasa bertanggung jawab untuk memberikan masukan."

Aku mengangguk, menunggu apa yang akan dia katakan. Tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah pisau yang menusukku semakin dalam.

"Jujur saja, Sherly, aku tidak tahu bagaimana kamu bisa mendapatkan posisi ini. Sebagai asisten manajer, kamu seharusnya lebih teliti dan paham situasi. Anggaran yang kamu buat tadi... itu benar-benar kacau. Aku belum pernah melihat ada yang salah seburuk itu."

Dadaku mencelos. Aku ingin menjawab, ingin membela diriku, tapi lidahku terasa kelu.

"Kamu tahu, kan, ini bukan masalah kecil?" lanjutnya, nadanya terdengar seperti seorang guru yang sedang menegur murid bodoh. "Kalau aku jadi kamu, aku pasti malu. Harusnya kamu mulai karir sebagai staf di kantor cabang dulu, belajar dari bawah, bukan langsung ke kantor pusat. Itu akan lebih masuk akal. Tapi ya... aku tidak tahu kenapa orang-orang di sini terlalu mudah memberi kesempatan."

Aku menatapnya, tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Maya tersenyum tipis, seolah puas melihat ekspresi di wajahku. "Ini hanya untuk kebaikanmu, Sherly. Jangan salah paham, ya," katanya, sebelum akhirnya melangkah keluar dari ruangan.

Aku tetap berdiri di tempat, tidak mampu bergerak. Perkataan Maya bergema di kepalaku, memukul setiap sisi kepercayaan diriku yang tersisa. Aku mencoba menyangkalnya, mengatakan pada diriku bahwa dia hanya iri atau berlebihan, tapi suara itu kalah oleh keraguan yang sudah muncul sejak rapat tadi.

Apa aku benar-benar tidak layak di sini? Apa aku seharusnya tidak pernah menerima posisi ini?

Tanganku meremas dokumen yang kubawa. Rasanya sesak sekali. Mataku terasa panas, tapi aku menahannya. Aku tidak boleh menangis di sini. Dengan langkah gontai, aku meninggalkan ruang rapat, kepalaku penuh dengan pikiran untuk berhenti.

Mungkin ini saatnya aku bicara dengan pak Ariel dan meminta dia mengembalikanku ke posisi awal. Setidaknya sebagai sekretaris, aku tidak akan terus-menerus merasa gagal seperti ini.

***

Saat aku keluar dari ruangan manajer keuangan, pikiranku benar-benar kacau. Hatiku masih terasa sesak setelah pertemuan tadi, dan aku hampir tidak memperhatikan kalau Juan sudah berdiri menungguku di depan pintu. Aku menatapnya sebentar, lalu menunduk, berusaha menahan diri agar tidak terlihat begitu rusak di hadapannya.

"Aku minta maaf, Sherly," kata Juan dengan suara rendah, penuh penyesalan. "Aku nggak bermaksud nyakitin perasaanmu tadi di rapat."

Aku mengangguk pelan, tapi aku nggak bisa menatapnya. Perkataan Maya terus berputar di kepalaku, seperti serangan yang tak henti-hentinya menghancurkan rasa percayaku. "Gak masalah," jawabku, berusaha terdengar biasa meski dalam hati, semua itu terasa seperti beban yang terlalu berat.

Tapi Juan sepertinya tidak mendengar itu. Dia terus melanjutkan, mencoba menjelaskan posisinya. "Aku cuma bilang yang sebenarnya, Sherly. Aku tahu kamu pasti kecewa, tapi aku nggak mau kamu salah paham—"

Aku merasa amarah itu menggelora, bukan pada Juan, tapi pada keadaan. Pada diriku yang merasa begitu lemah dan tidak kompeten. Aku mendongak dan tanpa sadar, suaraku meninggi. "Sudah, Juan! Aku tahu, oke?" Aku hampir terengah, merasa kalut dengan semua yang ada di pikiranku. "Aku tahu aku salah. Aku nggak perlu kamu jelasin lagi!"

Juan terdiam sejenak, matanya terkejut, dan aku bisa melihat ekspresi kaget di wajahnya. Sepertinya dia tidak mengira aku akan berteriak seperti itu padanya. Aku pun terdiam, menyesal telah berbicara sekeras itu. Tapi, saat itu, aku merasa seperti kehilangan kendali, dan amarah serta kecewa itu keluar begitu saja.

"Aku nggak bermaksud..." Juan mulai membuka mulut lagi, tapi aku sudah melangkah pergi, tidak ingin mendengarnya lebih jauh.

Aku buru-buru melangkah menuju pintu keluar, merasa malu pada diriku sendiri karena sudah kehilangan kendali begitu mudah. Aku bahkan tidak mendengar lagi apa yang Juan katakan, aku hanya ingin keluar dari sana.

Setibanya di depan gedung, Pak Agus, sopir yang biasa mengantar pak Ariel, berdiri menungguku. "Mau diantar pulang, Non?" tanyanya dengan ramah.

Aku melirik ke arahnya, menggeleng dengan cepat. "Enggak usah, Pak Agus. Terima kasih."

Pak Agus ragu sejenak, tampak seperti ingin memaksa, tapi setelah mendengar nada suaraku yang agak keras, dia langsung mengangguk dan mundur sedikit. "Baik, Non. Hati-hati di jalan."

Aku tidak sempat menoleh lagi saat aku berjalan pergi, hanya ingin segera sampai di rumah, jauh dari semua kekacauan ini. Aku merasa seolah-olah semuanya hancur, dan aku tidak tahu bagaimana bisa memperbaikinya. Perasaan ini—perasaan lemah dan tidak berguna—membuatku ingin menyembunyikan diri dari semua orang, terutama dari pak Ariel. Aku tahu, aku tidak bisa menunjukkan ini padanya.

***