POV Sherly
Kembali dengan kesibukan di kantor.
Aku duduk di kursi di seberang meja Pak Haris - Manajer Keuangan Cabang-, map tebal penuh dokumen terbuka di depanku. Ruangan manajer keuangan yang tertata rapi terasa sunyi, hanya terdengar suara lembaran kertas yang dibalik Pak Haris.
"Kamu akan mengerjakan anggaran biaya untuk penambahan fitur teknologi di divisi IT," ujar Pak Haris sambil menggeser beberapa dokumen ke arahku. "Ini proyek besar, Sherly, jadi jangan sampai salah. Kalau salah, yang pusing kita semua, bukan cuma kamu."
Aku tersenyum kecil, sedikit gugup. "Baik, Pak."
"Sebagai acuan, saya sudah menyiapkan anggaran dari proyek serupa sebelumnya," lanjut Pak Haris, sambil menunjuk map di meja. "Gunakan ini sebagai pedoman, tapi ingat, jangan cuma menyalin. Kalau semua bisa disalin, apa gunanya kita di sini?" Ia terkekeh, berusaha mencairkan suasana.
Aku ikut tertawa ringan, meski pikiranku sudah dipenuhi angka-angka.
"Lalu, ini alokasi dana yang sudah ditetapkan perusahaan," kata Pak Haris, menyerahkan dokumen tambahan. "Angka-angka ini suci, Sherly. Artinya, jangan coba-coba mengutak-atik kecuali kamu mau mendapat khotbah panjang dari direktur keuangan."
Aku tertawa kecil lagi, kali ini lebih tulus. "Dimengerti, Pak."
Pak Haris menyenderkan punggung ke kursinya, lalu menatapku serius, tapi tetap dengan senyum di bibir. "Saya juga sudah mengirimkan spesifikasi teknis fitur ke emailmu. Pelajari itu baik-baik. Dan pastikan kamu berdiskusi dengan divisi IT untuk hal-hal berikut: estimasi biaya pengembangan internal, proyeksi penggunaan fitur baru, biaya lisensi perangkat lunak, dan rencana waktu implementasi."
Aku mencatat cepat di buku kecilku, jari-jariku sedikit gemetar.
"Tiga hari cukup, kan?" tanya Pak Haris sambil memiringkan kepala. "Kalau tidak cukup, kasih tahu sekarang. Saya bisa minta direktur menambahkan dua jam ekstra di hari ketiga. Itu pun kalau beliau tidak sedang sibuk golf."
Aku tertawa kecil lagi, kali ini lega dengan cara Pak Haris mengurangi tekanan. "Saya rasa cukup, Pak. Terima kasih atas kepercayaannya."
Pak Haris mengangguk. "Bagus. Dan ingat, kalau ada yang bingung, tanya saja. Jangan takut. Saya lebih suka jawab pertanyaan daripada menangani kesalahan besar. Lagipula, saya belum tentu punya jawabannya, tapi kan bisa kita cari bareng-bareng."
Aku tertawa kecil, lalu berdiri sambil membawa map dan dokumen. "Saya akan berusaha, Pak."
Pak Haris mengangguk sambil tersenyum lebar. "Baik. Kalau butuh kopi tambahan, di pantry ada. Tapi jangan sampai begadang terus-terusan, ya. Nanti malah saya yang dimarahi Pak Ariel karena asistennya tumbang."
Meskipun tugas yang diberikan terasa berat, cara Pak Haris memberikan arahan membuatku merasa lebih percaya diri untuk memulai pekerjaan besar ini.
"Tiga hari, Sherly. Kamu pasti bisa."
***
Aku duduk di mejaku, dikelilingi layar komputer yang menampilkan file dokumen anggaran proyek serupa, rincian alokasi dana perusahaan, dan spesifikasi teknis fitur baru dari email Pak Haris. Kepalaku penuh dengan angka-angka dan catatan. Sesekali, ku menyandarkan punggung, menghela napas panjang, mencoba meredakan tekanan yang mulai terasa.
"Baiklah, satu langkah lagi," gumamku, sambil mengecek daftar yang kubuat. Arahan Pak Haris cukup jelas: koordinasi dengan divisi IT untuk mendapatkan data teknis tambahan.
Beberapa menit kemudian, aku tiba di ruangan divisi IT, membawa tablet di tangan dan sedikit keraguan di hatiku. Ruangan itu lebih sepi dari yang ku perkirakan. Tidak ada kepala teknisi, dan Juan yang biasanya ramah dan tanggap juga tidak terlihat. Hanya ada seorang teknisi muda yang tampak sedang fokus pada layar monitornya.
"Maaf, saya Sherly dari tim keuangan. Kepala teknisi sedang di luar, ya?" tanyaku, mencoba bersikap ramah.
Teknisi itu menoleh, agak kaget. "Oh, iya. Pak Dani lagi keluar sama Mas Juan. Ada yang bisa saya bantu, Mbak Sherly?"
Aku mengangguk, meski ragu. "Sebenarnya, saya butuh informasi untuk melengkapi anggaran biaya proyek penambahan fitur teknologi ini. Apakah Anda bisa membantu menjelaskan beberapa estimasi?"
Teknisi itu terlihat agak bingung, tapi berusaha ramah. "Saya bisa coba bantu, Mbak. Data apa yang dibutuhkan?"
Aku menjelaskan dengan nada hati-hati, menjelaskan daftar informasi yang harus ku kumpulkan, termasuk estimasi biaya pengembangan internal, proyeksi penggunaan fitur baru, biaya lisensi perangkat lunak, dan rencana waktu implementasi.
"Oh, soal biaya pengembangan internal, mungkin sekitar ini..." Teknisi itu mengetik sesuatu di laptopnya, lalu menunjukkan tabel sederhana. "Untuk proyeksi penggunaan fitur baru, saya nggak yakin, tapi seharusnya fitur ini akan cukup sering dipakai."
Aku mencatat cepat.
"Saya rasa ini sudah cukup membantu. Terima kasih," kataku sambil tersenyum kecil.
Teknisi itu mengangguk. "Semoga bermanfaat, Mbak Sherly. Kalau ada yang kurang, mungkin bisa tanya langsung ke Pak Dani atau Mas Juan nanti."
Namun, aku merasa waktunya tidak cukup untuk menunggu. Aku kembali ke meja kerja dengan rasa percaya diri yang sedikit tumbuh. Bagaimanapun, data telah terkumpul. Aku hanya perlu menyusun semuanya.
***
Dua hari ini aku benar-benar tenggelam dalam angka-angka, file demi file, dan sederet dokumen dari email Pak Haris. Rasanya aku sudah melakukan semuanya sesuai arahan—memeriksa spesifikasi teknis, menyesuaikan alokasi anggaran dengan data yang diberikan, dan menghitung semua estimasi biaya tambahan berdasarkan informasi dari divisi IT. Bahkan, aku merasa cukup puas dengan hasil akhirnya.
Pagi ini aku menyerahkan dokumen anggaran itu ke Pak Haris. Ia memeriksa file tersebut dengan cepat, mengangguk-angguk sambil membaca beberapa poin penting. Tidak ada banyak komentar darinya, hanya beberapa pertanyaan singkat untuk memastikan angka-angka itu berasal dari sumber yang tepat.
"Kerjamu bagus, Sherly," katanya sambil tersenyum. "Cepat sekali menyelesaikannya, ya? Pak Ariel melatihmu dengan baik sepertinya."
Aku tersenyum kecil mendengar pujian itu, meskipun dalam hati aku tidak terlalu yakin apakah aku memang sudah sebagus itu. Pak Haris lalu menutup laptopnya dan menyerahkan kembali file hard copy ke tanganku.
"Kalau begitu, segera adakan rapat antar divisi untuk bahas ini. Kita pastikan semua tim setuju sebelum mengajukan anggaran ini ke manajemen," katanya, berdiri dari kursinya sambil menepuk pundakku ringan. "Semangat, ya."
Aku mengangguk dan bergegas kembali ke mejaku. Sesampaiku di mejaku, ada perasaan aneh yang menggelitik pikiranku—entah kenapa semuanya terasa... terlalu lancar. Biasanya, kalau ini tugas dari Pak Ariel, beliau akan memintaku meninjau ulang angka-angka itu sampai aku merasa pusing sendiri. Bahkan revisi yang hanya menyangkut desimal pun tak akan luput dari perhatiannya.
Namun, kali ini? Pak Haris memeriksa dengan cepat, memberi persetujuan tanpa banyak pertanyaan, lalu langsung memintaku mengadakan rapat antar divisi. Bukannya aku tidak bersyukur semuanya berjalan mulus, tapi justru itu yang membuatku khawatir.
Aku menarik napas panjang. Harusnya aku merasa lega karena tugas ini hampir selesai, tapi sekarang aku hanya bisa memikirkan satu hal: apakah aku melewatkan sesuatu yang penting?
***