POV Sherly
Langkahku terhenti seketika di depan ruang inap pasien. Aku melihat seorang pria yang tidak asing, duduk dengan wajah lelah dan sedikit tegang di bangku luar ruangan. Pak Hasyim? Tidak mungkin… pikiranku berteriak. Tapi ini nyata. Itu benar-benar beliau.
Aku berdiri terpaku, jantungku serasa berhenti berdetak. Pikiranku langsung berkecamuk—apa yang sedang terjadi? Apa yang dilakukan Pak Hasyim di sini? Perawat yang mengantar kami memperkenalkan kami kepada pria itu, dan aku semakin yakin. Tidak mungkin ini kebetulan.
"Ini keluarga pasien," ujar perawat itu dengan nada tenang.
Pak Hasyim melihat kami. Ekspresinya langsung berubah saat pandangannya bertemu denganku. Ada keterkejutan yang tidak mampu ia sembunyikan, dan aku tahu wajahku pasti sama terkejutnya. Dua pendonor lain langsung menjabat tangan beliau, sementara aku hanya berdiri diam, nyaris membeku.
"Sherly?" suara Pak Hasyim terdengar pelan, hampir seperti bisikan, tetapi cukup untuk mengguncangku.
Aku berusaha mengatur napas dan akhirnya memberanikan diri bertanya, "Pak… Pak Ariel ada di dalam?" Suaraku bergetar, nyaris tidak keluar. Aku hampir berharap jawaban beliau akan menyangkal kekhawatiranku. Tapi tidak.
Pak Hasyim mengangguk pelan, ekspresinya sendu. Dunia seakan berhenti di sekitarku. Tidak peduli dengan tatapan heran dari dua pendonor lain, aku hanya berdiri terpaku, mencoba menerima kenyataan yang tiba-tiba menghantamku seperti gelombang pasang. Pak Ariel… dia pasien yang akan dioperasi.
Pak Hasyim kemudian mengajak kami masuk. Aku melangkah terakhir, kakiku terasa berat seolah menolak bergerak. Jantungku berdegup kencang, pikiranku kacau balau. Selama ini aku hanya mendengar alasan cutinya, membiarkan prasangka berkeliaran di pikiranku. Tapi kenyataan hari ini jauh lebih besar dan lebih sulit untuk kuhadapi.
Ketika aku akhirnya memasuki ruangan, suasana berubah canggung seketika.
Mama pak Ariel dan kakak pak Ariel langsung terkejut melihatku. Tapi tidak ada yang lebih mengejutkan dari reaksi pak Ariel sendiri. Dia yang tadi tersenyum ramah menyambut kedua pendonor lain kini membeku di ranjangnya, senyumnya lenyap begitu pandangan kami bertemu. Kami hanya saling menatap dalam diam. Mata kami berbicara banyak hal yang tak mampu diucapkan dengan kata-kata.
Dua pendonor lainnya tampaknya menyadari ketegangan yang tiba-tiba melingkupi ruangan. Dengan sopan, mereka menyelesaikan kunjungan lebih cepat dari yang direncanakan. Mereka mengucapkan semangat untuk pak Ariel sebelum meminta izin untuk keluar. Aku masih terpaku di tempatku berdiri, bahkan saat mereka melewatiku untuk pergi.
Pak Hasyim memberi isyarat kepada Mama dan kakak pak Ariel untuk meninggalkan ruangan juga. Mereka tampaknya mengerti dan mengikuti isyarat itu tanpa banyak bertanya. Hanya pak Ariel dan aku yang tertinggal di ruangan itu.
Hening.
Aku tidak tahu harus berkata apa. Perasaanku campur aduk. Di satu sisi, aku ingin mengutuk diriku sendiri karena tidak tahu lebih awal. Di sisi lain, aku merasa hancur melihat pak Ariel dalam keadaan seperti ini. Tapi aku juga marah—marah karena dia tidak pernah mengatakan apa-apa padaku.
Akhirnya, aku memberanikan diri untuk mendekat. Langkahku terasa berat, tetapi aku tahu aku harus melakukannya. Matanya masih menatapku dengan campuran emosi yang sulit kuartikan. Kaget, canggung, dan mungkin sedikit bersalah.
"Apa…" aku mencoba berbicara, tapi suaraku tercekat. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Kenapa tidak bilang apa-apa, Pak?"
Pak Ariel menundukkan kepalanya. Aku melihat tangannya bergerak gelisah, seperti mencari sesuatu untuk dilakukan, tetapi ia tetap diam. Aku menunggu, berharap dia akan menjawab, tetapi hanya keheningan yang kudapatkan. Dan itu membuat perasaanku semakin hancur.
Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Rasa marah, sedih, dan bingung terus berputar dalam diriku. Yang kutahu, saat ini, hanya kami berdua yang saling memandang tanpa kata, masing-masing terjebak dalam pikiran dan perasaan masing-masing.
Ruangan terasa hening setelah aku menyelesaikan kata-kataku. Pak Ariel menunduk sejenak, menarik napas panjang sebelum menjawab.
"Saya tidak bermaksud berbohong kepadamu, Sherly. Saya hanya... tidak ingin situasi di kantor menjadi heboh karena hal ini," katanya dengan nada yang rendah namun tetap terdengar tegas. "Posisi saya mudah dijatuhkan di kantor. Kalau mereka tahu saya punya penyakit seperti ini, pasti ada yang memanfaatkannya untuk menjatuhkan saya. Saya harus melindungi diri."
Aku terdiam, berusaha mencerna alasan yang dia berikan. Logis, memang. Tapi itu tak cukup untuk meredakan perasaan yang berkecamuk di hatiku.
"Jadi," ujarku pelan, suaraku hampir bergetar, "Bapak memilih untuk menyembunyikan semuanya, bahkan dari orang-orang yang mungkin peduli?"
Pak Ariel mengangkat pandangannya. Tatapannya jujur, tapi juga penuh beban. "Saya tidak ingin kamu atau orang lain merasa perlu khawatir. Saya hanya ingin semuanya berjalan seperti biasa."
Alasan itu seakan menamparku. Aku ingin merasa marah, tapi bagaimana aku bisa? Melihat wajahnya yang kini terlihat lebih rapuh, tubuhnya yang terbaring di ranjang rumah sakit dengan selang infus terpasang, membuat amarahku runtuh. Di balik semua ketegasan dan profesionalitasnya selama ini, ternyata dia membawa beban yang begitu berat sendirian.
"Bapak tahu," kataku akhirnya, menekan perasaan yang bergemuruh di dadaku, "apa pun alasan Bapak, aku hanya berharap Bapak tidak memaksakan diri terlalu keras. Saya—kami semua, di kantor—ingin Bapak kembali. Bukan sekadar sebagai manajer keuangan, tapi juga sebagai Pak Ariel. Pak Ariel yang kuat, tegas, dan... sedikit menyebalkan." Suaraku pelan ketika menyebutkan kata yang terakhir yang tanpa sengaja kulontarkan.
Pak Ariel tersenyum kecil mendengar kalimat terakhirku. Senyuman yang biasanya terasa arogan, kini terlihat tulus, bahkan sedikit sedih.
"Terima kasih, Sherly," katanya dengan suara serak. "Kamu selalu tahu bagaimana caranya membuat saya merasa lebih baik."
Aku mengangguk pelan, berusaha menahan air mataku. Tapi kemudian dia berkata sesuatu yang membuatku terpaku.
"Kamu benar-benar penyelamat hidup saya... untuk kesekian kalinya."
Aku mengernyit. "Apa maksud, Bapak?" tanyaku dengan bingung.
Ariel terlihat tergagap. Dia menarik napas, tampak mencoba menyusun kata-kata. "Maksud saya... kamu selalu membantu di saat genting. Seperti sekarang." Nada suaranya terdengar canggung, bahkan wajahnya sedikit memerah.
Aku memperhatikannya dengan tatapan heran, merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan. Tapi kali ini aku memilih untuk tidak mendesaknya. "Saya hanya melakukan apa yang bisa saya lakukan," jawabku pelan.
Dia menatapku dalam-dalam, seolah ingin mengatakan lebih banyak, tapi akhirnya dia hanya mengangguk. "Terima kasih, Sherly."
Hati kecilku berbisik bahwa ada sesuatu yang lebih besar di balik kata-kata itu, sesuatu yang belum dia ungkapkan. Tapi aku tahu ini bukan saatnya untuk mencari tahu. Yang terpenting sekarang adalah dia bisa melewati operasi ini dengan selamat.
"Saya akan menunggu Bapak kembali ke kantor," kataku sambil mencoba tersenyum.
Dan untuk pertama kalinya sejak aku masuk ruangan ini, Ariel tersenyum dengan lebih tenang. Senyum yang membuatku merasa, meski hanya sedikit, aku telah membantu meringankan bebannya.