POV Sherly
Esok harinya, suasana di kantor terasa sedikit lebih ringan meski perasaan masih terombang-ambing. Manajer keuangan cabang yang menggantikan posisi pak Ariel ini berbeda jauh dengan pak Ariel—pria berumur 45 tahun itu tampaknya lebih santai dan humoris. Semua hal yang pak Ariel buat terkesan serius dan formal, kali ini terasa lebih mudah dicerna. Beliau tak segan-segan melemparkan candaan dan membuat suasana jadi lebih nyaman. Hal itu membuat aku merasa sedikit lebih tenang, meski di dalam hati masih ada kekosongan yang sulit dijelaskan.
Tiba-tiba, sekitar pukul 10 pagi, teleponku berdering. Melihat nomor yang muncul, aku langsung mengenalinya. Itu dari ketua komunitas rhesus darah negatif di kotaku. Aku memang tergabung dalam komunitas ini sebagai pendonor darah reguler, dan tak jarang mereka menghubungi aku untuk membantu dalam situasi darurat.
"Selamat pagi, Sherly. Maaf mengganggu, tapi kami membutuhkan bantuan darurat," kata suara di seberang telepon, disertai nada cemas.
Aku menatap layar telepon dengan cemas, mendengarkan penjelasan ketua komunitas dengan seksama. Seorang pasien dengan rhesus darah negatif sedang membutuhkan darah untuk operasi yang dijadwalkan siang ini. Namun, setelah dilakukan pengecekan mendalam, kemungkinan pasien akan mengalami pendarahan hebat. Rumah sakit luar kota membutuhkan tambahan darah dengan segera, dan salah satunya orang yang bisa mendonorkan darah adalah aku.
"Kalau begitu, saya siap berangkat sekarang," jawabku tanpa ragu.
Aku meminta izin pada manajer cabang dan Bu Risti. Keduanya mengerti situasi dan dengan cepat memberi izin. Rasanya hati ini sedikit lebih lega mengetahui mereka memahami dan mendukung keputusanku untuk membantu dalam situasi seperti ini.
Sesampainya di kantor komunitas rhesus negatif, aku melihat dua orang pendonor lain yang juga datang dengan tujuan yang sama. Biasanya kami hanya akan melakukan donor darah di tempat, namun karena situasi yang mendesak, mereka memutuskan untuk membawa kami ke rumah sakit langsung. Peralatan medis belum siap, dan ambulans yang biasanya mengantarkan darah ke luar kota sedang tidak tersedia. Mobil cateran milik komunitas pun menjadi pilihan untuk mengantarkan kami segera.
Di dalam mobil cateran, suasana sedikit lebih santai meski perjalanan kami menuju rumah sakit masih memakan waktu sekitar dua jam. Aku duduk di kursi tengah, diapit oleh Andi dan Dina, dua orang pendonor darah lainnya yang sudah saling mengenal sejak lama. Kami bertiga sudah cukup dekat berkat seringnya kami bertemu di kegiatan komunitas rhesus negatif.
Andi, yang usianya sekitar 30 tahun, selalu saja punya cerita lucu yang membuat suasana jadi lebih ringan. Dia memang tipe orang yang mudah bercanda, dan itu membuat aku merasa lebih nyaman meskipun situasinya cukup mendesak.
"Eh, Sherly, lo udah nggak merasa gimana-gimana setelah donor darah, kan?" tanya Andi sambil melirik ke arahku.
Aku tersenyum sedikit, mencoba mengusir rasa canggung yang sejak tadi menghantui. "Alhamdulillah, nggak sih. Masih oke, Bang Andi. Cuma kalo gue agak ngantuk dikit, sih."
Andi tertawa kecil, "Hahaha, lo tuh kalo udah ngantuk, bisa jadi zombie! Bisa-bisa gue kira lo jadi hantu."
Aku tertawa ringan mendengar guyonannya, walaupun dalam hati masih ada kecemasan tentang pasien yang akan dioperasi. Dina yang duduk di sebelahku, ikut menanggapi dengan senyum.
"Bang memang suka ketawa terus, Bang Andi. Tapi, Kak Sherly, ini kali pertama Kakak bener-bener harus donor untuk orang yang kita nggak kenal, ya?" tanya Dina, yang sudah menikah dan usianya masih muda, baru 20 tahun.
Aku mengangguk, kemudian menatap ke luar jendela sejenak sebelum menjawab. "Iya, Dina. Walaupun kita nggak kenal langsung, rasanya kayak... ngerasa punya tanggung jawab, gitu. Kalau bisa membantu, kenapa enggak, kan?"
Dina menatapku dengan tatapan penuh pengertian, lalu berkata, "Iya, bener banget. Kita sama-sama rhesus negatif, kan? Jadi kalau bisa bantu, ya harus. Nggak banyak yang punya golongan darah kayak kita."
Aku mengangguk setuju. "Betul, kadang kita nggak pernah tahu kapan kita bisa jadi orang yang dibutuhkan. Bisa jadi apa yang kita lakukan sekarang sangat berarti buat orang lain."
Bang Andi mengangguk sambil menatap ke jalanan. "Sama kayak gue, dulu waktu ada kejadian temen gue kecelakaan, gue bener-bener nggak ngerti harus gimana. Waktu itu gue nggak bisa bantu banyak. Tapi sejak ikut komunitas ini, gue jadi lebih ngerti dan merasa... lebih punya makna."
Dina menambahkannya, "Iya, dan sekarang kita semua jadi punya peran. Kita nggak cuma donor darah, kita juga bisa jadi harapan buat mereka yang butuh."
Suasana di mobil semakin terasa hangat dengan obrolan ringan itu. Bang Andi yang biasanya suka bercanda kali ini berbicara dengan nada yang lebih serius, membuatku semakin yakin bahwa kami semua punya alasan kuat untuk terlibat dalam komunitas ini. Kami tidak hanya sekadar pendonor darah, tapi lebih dari itu—kami adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar.
"Semoga darah kita bisa bantu ya, buat orang itu," kata Dina dengan lembut, penuh harapan.
Aku tersenyum, meski hati masih terasa berat. "Iya, semoga saja."
Perjalanan ini terasa lebih ringan setelah obrolan kami. Aku merasa lebih lega bisa berbicara dengan mereka, dengan cara yang tidak terlalu membebani. Tapi di sisi lain, aku masih memikirkan pasien yang akan dioperasi, merasa semakin dekat dengan mereka meskipun aku belum pernah bertemu. Aku hanya bisa berharap darah yang kami donorkan bisa membantu, dan semoga semuanya berjalan lancar.
***
Setelah proses pengambilan darah selesai, aku dan dua orang lainnya duduk sebentar di kursi yang disediakan di ruang transfusi darah. Kami saling berbicara ringan, mencoba mengalihkan perhatian dari tubuh yang sedikit lelah setelah mendonorkan darah. Pembicaraan kami berkisar tentang pengalaman mendonorkan darah, tentang pentingnya komunitas rhesus negatif, dan bagaimana masing-masing dari kami merasa bangga bisa membantu sesama.
"Sungguh, gue sudah beberapa kali ikut donor darah, tapi selalu saja ada perasaan senang setelahnya," ujar Andi yang duduk di sebelahku. Dia tersenyum sambil memegangi tangan kirinya yang baru saja ditusuk jarum.
"Iya, sama aku juga," jawabku sambil mengangguk. "Lebih dari sekadar donor, kita jadi bagian dari sesuatu yang lebih besar, kan?"
Pembicaraan kami terhenti sejenak saat seorang perawat datang mendekat. Aku menatapnya, bertanya-tanya apa yang dia bawa kali ini. Perawat itu tersenyum dan berkata, "Darah Bapak dan Ibu sudah siap, tetapi karena pasien harus menunggu beberapa jam lagi untuk persiapan operasi, pihak keluarga pasien ingin berterima kasih secara langsung kepada Bapak dan Ibu semua. Mereka ingin bertemu dengan Bapak dan Ibu."
Aku merasa kaget, tapi juga tersentuh. Tentu, aku tidak mengharapkan ucapan terima kasih atau perhatian lebih, tapi mengetahui bahwa apa yang kami lakukan bisa memberi dampak besar pada seseorang benar-benar membuatku merasa dihargai.
"Saya akan mengatur agar Bapak dan Ibu bisa mengunjungi pasien sebelum operasi," lanjut perawat itu dengan suara lembut.
Aku dan dua pendonor lainnya saling pandang, ada sedikit rasa canggung, namun kami sepakat untuk bertemu. Rasanya itu adalah kesempatan yang langka, kesempatan untuk memberi dukungan langsung kepada seseorang yang sangat membutuhkan. Selain itu, kami juga ingin menjalin hubungan lebih erat dengan sesama rhesus negatif.
***