POV Sherly
Sore itu, aku dan Cindy tiba di sebuah kafe kecil yang cukup ramai. Bau kopi yang menguar bercampur dengan aroma kayu manis segera menyambut kami. Aku sempat berharap suasana di sini cukup membuat pikiranku teralihkan, meski hatiku masih terasa berat setelah chat terakhir dengan Dwi. Cindy menggamit lenganku, terlihat tak sabar sambil terus memastikan kami ke meja nomor tujuh, tempat di mana teman tindernya sudah menunggu.
Namun, langkahku seketika terhenti saat pandanganku tertuju pada meja itu. Punggung yang duduk di sana... aku mengenalinya. Juan.
Rasanya seperti petir menyambar di siang bolong. "Cindy..." bisikku, mencoba memastikan aku tidak salah lihat. Tapi aku tidak bisa salah mengenali postur tubuh Juan yang khas itu, meskipun ia duduk membelakangi kami.
Saat kami mendekat, Juan akhirnya menoleh. Matanya melebar saat pandangannya bertemu denganku. Ia jelas sama terkejutnya. Wajahnya memancarkan kebingungan, lalu sedikit canggung, seolah bertanya, Kenapa kamu di sini?
Aku hanya bisa berdiri terpaku, merasa ingin mundur tapi tidak tahu harus ke mana. Namun, suasana mendadak cair saat teman Juan menyapa Cindy dengan ceria, mengucapkan namanya dengan penuh antusias.
"Ah, jadi ini Sherly?" teman Juan melirik ke arahku, tersenyum ramah sambil memperkenalkan dirinya. Aku sedikit lega. Jadi, Juan bukan teman tindernya Cindy. Itu hanya kebetulan yang terlalu absurd.
Juan juga tampak lega. Setelah menyapa dengan santai, dia langsung memasang wajah seperti baru mengenalku. Aku mengikutinya, pura-pura seolah kami tidak pernah bekerja di kantor yang sama. Tidak mungkin aku membiarkan Cindy tahu hal ini—dia akan menggoda kami sepanjang malam.
Selama kami di meja itu, aku berusaha keras menjaga suasana tetap ringan. Tapi aku tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Juan ada di sini. Sesekali mataku menangkap tatapan Juan, yang tampak berusaha membaca pikiranku.
***
Setelah hampir satu jam mengobrol, Cindy dan teman tindernya memutuskan untuk jalan-jalan santai ke taman kota yang tak jauh dari kafe. Aku mengikuti mereka dengan langkah malas, masih berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi sore ini.
Juan berjalan di sebelahku, sedikit tertinggal dari Cindy dan teman barunya. Awalnya kami hanya diam, tetapi akhirnya Juan bicara duluan.
"Lucu juga ya, kita sama-sama datang," katanya, dengan nada yang ringan tapi penuh maksud.
Aku meliriknya, sedikit tersenyum. "Cindy memaksaku. Kalau aku menolak, dia pasti akan marah besar."
Juan tertawa kecil. "Sama, temanku itu ngotot banget. Katanya aku harus keluar dari zona nyaman. Entah bagaimana, akhirnya aku menyerah."
Kehangatan dari suara Juan perlahan membuatku merasa lebih santai. Langkah kami melambat, memberikan jarak yang lebih jauh dari Cindy dan pasangannya.
"Ngomong-ngomong, aku penasaran," kata Juan, suaranya berubah sedikit serius. "Menurutmu... masa depan seperti apa yang sebenarnya kamu inginkan?"
Aku menoleh ke arahnya, sedikit terkejut dengan pertanyaannya. Tapi tatapannya menunjukkan ketulusan, tidak seperti biasanya ketika ia mencoba menggoda.
"Aku nggak tahu," jawabku jujur. "Kadang aku merasa hanya mengikuti alur. Tapi belakangan, aku mulai berpikir lebih serius tentang karierku."
Juan mengangguk pelan. "Aku juga begitu. Aku ingin mencapai banyak hal, tapi terkadang rasanya sulit untuk tetap fokus. Ada terlalu banyak distraksi di sekitar kita."
Aku menatapnya lebih lama kali ini. Di balik sikapnya yang suka bercanda, aku bisa melihat seseorang yang serius tentang masa depannya. Rasanya seperti Juan membuka pintu kecil ke dalam dirinya, membiarkanku melihat sedikit sisi yang selama ini ia sembunyikan.
Entah kenapa, malam ini terasa berbeda. Ada sesuatu tentang Juan yang membuat pikiranku lebih ringan. Mungkin karena ia tidak mencoba membuatku tertawa berlebihan, atau mungkin karena ia berbicara dengan jujur, tanpa pura-pura.
Saat kami tiba di ujung taman, aku sadar bahwa aku tidak lagi terlalu memikirkan rasa sakit yang kurasakan tadi pagi. Untuk pertama kalinya hari itu, aku merasa hatiku sedikit lebih tenang.
***
Hari Minggu pagi datang dengan tenang. Tidak ada alarm yang memaksaku bangun pagi-pagi buta seperti biasanya. Namun, aku tetap terjaga lebih awal, mungkin karena kebiasaan. Hari ini aku tidak punya rencana apa pun, hanya ingin membantu Ibu di warung. Setelah semua drama hati yang kurasakan kemarin, sepertinya berada di rumah dan melakukan sesuatu yang sederhana akan menenangkan pikiranku.
Ibu sedang sibuk di dapur saat aku keluar dari kamar. Beliau bersiap-siap untuk ke pasar membeli barang dagangan. Melihat punggung Ibu yang selalu terlihat tangguh, ada rasa haru yang menyeruak di hatiku. Kadang aku lupa bahwa Ibu adalah satu-satunya keluarga dekat yang kumiliki di dunia ini.
"Sherly, jaga warung, ya. Ibu mau ke pasar dulu."
"Siap, Bu."
Aku mengambil alih meja kecil di depan warung sambil memastikan semua barang dagangan tertata rapi. Pagi itu lumayan ramai, beberapa tetangga mampir untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Aku menikmati interaksi sederhana dengan mereka, meskipun hatiku sesekali terasa hampa tanpa alasan jelas.
Menjelang siang, Ibu kembali membawa barang belanjaannya. Aku membantunya menata barang-barang di rak, dan kami pun duduk bersama di kursi kecil di depan warung. Tidak ada pelanggan saat itu, jadi Ibu mulai bercerita.
"Sher, tahu nggak? Dulu Ibu sering merasa kesepian."
Aku menoleh ke arahnya. Mata Ibu terlihat sendu, mengingat sesuatu dari masa lalunya. Aku sudah sering mendengar cerita ini, tapi entah kenapa setiap kali Ibu membahasnya, ada sisi baru yang kutemukan.
"Kakek dan Nenek kamu dulu bercerai waktu Ibu masih kecil. Setelah itu, Nenek menikah lagi dan punya anak-anak lain. Ibu jadi seperti orang asing di rumah sendiri."
Aku diam, mendengarkan dengan hati yang berat. Kadang aku tidak bisa membayangkan betapa sulitnya masa kecil Ibu.
"Ibu menikah muda sama Ayah kamu, ya, karena ingin punya keluarga sendiri. Tapi setelah nenek kamu meninggal, hubungan Ibu dengan adik-adik tiri makin renggang. Sampai sekarang pun begitu."
Kata-kata itu membuatku semakin sadar bahwa keluargaku kecil, sangat kecil. Ayahku adalah anak tunggal, dan kakek nenek dari pihak Ayah juga sudah lama meninggal. Itu sebabnya aku hanya punya Ibu sebagai satu-satunya keluarga dekat yang benar-benar ada di sisiku.
"Tapi Ibu bersyukur kamu selalu ada, Sher. Hidup kita memang tidak mudah, tapi Ibu senang kita masih bisa bersama sampai sekarang."
Aku tersenyum kecil. Meskipun cerita ini menyedihkan, ada kehangatan yang muncul saat mendengarnya langsung dari Ibu. Aku merasa lebih menghargai apa yang kami miliki, meskipun kadang terasa berat.
Hari itu berlalu dengan cepat. Meski seharian hanya berada di rumah dan menjaga warung, aku merasa puas. Hidupku mungkin tidak sempurna, tapi aku bersyukur masih punya Ibu yang selalu menjadi tempatku berpulang.
***
Malam itu, setelah selesai membantu ibu dan membereskan beberapa hal di rumah, aku akhirnya bisa merebahkan diri di tempat tidur. Rasanya lelah, tapi juga menenangkan bisa melewati hari ini dengan baik. Namun, saat aku hampir terlelap, tiba-tiba ponselku bergetar. Layar menampilkan nama yang membuat dadaku seketika berdebar kencang. Pak Ariel.
Aku menatap layar itu dengan perasaan campur aduk. Ingin mengabaikan, tapi rasa cemas jika itu terkait pekerjaan memaksaku untuk segera mengangkatnya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku menekan tombol hijau.
"Halo, Assalamu'alaikum, Pak," ucapku berusaha terdengar profesional, meski suaraku terasa sedikit bergetar.
"Wa'alaikumsalam, Sherly. Maaf mengganggu malam liburmu," suara pak Ariel terdengar, tetap tenang seperti biasa.
"Tidak apa-apa, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"
Pak Ariel mulai menjelaskan bahwa sisa masa trainingku dan awal masa onboarding-ku akan dibimbing oleh manajer keuangan cabang selama dua minggu ke depan, karena ia sendiri akan cuti. "Beliau sangat berpengalaman. Manfaatkan waktu ini untuk belajar banyak darinya," tambah pak Ariel.
Aku menjawab dengan tenang, "Baik, Pak. Terima kasih atas arahannya. Saya akan berusaha maksimal."
Namun, pembicaraan kami tidak berhenti di situ. Ada jeda beberapa detik, seolah pak Ariel sedang mencari sesuatu untuk dikatakan.
"Sherly..." suaranya terdengar lebih santai. "Kalau ada temanmu yang sedang menghadapi sebuah perjuangan, menurutmu, apa kata-kata yang bisa membuat mereka merasa lebih tenang?"
Pertanyaannya membuatku terdiam sejenak. Perjuangan? Aku mencoba memikirkan maksudnya, hingga akhirnya menyadari sesuatu. Pak Ariel sedang membicarakan dirinya sendiri.
Kalimat Bu Risti dan Bu Riana di kantor kemarin kembali terngiang. Mungkin ini tentang rencana pak Ariel bertemu keluarga calon pasangannya. Seketika dadaku terasa sesak. Kenyataan itu terasa semakin nyata, semakin menamparku.
Aku menarik napas panjang, berusaha menguasai diri. "Kalau saya, Pak... saya mungkin akan bilang, perjuangan itu nggak pernah mudah, tapi hasilnya akan sepadan. Jadi, jangan lupa percaya pada diri sendiri. Kalau orang lain bisa, kenapa kita tidak?" ucapku dengan nada yang kupaksakan stabil, meski hatiku bergejolak.
Hening. Aku menunggu reaksinya sambil menggigit bibir, berharap tidak ada yang salah dengan kata-kataku.
"Terima kasih, Sherly," jawab pak Ariel akhirnya, suaranya terdengar hangat. "Kamu selalu tahu cara merangkai kata yang tepat."
Aku tersenyum kecil, meski air mata perlahan jatuh tanpa kusadari. "Sama-sama, Pak," jawabku pendek.
Setelah beberapa kalimat basa-basi, pak Ariel akhirnya menutup telepon, dan aku hanya bisa memandangi layar ponsel yang kini gelap. Ada sesuatu yang terasa pecah di dalam hatiku. Aku tahu, aku harus menghadapi kenyataan ini. Hubungan kami hanya sebatas atasan dan bawahan, tidak lebih.
Namun, rasa sakit ini tetap tinggal, meresap dalam diam. Malam itu, aku menangis dalam keheningan, mencoba melepaskan semua yang kurasakan. Besok, aku harus kuat lagi. Harus.