Bad Mood

POV Sherly

Sabtu pagi ini, aku memutuskan jogging di lapangan umum tentara yang dekat rumahku. Udara segar sedikit membantu meredakan mood burukku. Tapi langkahku terhenti saat aku melihat seseorang yang tak asing dari kejauhan. Juan. Dia juga sedang jogging, mengenakan kaos biru tua dan celana hitam. Saat melihatku, dia melambai sambil tersenyum lebar.

"Eh, Sherly! Pagi!" sapanya riang, napasnya sedikit terengah-engah.

"Pagi, Juan," balasku sambil tersenyum tipis.

Juan langsung menyamakan langkahnya denganku, berjalan santai sambil terus tersenyum seperti biasanya. "Gimana kabar? Kok pagi-pagi udah di sini? Lagi nggak sibuk?"

Aku mengangkat bahu. "Mood lagi jelek aja. Jadi, ya, sekalian refreshing."

"Wah, sama dong. Aku juga kalau lagi suntuk, jogging deh, biar pikiran lebih enteng," katanya sambil sedikit tertawa. "Oh iya, Sher, aku masih inget waktu pertama kali denger kamu bakal jadi sekretaris manajer keuangan. Keren juga tuh."

Aku langsung menggeleng sambil mendengus kecil. "Halah, salah tuh infonya. Aku bukan sekretaris, tapi asisten manajer keuangan."

Juan menghentikan langkahnya sebentar, menatapku dengan bingung. "Serius? Tapi aku yakin banget denger dari kepala teknisi, lho."

"Yah, mungkin dia salah denger atau ada kebijakan baru," jawabku santai. Aku sebenarnya sudah malas membahasnya, jadi berharap dia tidak memperpanjang.

"Oh, oke deh. Tapi tetep keren, sih," katanya sambil tersenyum. "Eh, ngomong-ngomong, aku denger Pak Ariel bakal cuti ya? Dia mau ke mana, emangnya?"

Pertanyaan itu langsung membuat hatiku terasa sedikit panas lagi. Tapi aku berusaha tetap tenang. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Katanya mau ke luar kota. Kayaknya sih nemuin keluarganya calon pasangannya."

Juan langsung memasang ekspresi kaget. "Wah, serius? Jadi dia mau nikah, dong? Wah, selamat buat dia, ya. Pak Ariel itu orangnya baik, kan. Kamu juga pasti cocok kerja sama dia."

Aku hanya mengangguk kecil tanpa menjawab. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal di dada, tapi aku sendiri nggak tahu kenapa. Juan menatapku beberapa detik sebelum tiba-tiba bertanya sesuatu yang lebih personal.

"Eh, Sher. Ngomong-ngomong, kamu udah punya pacar belum?"

Aku langsung melirik dia dengan tatapan setengah bingung. "Hah? Kok nanya gitu?"

"Ya penasaran aja. Selama ini kamu kayaknya sibuk terus kerja, nggak pernah kelihatan ada yang jemput atau apa gitu," jawabnya sambil nyengir lebar.

Aku menghela napas pelan. "Belum ada, Juan. Lagi nggak kepikiran aja, mungkin."

Juan langsung menaikkan alis, tampak tertarik. "Serius? Wah, berarti masih single dong. Terus, tipe cowok yang kamu suka kayak gimana?"

Aku menggigit bibir, merasa pertanyaan itu sedikit mengganggu, terutama di tengah suasana hatiku yang nggak enak. Akhirnya, aku menjawab asal. "Yah, yang penting baik, dewasa, bisa nyambung ngobrolnya, dan... nggak ribet lah."

Juan tertawa kecil. "Wah, itu sih kayaknya aku banget," katanya dengan nada bercanda, tapi matanya berbinar.

Aku menoleh padanya, menatapnya dengan ekspresi kaget. "Hah? Apaan sih, Juan. Ngaco banget."

"Lho, bener dong. Aku baik, dewasa, terus ya jelas nyambung ngobrolnya sama kamu. Siapa lagi yang lebih pas?" katanya sambil tertawa, mencoba mencairkan suasana.

Aku memutar bola mata, malas menanggapi lebih jauh. "Udahlah, Juan. Jangan ngelucu. Aku mau beli air minum dulu."

Dia tertawa lagi, tapi kali ini tidak memaksakan pembicaraan lebih jauh. "Oke, oke. Aku ikut deh. Habis itu kita duduk santai dulu, ya."

Aku hanya mengangguk kecil, membiarkan Juan menemani langkahku ke kios terdekat. Meski obrolan tadi terasa canggung di beberapa bagian, aku tetap menghargai usahanya untuk menghiburku. Tapi entah kenapa, perasaan di dadaku tetap tak kunjung reda. Seolah ada sesuatu yang masih menunggu untuk ditemukan jawabannya.

***

Aku sedang merebahkan tubuh di sofa ruang tamu, masih merasa sedikit malas setelah jogging tadi pagi. Suara ketukan di pintu membuatku menoleh, dan tak lama setelah kubuka, wajah Cindy langsung menyembul penuh semangat.

"Lu harus ikut gua sore ini!" serunya tanpa basa-basi, masuk ke dalam rumahku seolah sudah mendapat izin.

Aku mengerutkan kening, menatapnya sambil menutup pintu. "Kemana? Gua lagi nggak mood jalan-jalan, tahu."

"Ayolah, Sher! Ini penting banget! Gua mau kopi darat sama kenalan Tinder-ku. Dia ngajak bawa teman, jadi gua butuh kamu. Pleaase!" Cindy merapatkan kedua telapak tangannya, memohon seperti anak kecil yang minta permen.

Aku mendesah panjang. "Cin, gua serius. Lagi malas banget. Lu tahu gua lagi nggak enak hati, kan?"

Cindy duduk di sofa dengan santainya, lalu menatapku serius. "Justru itu. Lu butuh udara segar. Daripada seharian murung di rumah, mending lu temenin gua. Gua janji, ini nggak bakal lama. Lagian, dia bawa temannya juga. Siapa tahu teman dia itu menarik," ucapnya sambil mengedipkan mata jahil.

Aku memutar bola mata, mencoba menahan tawa kecil meskipun masih merasa kesal dengan suasana hati. "Menarik atau nggak, gua nggak peduli. Gua cuma... yah, nggak pengen ketemu orang baru hari ini."

"Please, Sher. Gua udah lama banget nunggu momen ini. Lu kan tahu gimana gua cerita soal dia ke elu. Gua butuh lu buat nemenin. Kalau nggak, gua bakal canggung banget sendirian!" Cindy mulai merengek, bahkan menyentuh lenganku seolah memperkuat argumennya.

Aku menarik napas, mencoba mempertimbangkan. Cindy memang sudah lama cerita soal pria yang dia kenal di Tinder itu. Aku tahu dia sangat berharap pertemuan ini berjalan lancar. Lagipula, kalau aku menolak, aku pasti bakal merasa bersalah nanti.

"Ya ampun, Cin. Lu ini ya..." aku menggeleng pelan sambil mendesah. "Oke deh, gua ikut. Tapi cuma sebentar, ya."

Cindy langsung melonjak senang. "Yes! Lu memang sahabat terbaik!" serunya sambil memelukku dengan heboh. "Nanti sore kita berangkat jam empat. Pakai baju yang bagus, ya!"

Aku hanya mengangguk kecil, terlalu malas untuk membantah lebih jauh. Setelah Cindy pergi, aku kembali terdiam, memandangi langit-langit rumah. Rasanya masih berat untuk menghadapi apa pun hari ini, tapi aku tidak tega mengecewakan Cindy. Dia sahabatku, dan aku tahu ini penting untuknya.

"Ya sudah," gumamku pada diri sendiri, "sore ini aku akan pergi. Semoga aja nggak tambah buruk mood-nya." Aku bangkit dan berjalan menuju kamar, bersiap-siap dengan setengah hati.

***

Handphone-ku bergetar di atas meja. Aku yang sedang bersiap-siap untuk menemani Cindy langsung melirik layar yang menyala—nama Dwi muncul di notifikasi chat. Aku menarik napas, merasa agak ragu untuk membuka pesan itu. Tapi akhirnya, aku menyerah pada rasa penasaran dan segera membacanya.

"Sher, apa kabar? Aku ganggu nggak? Aku mau cerita sesuatu."

Tumben. Dwi biasanya jarang memulai obrolan duluan, apalagi dengan nada seperti ini. Jempolku bergerak cepat di layar, mengetik balasan.

"Hai, kabar baik. Nggak ganggu kok. Cerita apa?"

Tidak butuh waktu lama sebelum balasannya muncul.

"Aku ngerasa selama ini nggak jujur sama kamu soal sesuatu. Kayaknya aku perlu cerita sekarang."

Aku membaca ulang pesannya, mencoba menebak ke mana arahnya. Ada sesuatu di kata-katanya yang membuatku sedikit tegang, tapi aku berusaha tetap santai.

"Oh, apa tuh? Ceritain aja."

Beberapa detik berlalu. Lalu pesannya datang, dan saat aku membacanya, dunia rasanya berhenti sejenak.

"Aku mau cerita soal gadis yang aku suka."

Hatiku mencelos. Seolah udara di ruangan ini tiba-tiba jadi lebih tipis. Aku mencoba mengatur napas, berusaha menenangkan diriku. Dia hanya teman, Sherly. Dia nggak punya alasan untuk cerita ini kalau kamu bukan sekadar teman. Aku mencoba memaksakan senyum, meski tidak ada yang melihatku.

"Wah, siapa? Ceritain dong."

Aku mengetik dengan santai, atau setidaknya aku berharap balasanku terlihat seperti itu. Jempolku gemetar sedikit saat kutekan tombol kirim.

Pesan berikutnya datang dengan cepat.

"Dia itu masa lalu aku. Kami pernah dekat, tapi waktu itu nggak ada keberanian dari aku untuk serius. Sekarang, nggak nyangka, aku ketemu dia lagi. Dia cantik banget, baik, perhatian… aku kagum banget sama dia."

Aku membaca kata demi kata dengan rasa panas yang menjalar di dadaku. Kalimatnya terdengar begitu tulus, begitu bahagia. Aku menggigit bibir, mencoba menahan gejolak emosi yang muncul tanpa bisa kujelaskan.

"Wah, serius? Kayaknya dia beruntung banget bisa bikin kamu suka. Jadi sekarang gimana? Kalian udah sering ketemu lagi?"

Aku mengetik dan mengirimkan balasan itu dengan senyum tipis yang terasa getir. Tanganku bergetar sedikit, tapi aku tidak tahu apakah itu karena emosi atau hal lain.

Kenapa rasanya seperti ini? Kenapa kata-katanya seperti menambah jarak yang baru saja muncul di antara kami? Aku tahu ini seharusnya biasa saja. Kami cuma teman, dan Dwi berhak bahagia dengan siapa pun. Tapi tetap saja, membaca chat-nya membuat hatiku terasa seperti dihimpit sesuatu yang berat.