Urusan Keluarga

POV Sherly

Setelah selesai menyelesaikan beberapa dokumen, aku berjalan menuju lift seperti biasa. Namun, langkahku terhenti sejenak ketika mendengar suara percakapan yang datang dari arah koridor.

Aku mengenal suara mereka. Bu Risti dan Bu Riana. Tanpa sengaja, aku mendekat sedikit, hanya untuk mendengarkan lebih jelas apa yang mereka bicarakan.

"Jadi, benar ya kalau Pak Ariel dan Pak Hasyim cuti minggu depan untuk urusan keluarga, Bu?" tanya Bu Risti dengan suara rendah.

"Iya, katanya untuk menemui keluarga calon pasangan Pak Ariel," jawab Bu Riana, terdengar agak pelan namun penuh kepastian. "Keluarga calon pasangannya sudah ingin bertemu, jadi mereka memutuskan untuk cuti."

Aku terdiam, kaku. Seolah ada yang menghentikan napasku. Kata-kata itu terus berputar di kepala, menumbuk dan menghantam hatiku dengan cara yang tak terduga. Keluarga calon pasangan pak Ariel... Suasana sekitar seakan berubah menjadi sepi, hanya ada denting-denting hati yang berdebar keras.

Keluarga calon pasangan. Pak Ariel. Keluarga. Pasangan.

Kenapa tiba-tiba aku merasa... sakit? Kenapa rasanya ada sesuatu yang robek dalam diri ini? Bukankah pak Ariel memang berhak memiliki kehidupan pribadi yang bahagia? Aku sendiri tak tahu kenapa kata-kata itu bisa mengguncang perasaan begitu dalam. Ini bukan tentang aku, bukan tentang perasaanku. Pak Ariel adalah bosku, bukan siapa-siapa lebih dari itu.

Tapi kenapa hati ini terasa kosong, seperti ada yang hilang, seperti ada harapan yang terlepas begitu saja tanpa bisa digenggam lagi?

Aku terdiam, tak tahu harus berbuat apa. Wajahku terasa panas, meski udara di kantor terasa sejuk. Aku menatap tangan yang mulai gemetar, mencoba mencari alasan yang rasional, sesuatu yang bisa membenarkan perasaan ini. Tapi aku tak bisa menemukan jawaban yang memadai. Hanya ada kekosongan dan pertanyaan yang terus menghantui.

Langkahku terasa berat ketika aku melangkah mundur, menjauhi mereka. Aku menekan tombol lift dengan cepat, berharap bisa melarikan diri dari perasaan ini, dari perasaan yang begitu asing dan tak kusangka akan datang begitu saja. Tapi saat pintu lift terbuka dan aku melangkah masuk, rasa itu tak kunjung hilang.

Pak Ariel... aku tak tahu kenapa ini terasa begitu sulit. Aku berusaha menenangkan diri, berharap bahwa mungkin perasaan ini hanya sesaat, hanya kesalahan persepsi. Tapi kenapa hatiku tak bisa berhenti bertanya: Apakah aku hanya seorang asisten baginya?

***

Aku baru saja selesai merapikan meja kerjaku dan berjalan menuju pintu keluar ketika suara pak Ariel terdengar dari belakangku.

"Sherly, kamu mau saya antar pulang seperti biasa?" suaranya terdengar ringan, seperti beberapa hari belakangan ini, penuh perhatian, dan tanpa beban.

Aku terhenti, sejenak terpaku. Tanpa sadar, perasaanku seketika berubah—aku tidak tahu mengapa, tapi tiba-tiba saja aku merasa seperti ada jarak yang sangat lebar antara aku dan dia. Sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan. Mungkin karena kata-kata yang baru saja aku dengar dari Bu Risti dan Bu Riana, atau mungkin karena aku mulai menyadari bahwa pak Ariel tidak hanya seorang manajer yang peduli dengan pekerjaan, tapi juga dengan hidupnya sendiri—hidup yang tidak ada tempat untukku di dalamnya.

Tanpa berpikir panjang, aku menjawabnya. "Terima kasih, tapi saya bisa pulang sendiri hari ini."

Ada keheningan sejenak, dan aku bisa merasakan matanya yang tertuju padaku, merasa aneh dengan jawabanku. Biasanya, aku sudah mulai bisa menerima tawarannya tanpa ragu, jadi sikapku yang tiba-tiba berubah pasti membuatnya bingung.

Pak Ariel mengerutkan keningnya, langkahnya mendekat. "Sherly, kamu pasti capek. Kenapa nggak saya antar saja?" Suaranya tetap lembut, tak ada paksaan, hanya tawaran biasa. Namun kali ini, ada nada sabar yang berbeda, seperti dia mencoba memahami sesuatu yang tidak bisa ia pahami.

Aku merasakan itu. Tapi aku tidak ingin melanjutkan percakapan ini lebih lama. Aku menatapnya dengan perasaan yang semakin ragu dan berat. Tanpa sadar, kata-kata yang keluar dari mulutku terdengar lebih dingin dari yang aku maksudkan. "Nggak, terima kasih. Saya ingin pulang sendiri. Saya pamit dulu, Pak."

Aku buru-buru melangkah pergi, berharap pak Ariel tidak bisa membaca ekspresiku yang kacau. Setiap langkahku terasa begitu berat. Rasanya seperti ada batu besar yang menghimpit dada. Aku ingin berlari, menghindari perasaan ini, tapi aku tetap berjalan dengan cepat, menjauh dari dia, bahkan tanpa menoleh sekali pun.

Di belakangku, pak Ariel terdiam, aku bisa merasakannya. Ada keheningan yang menyelimuti ruangan itu, yang mungkin hanya bisa dia rasakan. Aku mendengar langkah kakinya yang tak lagi mengejarku, tak seperti biasanya. Dia tetap di tempatnya, membiarkan aku pergi dengan kebingunganku yang tak terjelaskan.

Pak Ariel pasti heran, dan aku tahu itu. Tapi aku sendiri juga bingung dengan apa yang aku rasakan. Kenapa perasaan ini datang begitu tiba-tiba? Apa yang telah berubah? Kenapa aku merasa seperti ada dinding yang terbentuk antara kami?

Aku tidak tahu jawabannya, tapi aku sudah terlalu jauh untuk kembali. Aku hanya ingin melangkah pergi dan melupakan semuanya untuk malam ini.

***

Malam itu, setelah aku selesai dengan rutinitas malam dan duduk di depan layar ponsel, aku menerima pesan dari Dwi.

"Hey, Sherly. Gimana keadaanmu? Semoga hari ini lancar ya."

Aku terkejut. Bukankah tadi siang kami sudah saling membalas pesan? Kenapa Dwi menanyakan hal yang sama lagi? Ada rasa aneh yang tiba-tiba muncul, seperti Dwi bisa membaca pikiranku. Aku tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu dalam cara dia bertanya yang terasa sangat... peduli. Rasanya seperti ada koneksi rasa yang tak terucapkan di antara kami, meskipun aku tahu kami tidak begitu dekat.

Dengan perasaan yang sedikit bingung, aku membalas pesan itu.

"Hari ini agak berat, Dwi. Rasanya ada yang nggak beres, tapi aku juga nggak tahu kenapa. Mungkin cuma perasaan aja."

Aku menatap layar ponsel sejenak, jari-jari ku terhenti sebentar sebelum melanjutkan mengetik. Aku tidak tahu mengapa, tapi rasanya ada sesuatu yang ingin aku ungkapkan. Sesuatu yang selama ini terkunci dalam hatiku.

"Aku nggak tahu kenapa, tapi hari ini hati aku terasa sakit. Ada sesuatu yang harusnya nggak aku rasakan, tapi entah kenapa tetap datang begitu saja."

Aku menahan napas, memikirkan kata-kata yang tepat. Aku tidak bisa mengatakan semuanya. Tidak sekarang. Tidak pada Dwi, apalagi jika aku harus menceritakan tentang perasaan yang entah kenapa begitu terikat pada seseorang yang seharusnya hanya menjadi seorang bos bagiku. Aku malu jika Dwi tahu siapa orang yang aku maksud—bos yang sering kali membuatku merasa lebih dari sekadar seorang trainee. Dan aku bahkan sempat berpikir, dia mungkin menyukaiku. Tapi itu semua hanya dugaan kosong, bukan?

Aku terus menatap layar ponsel, menunggu balasan dari Dwi.

Tidak lama kemudian, pesan itu datang.

"Aku nggak tahu pasti apa yang kamu rasakan, Sherly, tapi kalau ada sesuatu yang membuat kamu merasa nggak nyaman, itu nggak salah kok untuk merasa begitu. Aku tahu kamu kuat, dan aku yakin kamu bisa menghadapinya. Kalau kamu butuh sesuatu, kamu bisa cerita kapan saja."

Aku membaca pesan itu berulang kali, meresapi setiap kata-kata yang dia kirimkan. Dwi tidak tahu apa-apa, tapi dia memberiku ruang untuk merasa, untuk menyampaikan apa yang ada dalam hatiku, meski hanya sebatas kata-kata yang terlepas begitu saja. Aku merasa sedikit lebih lega setelah membaca pesannya. Meskipun dia tidak tahu detailnya, dia memberikan dukungan yang aku butuhkan. Itu cukup.

Terlepas dari apa yang terjadi, setidaknya aku tidak merasa sendirian. Dan untuk saat ini, itu sudah cukup.

Aku membalas pesan Dwi dengan sebuah senyuman kecil yang tidak tampak oleh siapa pun.

"Terima kasih, Dwi. Itu sangat membantu."

Aku meletakkan ponsel di sampingku, mencoba menenangkan pikiranku yang masih bergemuruh. Aku tidak tahu apa yang terjadi ke depannya, tapi untuk malam ini, aku akan berusaha untuk tidur dengan tenang.