Lembar Kinerja

POV Sherly

Pada hari Senin pagi, aku tiba di kantor dengan perasaan campur aduk. Meskipun aku sudah berniat untuk menyerahkan kacamata pak Ariel yang tertinggal, aku tidak menemukan pak Ariel di kantor seperti biasa. Tidak ada kabar apapun darinya. Sebuah perasaan kecewa langsung menguasai dirinku. Seharusnya, hari ini aku bisa menyerahkan benda itu, tapi kini harapanku terlepas begitu saja.

Saat aku sedang duduk di mejanya, Bu Risti datang dengan kabar yang sedikit membuatku lega dan sedikit kecewa. "Sherly, tadi Direktur Divisi sudah mengabari. Pak Ariel ada urusan di luar. Jadi, dia nggak bisa datang ke kantor hari ini. Kamu bisa handle beberapa tugas yang perlu diselesaikan hari ini," ujar Bu Risti dengan nada penuh pengertian.

Aku mengangguk, meskipun hatiku sedikit kecewa. Bagaimana bisa aku menyerahkan kacamata yang sudah ku simpan begitu lama jika pak Ariel tidak ada di kantor? Aku merasa seperti ada sesuatu yang penting yang belum bisa diselesaikan.

Jam istirahat siang akhirnya tiba. Aku yang merasa sedikit cemas dan ingin segera menyelesaikan masalah itu, memutuskan untuk mengunjungi ruangan Pak Hasyim. Aku tahu, meskipun tidak bisa bertemu pak Ariel langsung, mungkin ada cara lain untuk menyampaikan kacamata itu.

Di ruang Direktur Utama, Pak Hasyim sedang sibuk dengan pekerjaannya. Namun, ketika melihatku masuk, ia segera menyapa dengan senyum hangat. "Sherly, ada apa?" tanyanya.

Aku merasa sedikit gugup, namun ia tetap mengeluarkan kacamata Ariel dari tas kecil dan menyerahkannya. "Pak Hasyim, ini kacamata Pak Ariel yang lupa saya serahkan kemarin. Saya ingin menyerahkannya pada Bapak," kataku.

Namun, Pak Hasyim justru tersenyum kecil dan menolak untuk menerima kacamata tersebut. "Tidak perlu, Sherly. Sebaiknya kamu serahkan langsung ke Ariel di rumah setelah pulang kerja. Nanti malam pasti dia akan butuh itu," ujarnya dengan tenang. Ia lalu memberikan sebuah berkas kepada Sherly. "Ini, lembar penilaian kinerja trainee punyamu. Tolong serahkan juga kepada Ariel agar dia bisa mengisinya dan menandatanganinya."

Aku merasa sedikit bingung, namun ia menerima berkas itu. "Baik, Pak Hasyim. Saya akan pastikan semuanya sampai kepada Pak Ariel," jawabku dengan hati-hati.

Pak Hasyim mengangguk, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya, sementara aku meninggalkan ruangannya dengan perasaan campur aduk. Aku merasa sedikit lebih lega karena setidaknya kacamata pak Ariel akan sampai padanya, tapi juga sedikit tertekan karena harus menyelesaikan tugas ini dan menyerahkan penilaian kinerja yang tampaknya akan menjadi bagian dari penilaian lebih besar terhadapku.

***

Aku tiba di rumah Pak Ariel sore itu dengan sopir yang ditugaskan Pak Hasyim untuk mengantarku. Sebenarnya aku tidak menyangka harus mampir ke rumahnya lagi, apalagi membawa kacamata yang kemarin tidak sempat kukembalikan. Aku menggenggam dokumen penilaian trainee di tangan, mencoba menenangkan diri.

Ketika Pak Ariel membukakan pintu, aku hampir tidak mengenalinya. Wajahnya terlihat lebih segar daripada saat terakhir aku melihatnya. Sisa kelelahan yang sempat terpancar kemarin seperti menghilang. Ia bahkan mengenakan kaos sederhana dan celana jeans, jauh dari kesan formal seperti biasanya.

"Eh, Sherly? Ada apa ya?" tanyanya sambil mengernyit heran.

Aku menatapnya beberapa detik, memastikan apa yang kulihat benar. "Pak Ariel, apa... Bapak udah merasa lebih baik?" tanyaku, suaraku sedikit ragu.

Dia tersenyum kecil. "Iya, saya sudah lebih baik kok. Nggak perlu khawatir."

Meski dia mengatakan itu, aku tetap teringat pada penjelasan sepupu Cindy soal kondisi medisnya. Aku tahu dia perlu menjaga dirinya baik-baik, tapi aku juga tahu ini bukan posisiku untuk terlalu ikut campur. Jadi aku hanya mengangguk kecil dan menyodorkan dokumen di tanganku.

"Ini... dokumen penilaian trainee dari Pak Hasyim. Beliau minta saya menyerahkannya ke Bapak."

Dia menerima dokumen itu dan mulai membacanya. Tapi ada sesuatu yang aneh—dia menyipitkan matanya, memiringkan kepala, dan mendekatkan kertas itu ke wajahnya.

"Pak Ariel... kenapa?" aku bertanya, bingung melihat tingkahnya.

Dia tertawa kecil, tampak sedikit malu. "Saya nggak bisa baca. Kacamata saya hilang."

Aku membeku sesaat, lalu langsung ingat. Kacamata itu ada di dalam tasku! "Oh, maaf, Pak! Ini kacamatanya." Aku buru-buru menyerahkannya. "Saya simpan kemarin waktu nyetir, biar nggak rusak... tapi malah lupa ngembaliin."

Dia tampak kaget, tapi kemudian tersenyum hangat. "Terima kasih, Sherly. Kamu benar-benar perhatian." Dia segera memakai kacamatanya, lalu membaca dokumen itu dengan lebih cepat.

Setelah beberapa saat, dia menurunkan dokumen itu. "Tapi sepertinya saya belum bisa tanda tangan sekarang. Tanggal efektifnya masih dua minggu lagi. Jadi, kamu harus sabar, ya."

Aku hanya mengangguk, berusaha menenangkan diri dari rasa canggung yang tadi hampir menghancurkan suasana. Tapi melihat senyuman hangat Pak Ariel tadi, ada perasaan lega di hati. Setidaknya aku bisa membantunya sedikit hari ini.

***

Hari ini adalah Jumat, hari terakhir sebelum pak Ariel cuti selama dua minggu. Seperti biasa, suasana di kantor cukup sibuk, namun ada yang terasa berbeda. Pagi ini pak Ariel memberitahuku bahwa ia akan mengambil cuti mulai Senin depan untuk urusan keluarga. Aku merasa terkejut mendengarnya. Dua minggu terasa cukup lama, mengingat aku baru saja mulai merasa nyaman dengan rutinitas kerjaku bersama pak Ariel. Namun, aku tahu ini adalah keputusan yang perlu ia ambil untuk dirinya sendiri.

Selama empat hari terakhir ini, aku melihat bagaimana pak Ariel bekerja dengan sangat terstruktur. Hari Selasa, ia menyelesaikan laporan keuangan yang harus segera diserahkan. Semua dokumen yang ada di mejanya tertata rapi dan jelas. Rabu, ia mengadakan rapat dengan timnya, termasuk aku, Bu Risti, dan beberapa akuntan, membagi tugas dengan sangat teliti. Kamis, dia bertemu dengan Direktur Divisi dan Manajer Keuangan Cabang, menyelesaikan berbagai urusan administratif yang cukup rumit. Dan hari ini, Jumat, pak Ariel melakukan pengecekan terakhir pada semua laporan dan memastikan bahwa semuanya sudah siap.

Aku benar-benar terkesan melihat betapa terorganisirnya pak Ariel. Ia tidak membiarkan satu pun hal penting terlewat. Semua kegiatan yang dilakukannya sangat terstruktur dengan baik. Aku bahkan merasa bahwa ia jauh lebih ramah dibandingkan sebelumnya. Senyum yang jarang keluar kini lebih sering muncul, dan ia memberi perhatian lebih pada tim, termasuk aku. Rasanya, bekerja dengannya tidak lagi terasa canggung seperti dulu. Ada rasa nyaman yang mulai tumbuh, meskipun terkadang masih ada kekhawatiran yang mengganjal.

Tapi, hari ini terasa sedikit berbeda. Pak Ariel memanggilku ke mejanya, menyerahkan lembar penilaian kinerja yang sudah ditandatangani. "Ini untukmu," katanya dengan nada tenang. "Aku pikir kamu layak untuk menjabat posisi asisten manajer."

Aku terkejut mendengar kalimat itu. Asisten manajer? Aku belum bisa memprosesnya dengan baik. Aku hanya bisa menatapnya dengan sedikit kebingungan. Ariel melanjutkan, "Namun, jika kamu merasa belum siap atau merasa posisi itu terlalu berat, kita bisa kembalikan kamu ke posisi awal, menjadi sekretaris direktur utama, dengan masa training lagi selama satu bulan."

Aku terdiam, kebingunganku semakin mendalam. Sebelumnya, Juan pernah memberitahuku bahwa posisi yang akan aku isi adalah sekretaris manajer keuangan. Namun kenyataannya, pak Ariel malah menawarkan posisiku untuk menjadi asisten manajer. Benar-benar berbeda dari yang aku bayangkan.

Aku menatap lembar penilaian itu, berpikir keras. Menjadi asisten manajer tentu sesuai dengan bidangku. Ini adalah kesempatan besar untuk berkembang. Aku tahu ini adalah pilihan yang lebih menantang, tetapi aku merasa ragu. Apa aku bisa mengemban tugas itu dengan baik? Atau lebih baik kembali ke posisi yang aman sebagai sekretaris?

Aku teringat bagaimana aku bisa berada di sini. Ketika pertama kali melamar, aku tidak tahu bahwa ada posisi kosong untuk asisten manajer keuangan di perusahaan ini. Aku bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya melamar sebagai sekretaris, karena itu yang aku tahu. Wawancara yang mengejutkan itu membawaku ke sini. Dan sekarang, aku dihadapkan pada pilihan yang lebih besar.

Namun, semakin aku berpikir, semakin aku merasa yakin. Posisi asisten manajer adalah pilihan yang tepat. Ini sesuai dengan keahlianku dan tujuan karirku. Lebih dari itu, aku juga menyadari bahwa aku ingin melanjutkan bekerja di bawah bimbingan pak Ariel. Cara ia memimpin dan berkomunikasi membuatku merasa nyaman dan dihargai. Meskipun awalnya aku merasa canggung, kini aku merasa punya kesempatan untuk berkembang lebih banyak lagi di bawah arahan pak Ariel.

Aku tahu ini adalah langkah besar, namun aku juga tahu ini adalah kesempatan yang tidak boleh aku lewatkan. Aku ingin membuktikan pada diriku sendiri bahwa aku bisa lebih dari sekadar sekretaris. Aku ingin mengambil tanggung jawab yang lebih besar, dan asisten manajer adalah langkah yang tepat untuk itu.

***