POV Sherly
Saat aku membuka pintu rumah, aroma khas rumahku langsung menyambut. Aku meletakkan tas di sofa dan bernapas lega, akhirnya bisa sampai juga. Ibu keluar dari dapur dengan wajah sedikit khawatir.
"Kamu baik-baik saja, kan? Ibu sempat khawatir waktu kamu bilang mau menginap di sana," ucap Ibu sambil memperhatikan wajahku dengan cermat.
Aku tersenyum kecil, berusaha menenangkan. "Aku baik-baik saja, Bu. Nggak ada apa-apa kok. Tadi cuma perjalanan jauh, jadi agak capek."
Ibu tampak sedikit lega, meski masih menyimpan kekhawatiran. Ia menepuk pundakku perlahan. "Kalau capek, istirahat dulu, jangan langsung beraktivitas."
Aku mengangguk sambil melangkah ke kamar. Saat sedang berganti pakaian, suara ketukan di pintu terdengar, diikuti suara riang yang sudah sangat kukenal.
"Sherlyyy! Gua masuk, ya!"
Itu suara Cindy—atau lebih sering kupanggil Icin. Ia masuk dengan senyum lebarnya, membawa tas besar yang sepertinya penuh dengan oleh-oleh.
"Baru nyampe langsung ceramah, eh?" candaku sambil tertawa kecil.
Kami duduk di kasur, berbagi cerita seperti biasa. Cindy bercerita soal pengalamannya selama prapenelitian, dan aku mendengarkan dengan penuh antusias. Lalu giliran dia yang menatapku dengan pandangan menyelidik.
"Jadi, gimana bos gantengmu itu?" tanyanya tiba-tiba, senyumnya penuh arti.
Aku terkejut. "Apa sih, Icin? Kok tiba-tiba ngomongin dia?"
"Ya ampun, gua kan cuma nanya. Tapi lihat tuh, pipimu merah. Udah, ayo cerita, Sher!" godanya.
Aku berusaha menyangkal, tapi akhirnya menyerah. "Ya... dia memang sosok yang menarik. Tapi mungkin gua cuma kagum, bukan lebih dari itu."
Cindy menyipitkan matanya, tidak percaya. "Kagum doang? Yakin?"
Aku menghela napas. "Gua nggak tahu, Cin. Gua juga bingung sama perasaanku sendiri."
Ia tidak memaksaku, hanya tersenyum lembut. "Oke, gua nggak akan paksa lu cerita lebih. Tapi kalau suatu saat lu butuh teman curhat, gua ada di sini, ya."
Aku mengangguk, merasa lega bisa berbagi dengannya. Lalu, aku ingat sesuatu dan mengeluarkan ponselku. "Oh ya, gua sempat tahu kalau bos gua itu ternyata punya diagnosa tumor hati jinak. Ini gua ada fotonya."
Cindy langsung serius. "Tumor hati? Kok lu bisa tahu?"
Aku menjelaskan bagaimana aku melihat laporan medisnya. Cindy mengamati foto itu dengan teliti, lalu mengeluarkan ponselnya. "Sepupu gua kan dokter spesialis. Gua coba tanya, ya?"
Cindy menatap layar ponselnya sambil sesekali mengetik. "Oke, ini dia. Sepupu gua udah jawab. Gua tanyain langsung soal Hepatic Adenoma sama hasil labor dan MRI-nya."
"Apa katanya?" tanyaku, penasaran, sambil memajukan tubuh sedikit.
Dia membaca pesan dengan pelan. "Dia bilang, Hepatic Adenoma itu tumor jinak yang biasanya ada di hati. Kalau ukurannya di segmen IV-B, itu artinya posisinya di tengah hati. Terus, hasil lab dan MRI memang bisa kasih informasi tingkat keparahan, kayak ukuran tumor, ada enggak komplikasi lain, atau risiko pecah."
"Jadi, kalau di hasil MRI-nya ditulis ukuran segmen IV-B itu, artinya dia udah cukup gede, ya?" Aku mencoba mencerna penjelasan itu sambil membayangkan kondisi pak Ariel.
"Iya." Cindy mengangguk. "Sepupu gua bilang kalau ukuran lebih dari 5 cm, itu udah risiko tinggi buat pecah, apalagi kalau pasiennya banyak aktivitas atau sering stres. Dia nanya juga, Bos lu suka ngeluh sakit di bagian kanan atas perut enggak?"
Aku teringat dua hari terakhir. "Gua enggak yakin dia bakal ngeluh, sih. Dia kelihatan nahan sakitnya. Tapi gua perhatiin dia sering banget kayak lemas tiba-tiba, terus wajahnya pucat."
Cindy menghela napas panjang sambil menatapku serius. "Sepupu gua bilang ciri-cirinya emang kayak gitu. Lemas, mual, kadang-kadang bisa sampai demam kalau ada komplikasi kayak infeksi. Pak Ariel yang lu ceritain ini mirip banget sama deskripsi dia."
Aku merasakan dadaku mencengkeram. "Lu tanya, dia ada saran enggak buat pasien kayak gini?" tanyaku, cemas.
Cindy mengetik cepat di ponselnya. "Gua tanyain dulu, tunggu bentar."
Keheningan mengisi ruang, hanya terdengar suara napasku yang terasa berat. Aku mencoba menenangkan diri, meskipun pikiranku sudah melayang jauh membayangkan berbagai kemungkinan buruk. Beberapa saat kemudian, Cindy menerima balasan.
"Oke," katanya. "Dia bilang pasien Hepatic Adenoma yang ukurannya segitu harus banget dijaga dari aktivitas berat atau stres berlebihan. Kalau udah ada gejala kayak sakit hebat, pucat banget, atau pingsan, itu harus dibawa ke rumah sakit, karena bisa jadi tumornya udah ada risiko pecah."
Aku menatap Cindy dengan panik. "Jadi bahaya banget, ya?"
"Iya," jawabnya sambil menatapku serius. "Dan satu lagi, sepupu gua bilang, kalau ukurannya udah besar, biasanya dokter bakal rekomendasiin reseksi parsial, operasi buat ngangkat bagian hati yang kena. Itu langkah pencegahan supaya enggak ada komplikasi lebih parah."
Aku menggigit bibir, pikiranku kalut. "Reseksi parsial… berarti operasi besar, ya?"
Cindy mengangguk. "Iya, tapi dia bilang kalau dilakukan sama dokter ahli, risiko operasinya relatif rendah, apalagi kalau pasiennya punya kondisi fisik yang cukup baik sebelum operasi."
Aku menghela napas panjang. "Aku harus ngapain, Cin? Aku enggak bisa bayangin kalau sesuatu terjadi sama dia."
Cindy tersenyum lembut dan menyentuh bahuku. "Santai dulu, Sher. Lu enggak bisa nolong dia kalau lu terlalu panik. Coba aja kasih perhatian lebih, tapi jangan sampai dia ngerasa lu terlalu ikut campur. Mungkin pelan-pelan lu bisa ajak dia ngomong lebih terbuka soal ini."
Aku mengangguk, mencoba tenang. "Lu bener. Gua bakal coba, Cin. Makasih, ya."
Cindy menepuk bahuku pelan. "Lu kuat, Sher. Kalau ada apa-apa, kabarin gua. Siapa tahu sepupu gua bisa bantu lebih jauh."
***
Malam itu, setelah makan malam bersama ibu, aku kembali ke kamarku. Tubuhku sudah mulai terasa lelah setelah seharian beraktivitas, tapi pikiranku terusik oleh sesuatu. Chat dari Dwi—yang sudah sejak kemarin aku tunggu.
Aku membuka ponsel dan mendapati notifikasi baru. Akhirnya, pesan darinya. Aku langsung membuka dan membaca isi chat itu.
Dwi: Maaf ya, aku baru balas. Kemarin aku sengaja nggak balas chat kamu karena aku pengen tahu, kamu bakal kangen aku nggak.
Aku membaca pesannya dengan dahi mengernyit. Apa-apaan ini? Jadi, dia sengaja membuatku khawatir? Aku langsung mengetik balasan.
Sherly: Sungguh, Dwi? Kamu serius ngomong kayak gitu? Jadi kamu sengaja nggak balas chat aku cuma biar aku kangen? Kamu keterlaluan.
Aku menekan tombol kirim dengan sedikit gemas. Rasanya kesal sekali membaca balasan seperti itu. Dan aku belum selesai.
Sherly: Aku khawatir sama kamu, Dwi. Aku takut ada sesuatu yang terjadi sama kamu. Tapi kamu malah santai bilang begitu. Itu nggak adil! Kenapa aku harus khawatir sementara kamu nggak peduli sama sekali?
Setelah mengirim pesan itu, aku menunggu dengan napas sedikit memburu. Kekesalanku semakin memuncak. Tapi bukannya minta maaf, dia malah membalas dengan santai.
Dwi: Hahaha, kamu lagi lucu banget, Sher. Aku nggak tahan pengen ketawa baca kamu marah-marah gini.
Aku mengetuk layar ponsel dengan gemas. Rasanya aku mau melempar ponsel itu ke dinding. Tapi aku berusaha menahan diri.
Sherly: Lucu? Kamu pikir ini lucu?
Dwi: Ngomong-ngomong, dua hari ini kamu sibuk apa aja? Perjalanan sama bos kamu gimana?
Aku membaca pesannya dengan gemas. Kenapa dia terus bertanya soal bosku? Bukannya menceritakan soal dirinya sendiri.
Sherly: Kenapa sih kamu selalu penasaran sama bos aku? Kalau aku cerita, kamu mau ngapain? Nggak ada yang menarik kok. Aku cuma kerja seperti biasa.
Aku menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosiku. Lalu, aku mengetik pesan baru.
Sherly: Kamu tuh aneh banget, Dwi. Selalu nanya tentang aku sama bos aku, tapi nggak pernah cerita tentang diri kamu sendiri. Kamu bilang ada gadis yang kamu suka, kenapa nggak cerita ke aku? Atau jangan-jangan kamu malah nggak mau aku tahu?
Aku menekan tombol kirim dengan sedikit ragu. Ada perasaan aneh di dadaku. Apakah ini... cemburu?
Ponselku bergetar lagi, dan muncul pesan baru.
Dwi: Hahaha, ya udah, aku cuma pengen tahu aja. Jangan terlalu serius gitu, Sher. Santai aja.
Aku mendengus pelan. Santai aja, katanya. Aku meletakkan ponsel di sampingku. Mungkin aku butuh waktu untuk menenangkan diri sebelum kembali berbicara dengannya. Tapi jujur saja, aku tidak suka caranya menyikapiku yang selalu dibuat penasaran.
Dwi: Nggak ada apa-apa, Sher. Kamu mikir yang aneh-aneh aja.
Pesannya datar, seperti biasa. Aku menghela napas lagi. Rasanya percuma kalau aku terus menuntut jawaban darinya. Dia memang seperti itu, selalu menyembunyikan sesuatu dariku.
Aku mengirim balasan itu dengan sedikit emosi. Tapi anehnya, setelah mengetik, aku malah merasa ada yang aneh dengan caraku bereaksi. Apakah aku terlalu sensitif?