POV Sherly
Pagi itu, udara di luar masih terasa dingin meskipun matahari mulai menampakkan sinarnya. Aku baru saja selesai mandi dan bersiap-siap untuk sarapan di restoran penginapan, ketika tiba-tiba pintu penginapanku diketuk. Bara yang membuka pintu dan langsung berkata, "Om Ariel badannya demam, Tante."
Hati aku langsung berdegup kencang. Segera aku berlari keluar dari penginapan, menuju tempat Ariel berada. Aku sempat melihat Bara mengikutiku dengan raut khawatir, tapi aku tidak bisa menunggu lama. Ketika aku masuk ke dalam, Ariel sudah tampak duduk di kursi dengan wajah yang sedikit memerah, namun ia berusaha untuk tampak tenang. Namun, aku bisa melihat dengan jelas bahwa ia tampak sangat lesu, dan itu membuat hatiku terasa berat.
"Pak Ariel, Bapak kenapa? Badan Bapak panas, kenapa nggak bilang?" tanyaku dengan panik, langsung memegang tangan pak Ariel untuk memastikan suhu tubuhnya.
Aku merasa suhu tubuhnya benar-benar tinggi. "Pak Ariel, ini panas banget! Kenapa Bapak nggak bilang kalau Bapak sakit?" tanyaku lagi, suara aku sedikit naik karena khawatir.
Pak Ariel hanya terdiam, terlihat lelah, dan aku bisa merasakan dia berusaha untuk menahan semuanya sendiri. Aku tahu dia memang bukan orang yang suka bergantung pada orang lain, apalagi meminta bantuan. Aku langsung meminta dia untuk beristirahat dan berjanji akan membawakan sarapan untuknya. Tanpa menunggu jawaban darinya, aku berlari keluar dengan sigap.
Setelah selesai sarapan, hatiku masih dipenuhi kekhawatiran. Aku tahu kita harus segera kembali ke rumah, tetapi dengan kondisi Pak Ariel yang seperti ini, aku merasa tidak mungkin dia yang mengemudi. Aku berjalan ke arahnya dan dengan nada sedikit memaksa, aku berkata, "Pak Ariel, izinkan saya yang mengendarai mobil. Bapak harus istirahat, saya khawatir kalau Bapak terus memaksakan diri."
Pak Ariel menatapku dengan tatapan yang sulit kubaca, namun aku bisa melihat ada kelelahan di matanya. Setelah beberapa saat, dia mengangguk perlahan, seperti akhirnya menyerah dengan keadaan. Tanpa menghakimiku karena memaksakan diri untuk mengambil alih tanggung jawabnya, dia hanya tersenyum kecil dan berkata, "Baiklah, kamu yang mengemudi."
Aku merasa lega, meskipun perasaan khawatirku belum sepenuhnya hilang. Aku tahu pak Ariel tidak suka merasa tergantung pada orang lain, tapi aku hanya ingin dia segera merasa lebih baik. Dengan hati yang sedikit tenang, aku melangkah keluar untuk mengemudikan mobil, siap untuk membawa kami kembali.
***
Perjalanan pulang kami terasa sepi, hanya suara mesin mobil yang terdengar di sepanjang jalan. Aku mengemudi dengan hati-hati, fokus pada jalan, namun perasaan cemas tentang keadaan pak Ariel tak bisa kuhindari. Bara duduk diam di kursi belakang, tak banyak bersuara, tampak khawatir jika suaranya akan mengganggu pak Ariel yang sedang beristirahat di sampingku. Aku bisa melihat bahwa pak Ariel tampak sangat lelah, wajahnya sedikit memucat meskipun dia sudah mencoba untuk tidur dengan tenang.
Di sisi lain, Amira duduk di kursi belakang sebelah Bara, sibuk dengan ponselnya, mungkin sedang menjelaskan keadaan pak Ariel yang demam dan juga memberitahu bahwa aku yang mengendarai mobil. Aku mendengarnya berbicara dengan suara yang pelan, seolah tidak ingin mengganggu suasana, dan aku tersenyum sedikit, menghargai perhatian mereka pada Ariel.
Dua jam berlalu begitu cepat, dan aku merasa suasana semakin hening di dalam mobil. Pak Ariel, Bara, dan Amira sudah tertidur pulas. Hanya aku yang tetap terjaga, mengemudi dengan hati-hati dan perlahan-lahan. Pandanganku sesekali tertuju pada pak Ariel yang terlelap, tubuhnya tampak sedikit membungkuk karena kelelahan. Aku merasa sedikit khawatir karena dia tidak sepenuhnya beristirahat dengan nyaman.
Kemudian, aku melihat kacamata pak Ariel yang masih terpasang di wajahnya, meskipun jelas dia sedang tidur. Aku merasa sedikit khawatir kalau kacamata itu akan jatuh atau rusak saat dia bergerak di dalam tiduran. Aku menepikan mobil sejenak, mengendarainya perlahan ke tepi jalan dan memutuskan untuk melepas kacamata pak Ariel. Dengan hati-hati, aku melepaskannya dan memeriksa kacamata itu. Aku tahu seberapa pentingnya itu bagi pak Ariel, jadi aku memastikan untuk menanganinya dengan sangat hati-hati.
Namun, aku sempat bingung harus menyimpannya di mana. Aku memandang sekeliling sejenak, dan akhirnya memutuskan untuk menyimpannya di saku dada sweaterku, karena itu satu-satunya tempat yang paling aman saat itu. Aku menatap kacamata pak Ariel yang sekarang ada di saku sweaterku, merasakan sedikit kehangatan dari benda itu, seolah ada keterikatan yang lebih dalam meskipun tak terucap. Setelah itu, aku melanjutkan perjalanan dengan lebih tenang, meskipun perasaan khawatirku terhadap pak Ariel masih tetap ada.
***
Kami berhenti di rest area setelah beberapa jam perjalanan. Pak Ariel dan Bara masih tertidur pulas di dalam mobil, sementara Amira terlihat sedikit terjaga. Aku memutuskan untuk turun dari mobil sejenak untuk melepas lelah dan membeli minuman, dan Amira mengikuti langkahku tanpa banyak berkata-kata.
Kami duduk di bangku panjang yang terletak di dekat gerai minuman, menikmati udara sejuk yang mengalir. Meskipun tubuhku lelah, pikiranku masih dipenuhi kekhawatiran tentang pak Ariel. Aku memutuskan untuk memberanikan diri dan bertanya kepada Amira tentang keadaan pak Ariel, berharap bisa mendapatkan sedikit informasi lebih dari apa yang terlihat.
"Amira, kamu tahu kan kalau Om Ariel demam...?" Aku memulai dengan hati-hati.
Amira menoleh padaku dengan wajah yang sedikit terkejut, seolah tidak siap untuk pertanyaan itu. Sekejap ia terlihat ragu, matanya berpindah-pindah seolah mencari-cari kata yang tepat, lalu akhirnya ia menjawab dengan santai, "Om Ariel baik-baik saja kok, Tante. Nggak ada apa-apa."
Aku bisa merasakan ada yang tidak beres dengan jawaban Amira. Meskipun suaranya terdengar yakin, ada sedikit ketegangan di wajahnya yang tidak bisa ia sembunyikan. Matanya terlihat menghindar sejenak sebelum kembali menatapku. Sebagai orang yang cukup peka, aku menangkap kebohongan itu, meskipun Amira berusaha keras untuk terlihat tenang. Namun, aku memilih untuk tidak menekannya lebih lanjut. Biarlah, pikirku. Mungkin ada alasan kenapa Amira bersikap seperti itu, tapi aku tidak ingin membuatnya merasa terpojok.
Aku membiarkan suasana hening sejenak, sambil menyesap minumanku, dan kemudian melanjutkan pembicaraan. "Amira, bisa kasih Tante alamat rumah Om Ariel? Supaya kita tidak nyasar nanti ke sana," tanyaku, berusaha terdengar casual meskipun di dalam hati aku masih penasaran.
Amira terdiam sejenak, lalu mengeluarkan ponselnya dan mengirimkan sebuah peta dengan alamat rumah pak Ariel. "Ini, Tante. Semoga nggak susah nyarinya," katanya sambil tersenyum.
Aku mengangguk sambil menerima map yang dikirimkannya, mencoba untuk tidak terlalu mendalami perasaan yang membuncah di dalam hati. Setelah itu, kami kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan, aku tetap berpikir tentang percakapan tadi, merasa ada sesuatu yang Amira sembunyikan, namun aku tidak ingin memaksanya untuk mengungkapkan lebih dari yang dia siap untuk bagikan.
***
Jam sudah menunjukkan pukul 12 siang lewat ketika akhirnya aku sampai di rumah Ariel. Gerbang perumahan elit ini tinggi dan elegan, memberikan kesan megah dan tenang di waktu yang sama. Setelah gerbang otomatis terbuka, aku melihat beberapa orang sudah berdiri menunggu di depan rumah.
Seorang pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih—itu Pak Hasyim, berdiri dengan tangan terlipat di depan tubuhnya. Di sebelahnya, seorang wanita dengan wajah lembut yang terlihat seperti bule memakai hijab menyambut dengan sorot mata cemas. Aku langsung tahu bahwa itu pasti Mama pak Ariel. Berdiri di sampingnya, seorang wanita lain yang lebih muda dengan raut wajah sangat mirip pak Ariel—kulit cerah, mata tajam, tapi dengan kelembutan khas perempuan—juga mengenakan hijab, menatap kami dengan perhatian penuh.
Mobil berhenti perlahan di depan mereka. Begitu aku mematikan mesin, semua orang bergegas menghampiri.
Pak Ariel, yang masih terlihat lemah namun berusaha tetap tegar, membuka pintu mobil dengan sedikit kesulitan. Mama pak Ariel segera mendekatinya, ekspresinya penuh kekhawatiran. Ia berbicara dengan suara lembut namun cepat dalam bahasa yang tidak kumengerti—aku hanya bisa menebak itu adalah bahasa Jerman. Suara wanita itu terdengar seperti seorang ibu yang sangat mencemaskan putranya.
Kakak pak Ariel juga ikut mendekat, menyusul dengan kalimat-kalimat yang juga dilontarkan dalam bahasa Jerman. Wajahnya mencerminkan kekhawatiran yang sama seperti ibunya, namun ia tetap terlihat tenang. Pak Ariel hanya menjawab singkat dalam bahasa yang sama, nadanya terdengar seperti berusaha menenangkan mereka.
Aku berdiri di dekat pintu mobil, merasa agak terasing karena tidak memahami percakapan mereka. Hanya intonasi mereka yang menjadi petunjuk bagiku. Terdengar seperti percakapan serius, namun tidak ada tanda-tanda panik berlebihan.
Aku melirik ke arah Amira, yang berdiri tidak jauh dariku sambil menunduk sedikit. Sepertinya ia sudah memberi tahu mereka tentang kondisi pak Ariel, sehingga kedatangan kami disambut dengan perhatian penuh seperti ini. Sementara itu, Bara tetap berada di dalam mobil, mungkin masih terlalu lelah untuk turun atau enggan menghadapi situasi yang serius ini.
Aku menunggu dengan sabar, membiarkan mereka menyelesaikan percakapan dalam bahasa yang asing bagiku. Meski tidak mengerti, aku bisa merasakan kehangatan dan kedekatan keluarga pak Ariel, bahkan dalam kecemasan mereka. Ada rasa lega di hatiku mengetahui bahwa pak Ariel dikelilingi oleh orang-orang yang begitu peduli padanya.
Setelah memastikan kondisi pak Ariel, perhatian Mama pak Ariel beralih kepadaku. Dengan senyumnya yang lembut namun penuh kekhawatiran, ia bertanya, "Sherly, kamu baik-baik saja? Tidak capek sekali, kan? Aduh, kamu itu sudah membantu banyak sekali, ya. Terima kasih, Nak."
Bahasa Indonesia yang digunakannya terdengar sedikit berbeda, dengan aksen khas bule yang menciptakan kesan unik tapi hangat. Aku sempat terpaku sejenak, merasa seperti diperlakukan sebagai bagian dari keluarga mereka.
Kakak perempuan pak Ariel, yang belum sempat kutahu namanya, ikut menimpali dengan nada yang agak lebih tegas. "Ariel ini memang keras kepala, selalu begitu. Sudah kubilang bawa sopir saja kalau bepergian, tapi dia selalu bilang bisa sendiri!" Ia menatap pak Ariel dengan sorot penuh rasa kesal bercampur cemas, lalu menggeleng sambil menghela napas panjang. Meski nada bicaranya tegas, jelas sekali bahwa ia sangat peduli.
Pak Ariel, yang masih terlihat lemah, hanya menunduk sedikit dan memberikan senyum tipis tanpa membalas ucapan kakaknya. Sementara itu, Pak Hasyim dengan sigap berjalan ke arah rumah, lalu berbicara dengan seseorang. Beberapa menit kemudian, ia kembali dan berkata padaku dengan sopan namun tegas, "Sherly, saya sudah minta Pak Agus untuk siap-siap. Beliau akan mengantar kamu pulang."
Aku langsung merasa segan dan mencoba menolak dengan halus, "Wah, tidak perlu repot-repot, Pak Hasyim. Saya bisa pulang sendiri kok." Namun, Pak Hasyim hanya tersenyum dan berkata, "Jangan begitu, Sherly. Kamu sudah banyak membantu hari ini. Lagipula, ini memang tugas Pak Agus. Biarkan beliau mengantar."
Melihat kesungguhan Pak Hasyim, aku akhirnya menyerah dan mengangguk kecil. "Baiklah, kalau begitu, terima kasih banyak, Pak Hasyim."
Saat aku bersiap untuk pamit, pak Ariel mendekat. Meski wajahnya masih tampak lesu, matanya memancarkan ketulusan yang sulit kugambarkan. Dengan suara rendah namun penuh makna, ia berkata, "Sherly, terima kasih banyak untuk hari ini. Saya... saya nggak tahu apa jadinya tanpa kamu. Hati-hati di jalan, ya."
Kalimat itu sederhana, tapi cara pak Ariel mengucapkannya terasa begitu dalam. Aku merasakan sesuatu di dalam diriku—seperti kehangatan yang tiba-tiba menjalar dan membuat hatiku bergetar. Aku hanya bisa tersenyum kecil dan mengangguk pelan, menahan rasa haru yang mulai menyeruak.
Tak lama kemudian, Pak Agus datang dengan mobil siap untuk mengantarku pulang. Aku berpamitan kepada semuanya, termasuk Mama pak Ariel dan kakak perempuannya, yang lagi-lagi menyampaikan terima kasih dengan tulus. Dalam perjalanan pulang, aku merenung, memikirkan hari panjang yang baru saja kulalui. Di tengah kelelahan, ada sesuatu yang tertinggal—sebuah rasa yang hangat, dan itu semua karena pak Ariel.