Wisata Alam - Makan Malam

POV Sherly

Setelah selesai sholat maghrib, aku dan Pak Ariel berjalan bersama menuju restoran di area wisata. Langit mulai gelap, dan lampu-lampu hias yang digantung di antara pepohonan pinus memberikan suasana hangat nan menenangkan. Restoran yang akan menjadi tempat pertemuan itu terletak di tengah area, dengan konsep terbuka dan pemandangan langsung ke hamparan hutan pinus yang tampak memukau meski malam telah datang.

Aku melirik Pak Ariel yang berjalan di sampingku. Meski mengenakan pakaian hangat yang santai, ia terlihat sedikit pucat. Dia memakai sweater abu-abu gelap dan celana jeans, sementara aku mengenakan jaket rajut krem di atas kaus sederhana serta celana panjang hitam. Kami tampak serasi, meski tanpa sengaja.

Ketika tiba di restoran, calon klien kami sudah menunggu di salah satu meja besar yang dihiasi lilin dan bunga-bunga kecil sebagai centerpiece. "Oh, kalian serasi sekali malam ini. Pasangan yang sangat cocok," kata salah satu dari mereka sambil tersenyum menggoda. Aku dan Pak Ariel hanya saling melirik sekilas, lalu tertawa sopan tanpa memberikan komentar lebih.

Pertemuan dimulai dengan percakapan ringan yang santai. Aroma makanan yang disajikan mulai menyebar, dan aku sempat mencatat dalam hati bahwa suasana restoran ini benar-benar mendukung acara semacam ini. Percakapan mengalir, membahas peluang kerja sama dan potensi proyek baru di masa depan. Pak Ariel dengan piawai memimpin diskusi, membangun kepercayaan klien dengan pengalamannya yang luas dan wawasan yang mendalam.

Namun, menjelang akhir pertemuan, aku mulai menyadari sesuatu yang salah. Pak Ariel beberapa kali terdiam lebih lama dari biasanya sebelum merespons. Ia mulai kehilangan fokus, matanya tampak sedikit berat, dan senyumnya terlihat lelah.

Tanpa menunggu lebih lama, aku mengambil alih percakapan dengan tenang. "Seperti yang Pak Ariel sampaikan tadi, tim kami telah menyiapkan beberapa opsi solusi untuk kebutuhan Anda. Jika Anda berkenan, kami bisa membahasnya lebih detail pada pertemuan berikutnya, atau kami bisa mengirimkan dokumen rincian melalui email."

Calon klien itu tampak terkesan dengan caraku melanjutkan pembicaraan. Mereka tersenyum, memberikan persetujuan, dan bahkan memuji profesionalisme kami. Aku melirik Pak Ariel, memastikan ia baik-baik saja, dan ia membalasnya dengan anggukan kecil, seolah ingin mengatakan, terima kasih.

Saat akhirnya pertemuan berakhir, aku merasakan lega yang luar biasa. Klien kami pergi dengan kesan baik, dan aku merasa berhasil membantu menjaga semuanya tetap terkendali.

Pak Ariel duduk sejenak, memijat pelipisnya pelan. "Sherly, terima kasih sudah membantu saya tadi. Kamu benar-benar bisa diandalkan."

Aku tersenyum kecil. "Tidak apa-apa, Pak. Saya hanya melakukan apa yang perlu dilakukan."

Dia tersenyum tipis, meski kelelahan jelas masih tergambar di wajahnya. "Kamu tidak hanya melakukan itu. Kamu menyelamatkan saya, lagi."

Kami berjalan kembali ke penginapan dalam hening, dengan angin malam yang menyapu lembut, membawa rasa syukur atas kerja sama yang terjalin baik di antara kami.

***

Malam semakin larut saat aku dan Pak Ariel berjalan kembali ke penginapan. Dua kotak makan malam hangat berada di tangan kami, aroma lezatnya menyebar di udara dingin. Kami berbagi senyuman kecil, meski tak banyak kata yang diucapkan sepanjang perjalanan kembali. Rasa lelah tampak jelas di wajahnya, namun ia tetap memastikan langkahnya mantap.

Ketika kami tiba di penginapan, suara tawa kecil Bara dan Amira terdengar dari dalam. Aku membuka pintu dengan perlahan, dan mendapati mereka berdua sedang menonton video di ponsel. "Kalian belum tidur?" tanyaku sambil tersenyum, meletakkan kotak makanan di meja kecil.

"Sudah makan malam, belum?" Pak Ariel menimpali.

Bara segera menunjuk piring-piring kosong di dapur kecil yang sebelumnya kugunakan untuk menyiapkan makan malam. "Kami sudah makan, Tante Sherly masakannya enak banget," ujarnya riang.

Amira, yang duduk di sisi Bara, menambahkan, "Tapi ini apa? Makanan dari restoran ya?" Ia langsung mendekat, membuka salah satu kotak makan dengan rasa penasaran.

Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk kembali tergoda. Bara dan Amira memutuskan untuk makan lagi, meski porsi sebelumnya sudah cukup banyak. Kami hanya tertawa kecil melihat semangat mereka, sementara aku dan Pak Ariel duduk di kursi, memandang mereka menyantap makanan dengan lahap.

Setelah Bara dan Amira selesai, suasana malam itu berubah lebih tenang. Bara dan Amira berpamitan untuk tidur, menuju penginapan masing-masing. Aku membawa Amira ke kamar kami di penginapan kedua, memastikan dia merasa nyaman sebelum beranjak ke tempat tidurku sendiri.

Namun, meski tubuhku sudah terbaring, pikiranku tetap terjaga. Bayangan peristiwa sepanjang hari ini melintas di benakku. Dari perjalanan panjang yang melelahkan, kekhawatiranku melihat kondisi Pak Ariel, hingga momen-momen kecil namun bermakna seperti makan siang bersama dan pertemuan tadi malam.

Aku memikirkan bagaimana aku dan Pak Ariel tampak begitu sinkron, meski tanpa direncanakan. Caranya memimpin pertemuan, meskipun jelas ia sedang berjuang melawan kelelahan, membuatku merasa ingin terus mendukungnya. Di sisi lain, ada rasa hangat saat ia mempercayaiku untuk mengambil alih pembicaraan.

Namun, rasa khawatir juga masih menyelimuti. Bagaimana jika kondisi Pak Ariel memburuk? Apakah aku cukup melakukan bagian tugasku untuk membantunya?

Di tengah kekacauan pikiranku, satu hal yang terasa nyata adalah perasaan tidak percaya bahwa aku ada di sini, menghabiskan waktu seperti ini bersama seseorang yang sebelumnya hanya kukenal sebagai atasan. Hubungan yang biasanya begitu profesional tiba-tiba terasa lebih personal hari ini.

Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikiranku. "Sudah cukup untuk hari ini, Sherly," gumamku pada diri sendiri, meski hatiku masih terasa penuh. Malam yang dingin ini membawa begitu banyak emosi, yang entah bagaimana terasa seperti mimpi.

Aku mengeluarkan ponsel dari tas dan membuka layar, berharap ada beberapa pesan masuk. Namun, yang pertama kali aku lihat adalah chat dari Dwi yang belum juga dibalas sejak pagi tadi. Aku merasa sedikit heran. Biasanya, dia tidak akan begitu lama membalas pesan, apalagi jika aku sudah mengirimkan sesuatu. Tanpa berpikir panjang, aku mengetikkan pesan baru: "Kamu terlalu sibuk hari ini? Sampai tidak sempat membalas chatku." Aku mengirimkannya dengan sedikit rasa penasaran.

Tiba-tiba, sebuah notifikasi muncul, dan ternyata itu adalah chat dari Cindy. Aku segera membukanya. Cindy memberi kabar bahwa dia akan pulang besok karena pra-penelitiannya sudah selesai. Aku membalas dengan semangat, merasa senang mendengar bahwa Cindy sudah menyelesaikan tahap pertama dari penelitiannya. Aku ceritakan sedikit tentang perjalananku ke sini, memberi tahu kalau aku sedang berada di tempat wisata alam bersama pak Ariel dan keponakannya. Cindy langsung membalas dengan antusias, bertanya-tanya tentang suasana di sini dan bagaimana perasaanku.

Kami pun saling bertukar pesan, mengobrol ringan, hingga aku mulai merasa lelah. Semakin lama, mataku semakin berat, dan aku tak sadar sudah begitu larut malam. Aku meletakkan ponsel di samping bantal, merasa perasaan dan pikiranku mulai terkendali.

Namun, perasaan itu masih belum hilang sepenuhnya. Meskipun aku sudah merasa nyaman dengan segala yang terjadi hari ini, aku tetap bertanya-tanya mengapa Dwi belum membalas pesanku. Tapi, aku tahu kalau saat ini bukan waktu yang tepat untuk terlalu banyak berpikir.

Akhirnya, aku menutup mataku, berusaha tidur, meski hatiku sedikit penuh dengan rasa ingin tahu.

***