Wisata Alam - Makan Siang

POV Sherly

Setelah puas menjelajahi hutan pinus, aku mengajak Bara dan Amira kembali ke penginapan. Jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Aku tahu kami perlu segera menunaikan sholat zuhur dan makan siang. Bara masih penuh energi, sedangkan Amira mulai terlihat lelah tapi tetap setia mengikuti langkahku.

Saat kami masuk ke penginapan, Pak Ariel masih terbaring di sofa. Napasnya terlihat lebih teratur, tapi wajahnya tetap memancarkan kelelahan yang tersisa. Aku berdiri canggung di dekat pintu, tak tahu harus bagaimana.

"Bara, bisa bangunin Om Ariel?" bisikku pelan, berharap dia bisa melakukannya dengan caranya yang ceria.

Tanpa ragu, Bara melangkah ke depan. Ia mendekati Pak Ariel dan menggoyangkan bahunya perlahan. "Om, bangun dong! Udah siang. Waktunya sholat!" serunya dengan suara polos yang membuatku tersenyum kecil.

Pak Ariel membuka matanya perlahan. Tatapannya masih sedikit berat, tapi ia bangkit dengan tenang. "Jam berapa sekarang?" tanyanya sambil merapikan posisi duduknya.

"Sudah jam satu, Pak," jawabku. "Kita sholat dulu sebelum makan siang."

Tak lama, kami semua berkumpul di ruang tengah penginapan untuk menunaikan sholat zuhur bersama. Aku terkejut ketika Pak Ariel mengambil tempat di depan, bersiap menjadi imam. Biasanya, di kantor, hampir seluruh karyawan yang beragama islam akan sholat berjemaah di mesjid perusahaan. Namun, kali ini terasa berbeda. Situasi ini terasa sangat intens bagiku.

Aku berdiri di belakang Pak Ariel, diapit oleh Amira dan Bara. Ketika ia mengangkat tangan untuk takbir, suasana mendadak sunyi, perlahan mengisi ruangan dengan ketenangan yang sulit dijelaskan. Aku menunduk, mencoba fokus, tapi hatiku seolah bergerak ke arah lain.

Ada sesuatu dalam kekhusyukan Pak Ariel itu. Tenang, pasti, dan penuh keyakinan. Untuk sesaat, bayangan melintas di pikiranku. Bukan bayangan tentang sekarang, tapi tentang masa depan—saat mungkin aku berdiri di belakangnya seperti ini, bukan sebagai seorang bawahan atau rekan kerja, tapi sebagai seseorang yang lebih dari itu.

"Astaga, Sherly. Apa yang kau pikirkan?" Aku buru-buru menepis pikiran itu, menegakkan kembali niatku untuk sholat. Namun, perasaan hangat itu sulit diabaikan sepenuhnya, meskipun aku berusaha sekuat tenaga untuk fokus.

Sholat selesai dengan salam, dan aku segera merapikan mukena, menyembunyikan kegelisahan di hatiku. Bara, langsung mengomentari bacaan sholatnya sendiri yang nyaris salah. Amira hanya mendengus, sementara Pak Ariel tersenyum tipis, menatap kami dengan pandangan lembut yang khas.

"Ayo, kita makan siang sekarang," katanya, mengalihkan perhatian kami.

Aku mengangguk pelan, mengikuti langkahnya menuju dapur kecil di penginapan. Pikiran tentang perasaan tadi mencoba mengusik, tapi aku menegaskan pada diri sendiri bahwa ini bukan waktunya untuk memikirkan hal yang tak perlu.

Dapur kecil di penginapan itu cukup sederhana, dengan kompor listrik dan peralatan masak yang tidak terlalu lengkap. Namun, itu sudah lebih dari cukup untukku menyiapkan makan siang yang cepat tapi sehat. Aku memutuskan untuk memasak telur orak-arik dengan campuran sayuran segar yang kutemukan di kantong belanjaan tadi pagi.

Saat sedang memecahkan telur ke mangkuk, Pak Ariel tiba-tiba muncul di ambang pintu dapur. Langkahnya masih tampak berat, tapi senyum tipisnya berusaha menyembunyikan lelah yang terlihat jelas di wajahnya.

"Perlu bantuan?" tawarnya sambil melirik sayuran yang sudah terpotong rapi di atas talenan.

Aku langsung menggeleng, mencoba mengusir niatnya. "Tidak perlu, Pak. Lebih baik Bapak kembali istirahat saja. Saya dan Amira sudah cukup menangani ini."

"Yakin?" tanyanya lagi, tapi suaranya lebih lemah kali ini.

Aku menatapnya dengan penuh pengertian. "Yakin, Pak. Tolong jangan memaksakan diri."

Pak Ariel akhirnya menyerah dan kembali ke ruang tengah, di mana Bara menunggunya sambil mengayunkan kakinya di tepi sofa. Aku melihat sekilas Bara yang langsung tersenyum lebar ketika Pak Ariel kembali duduk di dekatnya. Mereka terlihat akrab, seperti ayah dan anak.

Sementara itu, Amira dengan cekatan membantuku di dapur. Dia membantu mengaduk telur dan memastikan sayuran matang dengan baik. "Tante Sherly jago masak juga, ya," komentarnya sambil tersenyum kecil.

Aku tertawa pelan. "Ah, ini cuma masakan sederhana. Kalau lebih banyak waktu, mungkin aku bisa buat yang lebih enak."

Tak lama kemudian, makan siang pun siap. Kami membawa makanan ke meja kayu di luar penginapan. Meja itu terbuat dari kayu solid dengan kursi-kursi santai yang menghadap langsung ke pemandangan hutan pinus. Udara sejuk membuat suasana makan menjadi lebih nyaman.

Kami semua duduk mengelilingi meja, menikmati makanan sederhana ini dengan rasa syukur. Bara tampak paling bersemangat, mengisi piringnya dengan porsi besar telur orak-arik. Sementara Amira makan dengan tenang, seperti biasa.

Namun, suasana santai itu tiba-tiba berubah ketika Bara berceletuk tanpa filter, "Om Ariel sama Tante Sherly kayak Papa sama Mama di rumah. Kenapa nggak menikah aja?"

Aku tertegun, garpuku nyaris jatuh dari tangan. Wajahku terasa panas seketika. Pak Ariel juga tampak terkejut, tapi ia hanya terdiam sambil menatap Bara dengan ekspresi sulit ditebak.

"Shhh! Bara!" Amira buru-buru menutup mulut adiknya dengan satu tangan. "Makan aja, jangan asal ngomong!" tegurnya dengan nada setengah berbisik.

Bara hanya meringis, lalu kembali mengunyah makanannya dengan polos, seolah-olah tak sadar apa yang baru saja ia lontarkan.

Suasana menjadi sedikit kikuk setelah itu. Aku menunduk, pura-pura fokus pada makanan di piringku, sementara Pak Ariel melirikku sekilas sebelum kembali memandang ke arah lain. Aku berusaha keras untuk mengabaikan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di tengah keheningan yang canggung itu.

***

Kami duduk di bangku kayu panjang di dekat area bermain anak-anak, di bawah naungan pohon pinus yang tinggi. Bara dan Amira sibuk berlari-lari kecil, sesekali berhenti untuk mengambil foto dengan ponsel Amira. Aku dan Pak Ariel duduk berdekatan, namun tetap menjaga jarak yang sopan. Udara sejuk dan suara angin yang berdesir melalui dedaunan membuat suasana terasa begitu tenang.

"Bagaimana menurutmu tempat ini, Sherly?" tanya Pak Ariel tiba-tiba, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. Ia menoleh ke arahku, menunggu jawaban.

Aku tersenyum kecil, mencoba mengalihkan perhatianku dari anak-anak yang sedang bermain. "Tempat ini indah, Pak. Rasanya seperti dunia yang berbeda. Jauh dari hiruk pikuk kota."

Ia mengangguk pelan, seolah menyetujui. "Kadang, suasana seperti ini yang kita butuhkan untuk benar-benar merasa hidup," gumamnya. Setelah beberapa saat hening, ia melanjutkan, "Sherly, saya penasaran... bagaimana keluargamu? Seperti apa mereka?"

Aku menatap Bara dan Amira yang masih asyik menjelajahi sudut taman bermain kecil itu, sebelum akhirnya memutuskan menjawab pertanyaan Pak Ariel. "Keluarga saya baik, Pak. Kami dulu tinggal di daerah dekat pasar, Ayah punya toko kelontong kecil di sana. Saya punya seorang kakak laki-laki, tiga tahun lebih tua dariku. Dia dulu selalu menjaga saya... seperti pelindung kecil." Aku tersenyum samar, mengenang masa-masa itu.

Pak Ariel menatapku dengan perhatian penuh. "Lalu? Sepertinya ada sesuatu yang berat di situ," tanyanya, nada suaranya pelan namun tidak memaksa.

Aku mengangguk kecil, mengambil napas panjang. "Saat saya masih kecil, pernah ada kejadian besar. Kebakaran di pasar tempat toko Ayah berada. Siang itu... adalah siang yang mengubah segalanya." Aku menatap tanganku sendiri, mencoba menenangkan diriku sebelum melanjutkan.

"Saya, Ayah, Ibu, dan kakakku sedang berada di toko. Siang itu, suara gaduh mulai terdengar dari ujung pasar. Orang-orang berteriak kebakaran. Kami belum menyadari betapa seriusnya situasinya sampai asap tebal mulai memenuhi udara. Tapi situasinya jauh lebih buruk dari yang kami duga. Api menyebar begitu cepat, banyak orang panik. Kami terjebak di tengah pasar."

Aku berhenti sejenak, merasa tenggorokanku mengering. Pak Ariel tetap diam, memberiku ruang untuk melanjutkan.

"Ayah langsung meminta kami untuk keluar. Ibu dan Ayah sibuk mengamankan barang-barang penting, sementara kakak saya, yang selalu protektif, menggandeng saya erat dan meminta untuk tetap bersamanya. Tapi keadaan makin kacau. Api menjalar begitu cepat, dan orang-orang saling berebut menyelamatkan diri. "

"Kakak saya..." Aku tersenyum kecil, meski mataku mulai berkaca-kaca. "Dia mencoba menyelamatkan saya. Dia membawa saya naik ke tempat yang lebih tinggi, menjauh dari kobaran api. Tapi saat itu, reruntuhan bangunan tiba-tiba jatuh. Dia mendorong saya ke tempat aman, tapi dia sendiri tertimpa... Saya tidak sempat melakukan apa-apa. Saya hanya bisa berteriak."

Suaraku mulai bergetar. "Seseorang kemudian menarikku keluar dari tempat itu. Tapi saat saya dipaksa melewati pagar yang sudah rusak, ujungnya yang tajam merobek punggung saya. Saya merasa sakit yang luar biasa, tapi saya selamat. Kakak saya... dia tertinggal di sana."

Air mataku mulai mengalir, dan aku buru-buru menghapusnya dengan punggung tangan. "Ayah dan Ibu akhirnya ditemukan selamat, meski mereka terluka. Tapi kakak saya..." Aku menggelengkan kepala, tidak bisa menyelesaikan kalimat itu. "Dia tidak berhasil keluar."

Hening mengisi di antara kami. Aku merasakan perasaan berat di dadaku, tapi anehnya, ada juga rasa lega setelah mengungkapkan semuanya.

Pak Ariel menghela napas pelan, lalu menatapku dengan sorot mata yang sulit dijelaskan. "Sherly... saya tidak bisa membayangkan bagaimana beratnya itu untukmu," katanya lembut. "Tapi saya yakin, kakakmu akan bangga melihat seberapa jauh kamu telah melangkah. Kamu tetap tegar, meski harus membawa luka seperti itu."

Kata-katanya membuat hatiku sedikit lebih ringan. Aku menundukkan kepala, tersenyum kecil meski air mata masih menggenang di mataku. "Terima kasih, Pak."

Pak Ariel tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya duduk di sana, menemaniku dalam diam. Kehadirannya cukup untuk membuatku merasa tidak sendirian dalam menghadapi kenangan yang menyakitkan itu.

***