POV Sherly
Waktu berlalu dalam keheningan, hanya suara napas teratur Bara dan Amira yang terdengar. Aku melirik ke arah Pak Ariel, masih bersandar di kursi dengan mata terpejam. Aku tak ingin mengganggunya, meskipun rasa khawatir terus bergulir di dalam pikiranku.
Tiba-tiba, ia membuka matanya perlahan. "Sherly," panggilnya dengan suara serak tapi tenang. "Saya rasa kita perlu membeli beberapa barang."
Aku menoleh, sedikit bingung. "Membeli barang, Pak? Untuk apa?"
"Kita akan menginap malam ini di penginapan sana. Tempatnya terlalu bagus untuk hanya dikunjungi sebentar," jawabnya sambil meregangkan tubuhnya, mencoba terdengar santai. Sebuah tawa ringan keluar dari mulutnya, tapi aku tahu itu dibuat-buat.
Aku membeku sejenak. "Menginap?" ulangku, memastikan aku tidak salah dengar.
"Iya. Perjalanan ini lumayan melelahkan. Lagipula, kapan lagi kita bisa menikmati suasana seperti ini?" Ia tersenyum tipis, tapi aku bisa menangkap keletihan yang berusaha ia tutupi.
Kata-katanya membuatku sadar. Bukan karena keindahan penginapan, tapi karena kondisinya yang mungkin tidak memungkinkan untuk langsung kembali malam ini. "Baik, Pak," jawabku pelan, mencoba menyembunyikan rasa cemas yang kini semakin kuat.
Aku menoleh ke kursi belakang, tempat Bara dan Amira masih tertidur pulas. Dengan lembut aku mengguncang bahu Bara. "Bara, bangun, kita perlu belanja," bisikku.
Bara mengerang pelan, mengusap matanya dengan wajah mengantuk. "Belanja apa, Tante Sherly?" tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.
"Barang-barang untuk menginap," jawabku sambil tersenyum lembut. "Ayo, bangun ya."
Amira yang juga tergugah oleh suara kami mengangkat wajahnya dari sandaran kursi. "Menginap?" tanyanya dengan nada sedikit heran.
"Om yang memutuskan," kataku sambil melirik Pak Ariel, yang hanya mengangguk santai.
***
Kami akhirnya masuk ke toko serba ada di rest area. Bara yang sudah kembali ceria mulai sibuk menunjukkan barang-barang yang menurutnya menarik, sementara Amira berjalan dengan wajah malas tapi tetap sigap menjaga adiknya. Aku mengambil inisiatif memilihkan kebutuhan dasar untuk mereka—pakaian ganti, perlengkapan mandi, dan camilan.
"Pak Ariel, handuknya pilih warna apa?" tanyaku sambil menunjukkan beberapa pilihan.
"Yang mana saja. Aku serahkan pada kamu, Sherly," jawabnya santai sambil melihat-lihat rak lain.
Aku mengangguk, langsung mengambil yang terlihat nyaman. Dalam hati, aku merasa aneh dengan diriku sendiri—kenapa aku seperti terlalu bersemangat?
Saat aku sibuk memeriksa daftar belanjaan di tanganku, aku merasa ada seseorang memperhatikanku. Ketika aku menoleh, Pak Ariel sedang menatapku dengan senyum kecil di wajahnya.
"Ada yang salah, Pak?" tanyaku, bingung dengan tatapannya.
Dia menggeleng pelan, senyum itu masih ada. "Tidak ada. Kamu... terlihat sangat inisiatif, seperti sudah terbiasa mengurus hal-hal seperti ini."
Aku hanya tertawa kecil, mencoba menyembunyikan rasa malu. "Ini hanya kebiasaan, Pak. Lagipula, kita perlu memastikan semuanya siap, bukan?"
Pak Ariel tidak menjawab, tapi tatapannya masih melekat padaku. Ia terdiam sesaat, membiarkan pikirannya melayang.
***
Perjalanan keluar tol membawa kami ke jalan yang lebih kecil, dikelilingi deretan pohon pinus yang menjulang tinggi. Udara mulai terasa lebih dingin, meskipun matahari masih menggantung di langit pagi. Pemandangan hijau yang memanjakan mata terasa menenangkan, tetapi tidak cukup untuk mengalihkan perhatianku dari keadaan Pak Ariel.
Ia semakin tampak tidak fokus. Beberapa kali aku melihatnya melambatkan mobil tanpa alasan jelas, tangannya mencengkeram setir dengan erat, seolah itu satu-satunya cara untuk tetap terjaga.
"Pak Ariel," aku memberanikan diri memanggil. "Biar saya saja yang menyetir, ya? Bapak kelihatan sangat lelah."
Ia hanya menggeleng lemah tanpa menjawab, tatapannya tetap lurus ke depan. Wajahnya pucat, dan bibirnya sedikit kering. Dalam hatiku, aku ingin sekali bersikeras, tapi aku tahu ia tipe orang yang tidak akan menyerahkan tanggung jawab begitu saja.
Aku menghela napas dalam-dalam, memilih untuk tidak memaksa. "Kalau ada apa-apa, Pak, tolong beritahu saya, ya," ucapku lirih, berharap ia mau mendengarkan.
Beberapa menit yang terasa seperti jam akhirnya berlalu, dan kami sampai di tujuan. Hamparan hutan pinus dan udara segar menyambut kami. Ariel memarkir mobil dengan hati-hati sebelum akhirnya bersandar di kursi dengan napas yang berat.
"Biar saya urus booking-nya, Pak. Bapak istirahat dulu di sini," kataku cepat sebelum ia sempat membalas.
Tanpa menunggu jawaban, aku turun dari mobil dan berjalan cepat menuju bagian reservasi. Aku menyelesaikan semuanya dengan sigap, memastikan semua sudah terurus. Aku memilih dua penginapan yang berdekatan, satu untuk pak Ariel dan Bara dan satunya lagi untuku dan Amira.
Ketika aku kembali ke mobil, Bara dan Amira sudah terbangun, keduanya tampak bingung namun bersemangat begitu melihat sekeliling. Bara langsung menempelkan wajahnya ke kaca mobil. "Wow, Tante Sherly! Banyak pohon besar! Kita bisa main di sini, kan?" serunya dengan mata berbinar.
"Tentu, Bara. Tapi kita bereskan barang-barang dulu, ya," jawabku sambil tersenyum.
Pak Ariel perlahan keluar dari mobil, gerakannya lebih lambat dari biasanya. Aku bisa melihat betapa lelahnya ia, meskipun ia mencoba menyembunyikannya.
"Ini penginapan kita, Pak," kataku, menunjuk bangunan kayu sederhana namun nyaman yang dikelilingi pepohonan.
Ariel mengangguk singkat dan langsung masuk ke salah satu penginapan tanpa banyak bicara. Bara dan Amira, yang sudah tidak sabar, segera meminta izin untuk menjelajahi tempat itu.
"Om, kami mau jalan-jalan sebentar, boleh ya?" Amira meminta izin sambil menarik tangan Bara yang terlihat penuh antusiasme.
Pak Ariel hanya melambaikan tangannya lemah dari dalam penginapan. Aku menatapnya sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk mengikuti kedua keponakannya, memastikan mereka tidak terlalu jauh.
"Bara, Amira, kita jalan-jalan sebentar saja, ya," kataku sambil melirik penginapan di mana Pak Ariel sudah terlihat berbaring di sofa dengan mata terpejam.
Aku tahu ia membutuhkan waktu untuk beristirahat. Sementara itu, aku harus memastikan semuanya berjalan lancar tanpa ada hal yang semakin memperburuk kondisinya. Namun, bayangan Pak Ariel yang berusaha keras menyembunyikan kelemahannya masih terus menghantui pikiranku.
***
Hutan pinus itu seperti potongan kecil surga yang jatuh ke bumi. Pepohonan menjulang tinggi, seolah berlomba menggapai langit, membentuk kanopi alami yang memfilter sinar matahari menjadi pancaran lembut keemasan. Jalan setapak berlapis dedaunan kering terasa empuk di bawah langkah kaki, dengan aroma segar khas pohon pinus yang menyegarkan pikiran. Angin sepoi-sepoi berbisik lembut, memainkan dedaunan dan menciptakan irama alam yang menenangkan.
Di beberapa sudut, meja dan kursi kayu diletakkan di bawah pohon rindang, mengundang pengunjung untuk duduk dan menikmati suasana. Ada juga ayunan tali sederhana yang menggantung di dahan-dahan kuat, bergoyang pelan ketika disentuh angin. Di kejauhan, terdengar gemericik air dari sebuah sungai kecil yang mengalir tenang, memantulkan kilauan cahaya matahari di atas permukaannya.
Bara dan Amira berjalan di depanku, menikmati setiap detail tempat ini. Bara, dengan langkah kecil dan antusiasnya, sibuk memungut ranting dan daun kering yang menurutnya unik. Sesekali ia berlari kecil, tangannya terentang seolah ingin memeluk dunia.
"Lihat, Tante Sherly! Daun ini bentuknya lucu, kayak bintang!" katanya sambil menunjukkannya dengan wajah penuh kebahagiaan.
Amira, meskipun dengan gaya lebih tenang, juga tampak menikmati suasana. Ia berjalan sedikit lebih jauh, mengeluarkan ponselnya untuk mengambil foto-foto. Tatapan dinginnya pada Bara berubah lembut ketika adiknya memanggil, meminta bantuannya memotret dirinya dengan latar belakang pohon-pohon yang menjulang.
Aku tersenyum tipis, melihat mereka tampak begitu ceria di tempat ini. Namun, hatiku tidak sepenuhnya tenang. Bayangan Pak Ariel yang pucat dan lelah tadi masih terus mengganggu pikiranku.
"Semoga Pak Ariel benar-benar istirahat sekarang," gumamku dalam hati. Aku tidak bisa memungkiri rasa gundah yang terus menghantui. Keheningan yang indah di tempat ini membuatku semakin larut dalam pikiranku sendiri.
Aku berjalan pelan mengikuti Bara dan Amira, sesekali menatap langit biru yang terlihat di sela-sela dahan pinus. Aku mencoba menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara segar memenuhi dadaku. Di saat seperti ini, aku hanya bisa berdoa, memohon agar Pak Ariel segera pulih dari rasa lelahnya dan kembali menjadi sosok yang kuat seperti biasanya.
Di depan kami, sebuah gazebo kecil berdiri di atas tanah yang sedikit lebih tinggi, memberikan pemandangan keseluruhan hutan pinus yang memukau. Bara langsung berlari ke sana, berteriak riang, "Kak Amira, Tante Sherly! Cepat ke sini, pemandangannya keren banget!"
Aku menaiki anak tangga kayu itu dengan perlahan, bergabung dengan mereka. Dari sini, aku bisa melihat betapa luasnya hutan ini, dengan cahaya matahari siang yang berkilauan di sela-sela dedaunan. Sejenak, aku membiarkan diriku terhanyut dalam keindahan ini, mencoba melupakan kegelisahan di hati. Namun, di ujung pikiranku, aku tahu, aku tidak akan sepenuhnya tenang sampai memastikan Pak Ariel benar-benar baik-baik saja.
***