POV Sherly
Sudah hampir satu jam perjalanan, aku memperhatikan pemandangan di luar jendela yang berganti-ganti tanpa sempat kuhafal. Sesekali aku melirik ke arah Pak Ariel di sebelahku, hanya untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Dia memang terlihat biasa saja, tapi ada sesuatu di wajahnya yang membuatku berpikir. Apa dia lelah? tanyaku dalam hati.
Tidak, mungkin hanya perasaanku saja. Dia kan sudah terbiasa dengan perjalanan panjang seperti ini. Lagipula, kalau memang lelah, dia pasti bilang... kan?
Suasana di dalam mobil diisi oleh suara Bara yang tak henti-hentinya bicara. Anak itu benar-benar seperti punya energi tanpa batas. "Om Ariel, kita sudah sampai belum? Bara mau beli es krim!" ujarnya sambil menggoyang-goyangkan kakinya kecil yang belum mencapai lantai mobil.
"Bara, diam enggak sebentar bisa enggak, sih? Bising banget!" Amira memotong dengan nada setengah kesal, tapi aku tahu dia tidak benar-benar marah. Sikapnya memang selalu begitu, jutek tapi... ada sisi lembut yang muncul kalau Bara benar-benar butuh sesuatu.
"Tapi Bara haus, Kak Amira!" Bara memprotes dengan suara yang lebih keras, membuatku hampir tertawa kecil.
Pak Ariel akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar tenang meski aku bisa merasakan ia sedikit menahan diri. "Kita istirahat dulu sebentar, Bara. Sebentar lagi sampai di rest area."
Aku tidak tahu apakah Bara merasa puas dengan jawaban itu, tapi anak itu segera beralih menempelkan wajahnya ke jendela, seolah mengukur seberapa jauh lagi perjalanan ini akan berakhir.
Ketika kami akhirnya sampai di rest area, aku memperhatikan Pak Ariel yang memarkir mobil dengan gerakan yang tampak hati-hati. Begitu mesin dimatikan, aku melepas sabuk pengaman dan mencuri pandang ke wajahnya. Ia terlihat baik-baik saja, tapi entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang sedikit berbeda.
"Om Ariel, Bara mau es krim!" Bara berteriak begitu pintu mobil dibuka, langsung melompat keluar sambil menyeret Amira yang mendengus tapi tetap mengekor adiknya.
Pak Ariel hanya mengangguk sambil melirik mereka sesaat. Tapi aku menangkap ia menarik napas panjang sebelum keluar dari mobil.
Aku ingin menanyakan sesuatu, tapi menahannya. Mungkin aku hanya terlalu berpikir berlebihan. Dia baik-baik saja... kan? pikirku, meski hati kecilku tidak sepenuhnya yakin.
Aku turun setelahnya, berjalan pelan di belakangnya sambil terus mengamati tanpa terlalu terlihat. Mungkin, aku harus memastikan ia benar-benar istirahat sebentar di sini. Tapi untuk sekarang, aku memilih diam dan mengawasi dari jauh.
Ponsel Amira berdering, memecah keheningan yang baru saja terbentuk setelah kami keluar dari mini market. Aku duduk di salah satu bangku dekat kedai kopi, mengawasi Bara yang sibuk dengan menikmati es krimnya sementara Amira menjauh untuk menerima panggilan. Meski pelan, suara Amira cukup terdengar.
"Iya, Ma, kita baik-baik saja. Om Ariel juga aman, kok. Nggak usah khawatir," katanya, terdengar sedikit ragu.
Nama "Pak Ariel" yang disebut-sebut membuatku menoleh. Ada nada cemas dari suara di seberang sana yang sulit diabaikan. Percakapan singkat itu terus terngiang di pikiranku. Tumor jinak hati Pak Ariel tiba-tiba saja kembali terlintas. Apa ini ada hubungannya?
Amira kembali dengan raut wajah biasa, seperti tak ada yang terjadi. Aku tak ingin bertanya langsung, tapi hatiku mulai tak tenang.
***
Perjalanan kami berlanjut. Bara yang sejak tadi sibuk sendiri kini mulai gelisah. "Kak Amira, pinjam HP-nya dong, mau main game," pintanya sambil menarik-narik lengan kakaknya.
Amira mendesah panjang, wajahnya masam. "Nggak boleh, Bara. Mama bilang nggak boleh main game kecuali malam, satu jam sebelum tidur."
Bara memonyongkan bibirnya, lalu merajuk sambil menyandarkan kepala ke jendela mobil. "Huh, kakak pelit!" omelnya. Tapi tak lama kemudian, mungkin karena lelah, dia benar-benar tertidur dengan wajah damai.
Aku tersenyum kecil melihat tingkah Bara. Tapi senyum itu tak bertahan lama. Mataku kembali tertuju pada Pak Ariel. Wajahnya terlihat semakin pucat. Ada semburat kelelahan yang tak bisa ia sembunyikan meski berusaha bersikap biasa saja.
Mobil melaju pelan, dan satu jam kemudian Pak Ariel kembali memutuskan untuk berhenti di rest area. Kali ini, langkahnya tampak lebih berat saat keluar dari mobil.
Aku mengikutinya dari belakang, berusaha mengumpulkan keberanian. Di dekat mobil, akhirnya aku memanggilnya. "Pak Ariel, maaf kalau saya lancang, tapi… Bapak benar-benar baik-baik saja?"
Ia menoleh, tersenyum tipis. Tapi senyum itu tidak meyakinkan. "Saya baik-baik saja, Sherly. Jangan terlalu khawatir," jawabnya dengan nada yang terlalu ringan, seolah ingin menenangkan.
Aku tak ingin memaksa, jadi aku hanya mengangguk. Tapi dalam hati, aku tahu ada sesuatu yang salah. Rasa tidak nyaman ini terus tumbuh, seperti awan gelap yang semakin pekat di kejauhan.
***
Waktu telah menunjukkan pukul 10 pagi ketika mobil kembali bergerak meninggalkan rest area. Bara dan Amira sudah terlelap, suara nafas halus mereka memenuhi keheningan. Hanya aku dan Pak Ariel yang masih terbangun. Aku mencuri pandang ke arahnya. Wajahnya semakin terlihat pucat, sorot matanya tampak lelah. Aku menggigit bibir, menahan dorongan untuk bertanya lebih jauh.
Perjalanan kembali berlanjut, tapi setelah satu jam, mobil kembali melambat dan berhenti di rest area untuk ketiga kalinya. Aku menatap Pak Ariel dengan hati yang mulai tak tenang. "Pak Ariel, apa Anda baik-baik saja?" tanyaku pelan, mencoba tidak memancing reaksi defensif.
Pak Ariel hanya tersenyum tipis. "Saya mau ke toilet sebentar," katanya sambil membuka pintu. Namun, alih-alih segera keluar, dia hanya duduk diam sejenak, seperti mengumpulkan energi.
Aku mengamati setiap gerak-geriknya. Dia terlihat semakin lemah... kenapa dia tak mau mengatakannya? Setelah beberapa menit, akhirnya dia keluar dari mobil. Langkahnya terlihat goyah saat berjalan menuju toilet. Hatiku mencelos. Tanpa berpikir panjang, aku membuka pintu dan mengikutinya.
"Pak Ariel," panggilku pelan, berusaha menyamarkan kekhawatiran di suaraku. Dia menoleh, ekspresi terkejut sesaat terlihat di wajahnya.
"Sherly, tunggu di mobil saja. Saya tidak apa-apa." Suaranya terdengar tegas, tapi aku menangkap ada kelembutan di balik itu, seperti permintaan agar aku tidak memperumit keadaannya.
Aku mengangguk, meskipun rasa khawatir terus menggantung di dadaku. Dengan berat hati, aku kembali ke mobil dan menutup pintu perlahan.
Saat aku duduk, tiba-tiba terdengar suara dering ponsel dari kursi belakang. Ponsel Amira. Namun, Amira tampak terlalu mengantuk untuk merespons. Bara pun masih terlelap. Aku ragu sejenak, tapi akhirnya memutuskan untuk menjawab panggilan itu.
"Amira? Ini Mama," terdengar suara perempuan dari seberang. Suara itu terdengar sedikit cemas.
"Ini Sherly, Bu. Amira sedang tidur. Ada yang bisa saya sampaikan?" tanyaku hati-hati.
Kakak Pak Ariel terdiam sesaat. "Oh, Sherly. Bagaimana keadaan kalian? Bagaimana keadaan Ariel?" Pertanyaan itu terdengar seperti luapan kecemasan yang sudah ditahan-tahan.
Aku menelan ludah, merasa sedikit bimbang harus menjawab apa. "Pak Ariel terlihat agak kelelahan, Bu, tapi... kami baik-baik saja sejauh ini." Jawabanku terasa setengah hati, tapi aku tidak ingin menambah kekhawatiran siapa pun.
Hening sejenak. Lalu, suaranya terdengar lebih pelan, seperti menahan sesuatu. "Sherly, tolong hubungi saya kalau ada yang mengkhawatirkan, ya? Saya... saya benar-benar khawatir. Ariel kadang suka memaksakan diri."
"Baik, Bu. Saya akan menghubungi Anda," janjiku dengan nada menenangkan.
Percakapan itu berakhir, tapi pikiranku menjadi semakin tidak tenang. Jika kakaknya saja merasa cemas seperti itu, apa yang sebenarnya sedang disembunyikan oleh Pak Ariel?
Tak lama kemudian, aku melihat Pak Ariel keluar dari toilet. Wajahnya masih sama—pucat dan lelah. Dia membuka pintu mobil dan masuk, langsung bersandar di kursinya dengan mata yang terpejam.
Aku hanya diam, memandanginya dari sudut mataku. Ada sesuatu dalam diamnya yang terasa berat, seolah ada beban besar yang dipikulnya seorang diri. Pak Ariel, kenapa Anda tidak mau berbagi? pikirku dalam hati. Aku hanya bisa berharap waktu istirahat singkat ini bisa memberinya sedikit energi.