Wisata Alam

POV Sherly

Mobil yang dikendarai Pak Agus melaju tenang di jalanan yang mulai lengang. Aku dan Pak Ariel duduk di kursi belakang, suasana dalam mobil diwarnai dengan keheningan yang hanya diisi oleh suara lembut musik. Setelah seharian di kantor, aku merasa cukup lelah, tapi pikiranku segera siaga ketika mendengar Pak Ariel membuka percakapan.

"Sherly, besok pagi ada rencana?" tanya Pak Ariel sambil melirik ke arahku.

Besok? Bukankah besok libur kerja?

Aku yang sedang memandangi jendela langsung menoleh. "Hmm, tidak ada, Pak. Ada sesuatu yang harus saya kerjakan?"

"Ya. Kita akan mengunjungi salah satu lokasi wisata alam. Calon klien baru kita memiliki properti di sana, dan mereka ingin melihat langsung rencana kita untuk pengembangan area tersebut. Kamu ikut, ini pengalaman bagus untukmu," jelas Pak Ariel dengan nada datar tapi tegas.

Aku tertegun sejenak, apakah kami akan pergi berdua saja? Oh, tidak! Aku tidak mau! Lalu buru-buru aku mencari alasan. "Oh, tapi mungkin saya ada… keperluan, Pak. Mungkin lebih baik tim lain yang mendampingi Bapak."

Pak Ariel menatapku sejenak dengan pandangan yang sulit ditebak. Lalu, sudut bibirnya terangkat tipis. "Kamu khawatir kalau kita hanya berdua?"

Aku tersentak, wajahku terasa panas seketika, bagaimana dia bisa menebaknya? "Bukan begitu, Pak. Saya hanya... ya, khawatir kalau nanti malah tidak maksimal."

"Tenang saja. Kita tidak akan berdua. Dua keponakan saya juga ikut. Bara, tujuh tahun, dan Amira,enam belas tahun. Mereka sedang libur sekolah, jadi ini kesempatan baik untuk membawa mereka jalan-jalan," kata Pak Ariel santai.

Aku akhirnya mengangguk, meskipun pikiranku masih tidak yakin dengan ini. "Baik, Pak. Saya ikut."

Pak Ariel menatap ke depan sambil berkata, "Saya jemput jam enam pagi. Jadi, siapkan dirimu."

Aku hanya bisa mengiyakan. Namun, perasaan khawatir yang kurasakan saat membaca hasil labor Pak Ariel kemarin kembali menghantui pikiranku. Aku menatap Pak Ariel diam-diam di mobil, memperhatikan wajah tenangnya yang seolah tak memiliki beban apa-apa. Bagaimana jika ia memaksakan diri? Pikirku dengan cemas.

***

Pagi itu, aku masih berusaha menenangkan diri. Ia mengintip dari jendela ketika sebuah mobil hitam berhenti di depan rumahku. Pak Ariel keluar dari mobil dengan pakaian kasual—kaus polo berwarna biru tua dan celana chino krem. Penampilannya jauh berbeda dari kesan formal yang biasa ia tampilkan di kantor. Aku sempat terpana sejenak, lalu buru-buru menyelesaikan persiapanku.

Sebelum aku keluar, Pak Ariel sudah mengetuk pintu rumah dan berbincang dengan ibu. Percakapan santai dan tawa kecil dari ruang tamu terdengar samar, membuatku semakin gugup. Setelah menarik napas dalam-dalam, aku keluar menemui Pak Ariel.

"Selamat pagi, Pak Ariel," sapaku sambil mencoba tersenyum santai.

"Selamat pagi, Sherly. Sudah siap?" tanya Pak Ariel dengan nada ramah, tanpa meninggalkan kesan tegas yang biasa ia tunjukkan.

Aku mengangguk pelan, lalu berpamitan dengan ibu. "Hati-hati di jalan, ya, Sherly. Dan, terima kasih sudah mengantar, Pak Ariel," ucap ibu dengan senyum hangat.

Pak Ariel membalas dengan anggukan sopan. "Tentu, Bu. Jangan khawatir, saya akan memastikan Sherly pulang dengan selamat."

Aku segera menuju mobil dan membuka pintu depan, mendapati dua wajah muda yang sudah duduk di bangku belakang. Keponakan Pak Ariel menyambut dengan antusias.

"Hai, Tante Sherly! Aku Bara, umurku tujuh tahun!" suara riang itu langsung memenuhi kabin mobil. Bara mencondongkan tubuhnya ke depan, membuatku tersenyum kecil.

"Dan aku Amira," ujar keponakan perempuan Pak Ariel yang berusia 16 tahun, memperkenalkan diri singkat tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponselnya. Berbeda dari adiknya, Amira tampak lebih tenang.

"Senang bertemu kalian," balasku sambil melirik Pak Ariel yang sudah siap mengemudi.

"Silakan duduk," ujar Pak Ariel sambil membuka pintu mobil dengan santai. "Kita akan berangkat sekarang."

"Pak Ariel… Pak Agus tidak ikut?" tanyaku, berusaha menyembunyikan nada khawatirku.

"Tidak. Hari ini saya yang mengemudi," jawab Pak Ariel singkat sambil menunjuk ke arah dua keponakannya yang duduk di kursi belakang.

Aku terdiam sesaat, tapi pandanganku tak bisa lepas dari Pak Ariel. Aku mencoba menenangkan pikiran, meskipun hatiku diliputi kecemasan.

Aku teringat kembali isi hasil pemeriksaan medis kemarin. Tumor hati jinak, bukankah itu berarti Pak Ariel seharusnya tidak boleh terlalu lelah? Mengemudi sepanjang perjalanan jelas bukan hal yang ringan.

Aku berusaha tersenyum kecil, meski pikiranku masih dipenuhi kekhawatiran. Aku akhirnya masuk dan duduk di kursi depan, di sebelah Pak Ariel.

"Pak… kalau nanti merasa lelah, izinkan saya menggantikan," ujarku pelan, mencoba menawarkan solusi tanpa terlihat terlalu mencemaskan.

Pak Ariel melirikku sekilas dan tersenyum tipis. "Tenang saja. Saya baik-baik saja, Sherly. Nikmati saja perjalanan ini."

Aku hanya mengangguk, tapi di dalam hati aku merasa gelisah. Sepanjang perjalanan, aku sesekali mencuri pandang ke arah Pak Ariel, memastikan ia terlihat sehat dan tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Namun, Pak Ariel tetap mengemudi dengan tenang dan penuh kendali, seolah ingin meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Aku menggigit bibir pelan, menatap ke luar jendela sambil berdoa dalam hati. Semoga tidak apa-apa...

***

Sepanjang perjalanan, Bara terus-menerus berbicara tanpa henti. Entah itu pertanyaan-pertanyaan tak penting atau cerita-cerita imajinasinya yang berputar-putar, semuanya diucapkannya dengan penuh semangat. Sesekali, ia melontarkan gurauan kepada kami yang hanya dibalas dengan senyuman kecil dari pak Ariel dan aku yang berusaha tetap fokus pada jalan.

"Om Ariel, nanti kita makan apa ya? Aku pengen banget makan burger. Tante Sherly, kamu suka burger gak?" Bara bertanya tanpa henti, sesekali melirik ke arahku, berharap mendapatkan jawaban.

Aku hanya tersenyum dan mengangguk ringan. "Iya, suka kok," jawabku, mencoba menanggapi dengan sabar. Namun, Bara tak kunjung berhenti.

"Aku suka yang besar, yang banyak dagingnya. Kalau Tante Sherly, suka yang mana?"

"Bara, cukup!" Amira akhirnya berbicara dengan suara keras, mengalihkan perhatian kami dari Bara yang masih bersemangat. Tiba-tiba, suaranya berubah tegas, penuh hentakan yang membuat Bara terdiam seketika.

Bara yang tadinya terus berbicara, kini hanya diam dengan mata membulat, seolah tak percaya dengan perubahan sikap kakaknya. Di kursi belakang, ia tampak lebih kecil dan lebih pendiam, menahan napas.

Pak Ariel dan aku saling bertukar pandang. Aku terkejut melihat bagaimana Amira bisa begitu cepat menenangkan adiknya dengan kata-kata yang begitu tegas. Tak lama, suara Bara yang tadi riuh tiba-tiba hilang. Keheningan pun menyelimuti mobil sejenak, hanya suara mesin mobil dan musik lembut yang mengisi ruang.

Aku tidak bisa menahan senyum kecil. "Keren sekali, Amira. Bisa menenangkan adik dengan sekali tegur," ujarku sambil menoleh ke arah Amira yang kini kembali fokus pada ponselnya, tampak lebih tenang daripada sebelumnya.

Amira hanya mengangkat bahu, seolah tidak terlalu peduli dengan pujian tersebut. "Dia kadang memang suka bikin ribut. Tapi kalau udah ngomong banyak, ya harus diberi sedikit pelajaran," jawabnya datar.

Pak Ariel tertawa pelan, memecah keheningan. "Ternyata kamu punya cara sendiri buat ngatur Bara, ya. Jaga-jaga nanti kalau dia mulai lagi," candanya, membuat suasana kembali sedikit lebih ringan.

Aku hanya tersenyum sambil memperhatikan Bara yang kini duduk diam, matanya sesekali melirik ke arah kakaknya, seolah masih merasa takut untuk berbicara lebih banyak.

Kami melanjutkan perjalanan dengan suasana yang lebih tenang, dan meskipun Bara kembali berdiam diri, aku bisa merasakan sedikit ketegangan yang menghilang. Keponakan-keponakan Pak Ariel ini memang memiliki dinamika mereka sendiri, dan aku cukup terkesan dengan bagaimana Amira bisa mengendalikan situasi dengan mudah.