Arsip

POV Sherly

Hari ketiga Pak Ariel berada di luar kota. Pagi itu, aku sedang sibuk di mejaku ketika ponselku berdering. Nama Pak Ariel muncul di layar.

Aku menarik napas sejenak sebelum menjawab, "Assalamualaikum, Pak."

"Waalaikumsalam, Sherly," suara Pak Ariel terdengar sedikit lebih pelan dari biasanya, mungkin karena ia sedang di luar kota. "Ada tugas penting untuk kamu."

"Baik, Pak. Apa yang harus saya lakukan?" tanyaku sambil meraih buku catatan di mejaku.

"Saya butuh dokumen kontrak kerja sama dengan vendor IT tahun lalu. Dokumen itu terkait pengeluaran kantor cabang dan harus segera ditinjau ulang. Cari di lemari arsip di ruangan kita. Kalau sudah ketemu, segera beri tahu saya."

"Siap, Pak. Akan saya cari sekarang," jawabku.

"Bagus. Hubungi saya kalau sudah ada perkembangan," ujarnya singkat sebelum menutup telepon.

Aku segera bangkit dari meja kerja dan menuju lemari arsip di sudut ruangan.

Ruangan ini terasa lebih kosong tanpa kehadiran Pak Ariel. Biasanya, ada suara ketikan di meja kerjanya atau komentar singkatnya yang membuat suasana terasa sibuk.

Aku membuka lemari arsip, memeriksa setiap folder yang tertata rapi sesuai label. "Kontrak kerja sama vendor IT 2023," gumamku, membaca label di salah satu folder.

Saat menarik folder itu, sebuah amplop cokelat tipis jatuh ke lantai. Aku memungutnya dengan cepat. Amplop itu sudah terbuka, dan sebuah dokumen di dalamnya menyembul keluar.

Aku melihat logo rumah sakit terkenal di sudut atas kertas itu. Nama pasiennya tertulis jelas: Dwi Ariel Nathan.

Aku mengerutkan dahi. Ini dokumen pemeriksaan medis? pikirku sambil melirik kertas yang sedikit terbuka. Aku tahu ini tidak sopan, tapi rasa ingin tahuku lebih kuat.

Kubaca sekilas beberapa istilah medis yang tertulis di sana. Angka-angka di tabel hasil laboratorium menunjukkan beberapa hasil "di atas normal" dan hasil lainnya "normal", dengan catatan tambahan seperti "Hepatic Adenoma, ukuran di segmen IV-B hati" pada hasil MRI. Lalu, "Direkomendasikan reseksi parsial untuk pencegahan komplikasi," membuatku tertegun.

Hati? Pak Ariel? Tapi dia terlihat sehat-sehat saja. Apa mungkin ini hasil lama? Tapi tanda tangan dokter di bagian bawah menunjukkan tanggal yang sangat baru.

Tanpa berpikir panjang, aku mengambil ponsel dari saku dan memotret dokumen itu. Entah kenapa aku merasa perlu menyimpan informasi ini.

Aku menghabiskan sisa pagi dengan menyelesaikan tugas mencari dokumen yang diminta oleh Pak Ariel.

Setelah memastikan semuanya lengkap, aku segera menghubunginya melalui telepon.

"Pak, dokumennya sudah saya temukan," laporku ketika panggilannya tersambung.

"Baik. Kirimkan salinan digitalnya ke email saya. Saya sedang dalam perjalanan untuk rapat, jadi saya akan cek nanti," jawab Pak Ariel singkat.

"Siap, Pak. Akan saya kirim segera," balasku sebelum panggilan berakhir.

***

Malam itu, pikiranku tidak bisa lepas dari hasil pemeriksaan medis yang kutemukan tadi.

Aku duduk di meja kerjaku di rumah, memandangi foto hasil laboratorium dan MRI yang tersimpan di ponselku. Aku mencoba mencari tahu lebih banyak tentang istilah-istilah medis yang tertulis di dokumen itu melalui internet.

Tumor hati jinak Adenoma Hepatoseluler. Penyakit yang tidak mengancam jiwa langsung tapi bisa menjadi kondisi serius jika tumornya besar dan pecah sehingga terjadi pendarahan di perut. Tapi bagaimana mungkin seseorang seperti Pak Ariel, yang terlihat begitu sehat dan kuat, bisa memiliki kondisi seperti itu?

Aku merasakan campuran antara kekhawatiran dan kebingungan. Apakah ini sebabnya Pak Ariel selalu terlihat serius dan cenderung menjaga jarak? Apakah dia sedang menyembunyikan kondisinya dari semua orang, termasuk aku?

Aku tahu ini bukan urusanku. Pak Ariel adalah orang yang sangat menjaga privasinya. Tapi aku tidak bisa mengabaikan fakta ini begitu saja.

***

Pagi itu, suasana kantor terasa lebih hidup. Pak Ariel baru saja kembali dari perjalanan dinas selama tiga hari ke kantor cabang, dan meskipun ia tidak menunjukkan sikap berlebihan, ada sesuatu di dalam dirinya yang tampak sedikit berbeda—lebih rileks, lebih hangat. Aku memperhatikan caranya masuk ke ruangan kami pagi itu, langkahnya tetap tegas seperti biasa, tapi matanya sedikit berbinar. Apakah itu hanya perasaanku? Entahlah.

"Apa kabar, Sherly?" sapanya sambil melepas jasnya dan menggantungnya di belakang kursi. Suaranya tetap datar, seperti biasa, tapi aku menangkap nada yang lebih ringan di sana.

"Alhamdulillah, baik, Pak," jawabku sambil mengangguk kecil. Aku mencoba tersenyum sewajarnya, meskipun di dalam hati ada rasa penasaran yang masih menggantung sejak kemarin. "Bagaimana dengan perjalanan dinasnya, Pak? Semuanya lancar?"

"Alhamdulillah, lancar," jawabnya singkat sambil mulai membuka laptopnya. Ia tidak melanjutkan, seolah tak ingin membahas lebih jauh.

Namun, yang membuatku terusik adalah penampilannya. Meski ia berusaha terlihat prima, aku menyadari ada sesuatu yang lain. Matanya sedikit lebih cekung, wajahnya agak pucat dibanding biasanya, dan ada semacam kelelahan yang sulit disembunyikan. Aku menegur diriku sendiri karena terlalu memperhatikannya, tapi aku tak bisa berhenti berpikir tentang hasil pemeriksaan medis yang aku temukan kemarin.

Saat jam kerja berlangsung, aku tetap mencoba fokus pada pekerjaanku. Tetapi, sesekali mataku melirik ke arah Pak Ariel yang duduk di kursinya, menatap layar laptop dengan intensitas yang sama seperti biasanya. Aku mengamati caranya mengetik, sesekali memijat pelipisnya, dan meregangkan lehernya.

Lalu, momen itu terjadi.

Pak Ariel menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu memejamkan mata. Satu tangannya terlipat di dada, sementara tangan lainnya menggenggam lengan kursi. Wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat lebih lelah, seolah ia sedang berjuang untuk memulihkan energinya. Aku memperhatikan dengan hati-hati, memastikan ia tidak menyadari aku mengamatinya.

Pemandangan itu membawaku pada minggu yang lalu. Aku ingat pernah melihatnya melakukan hal yang sama—merebahkan kepala dan menutup mata di tengah pekerjaan. Waktu itu aku menganggapnya biasa saja. Kukira ia hanya kurang tidur karena beban kerja yang berat. Tapi setelah melihat hasil pemeriksaan medis itu, aku tak bisa lagi menepis kekhawatiran yang muncul. Apakah ini ada hubungannya dengan kesehatannya?

Aku merasakan dorongan untuk bertanya, tapi langsung kutepis. Aku tidak ingin melampaui batas sebagai karyawan. Lagipula, bagaimana caranya aku menjelaskan bahwa aku tahu sesuatu yang seharusnya tidak aku ketahui?

Pak Ariel membuka matanya kembali setelah beberapa menit, dan langsung kembali fokus ke pekerjaannya, seolah tak ada yang terjadi. Namun, di mataku, ada sesuatu yang lebih berat dari sekadar kelelahan kerja.

Ketika waktu istirahat tiba, aku mencoba mencari cara untuk berbicara dengannya tanpa terlihat mencurigakan. Aku kemudian mengeluarkan dua buah bekal dan menyerahkan salah satunya pada Pak Ariel.

"Ini bekal hari ini, Pak," ucapku sambil menyerahkannya di meja Pak Ariel.

Ia melirik sesaat sambil mengangguk dan mengucapkan terima kasih lalu kembali menatap layar laptopnya. Aku kemudian berpikir sesaat.

"Pak, saya buatkan kopi ya?" tanyaku, mencoba menawarkan sesuatu untuk mencairkan suasana.

Ia menatapku sebentar, lalu menggeleng kecil. "Saya diet kafein, Sherly."

"Teh herbal saja, ya," lanjutnya.

Aku segera beranjak ke pantry untuk membuatkan tehnya. Dalam perjalanan, pikiranku terus berputar. Haruskah aku bertanya langsung? Tapi bagaimana jika ia tidak ingin membahasnya? Atau lebih buruk lagi, bagaimana jika ia merasa aku terlalu ikut campur?

Setelah tehnya siap, aku kembali ke ruangan. Pak Ariel masih sibuk mengetik sesuatu, tapi ketika aku meletakkan cangkir teh di mejanya, ia berhenti sejenak dan menatapku.

"Terima kasih," ucapnya. Kali ini ada nada tulus di suaranya.

Aku mengangguk kecil dan kembali ke tempatku. Meski tidak mengatakan apa-apa lagi, aku merasa ada semacam pengakuan diam-diam antara kami. Ia menerima kebaikanku tanpa menolak, sementara aku menerima kenyataan bahwa aku hanya bisa mengamatinya dari kejauhan, setidaknya untuk saat ini.

Namun, aku bertekad untuk mencari tahu lebih banyak—bukan untuk kepo, tapi karena aku benar-benar peduli. Mungkin bukan hari ini, mungkin bukan besok. Tapi suatu saat nanti, aku akan menemukan cara untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi dengan Pak Ariel. Dan jika ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk membantunya, aku tidak akan ragu untuk melakukannya.

Di ruangan yang sama, kami melanjutkan pekerjaan kami masing-masing. Tapi bagiku, hari itu terasa berbeda. Ada sesuatu yang menggantung di udara—sebuah pertanyaan tanpa jawaban, sebuah kekhawatiran yang belum tuntas. Pak Ariel mungkin tidak menyadarinya, tapi aku tahu, ada lebih banyak hal tentang dirinya yang masih tersembunyi, menunggu untuk ditemukan.