Cahaya matahari menembus celah-celah pepohonan tinggi yang menjulang, menciptakan bayangan panjang di tanah yang dipenuhi lumut tebal. Kabut tipis menggantung rendah di antara batang-batang pohon yang tampak seperti jari-jari kurus yang mencakar langit.
Angin lembut membawa aroma lembap dan suara ranting patah di kejauhan hanya memperkuat perasaan bahwa tempat ini lebih dari sekadar hutan biasa.
Di atas, langit cerah dengan warna biru keperakan bersinar dengan lembut, namun di dasar hutan, sinar matahari tampak enggan menyentuh tanah. Kabut hitam pekat yang aneh menyelimuti bagian bawah pepohonan, perlahan bergerak seolah memiliki kehidupan. Bayangan pepohonan melambai, dan kabut yang menggantung seakan membawa bisikan misterius yang sulit dipahami.
Di antara bayangan dan kabut yang menari, sebuah sosok kecil terbaring diam. Perlahan, dia mulai tersadar, tubuhnya tergeletak lemah di tengah kawah tempat ia jatuh. Sosok itu adalah seorang anak laki-laki, pakaiannya rusak, tubuhnya kotor oleh tanah dan darah kering. Perlahan, kelopak matanya bergetar, kemudian terbuka. Mata kelamnya menatap langit di atas yang cerah, namun tidak ada ketenangan di dalam dirinya.
Alaric terbangun dengan napas berat, kepalanya pusing dan tubuhnya terasa seperti dihancurkan dari dalam. Rasa sakit menjalar dari setiap serat ototnya. Dia mencoba bergerak, namun tubuhnya terasa lumpuh, seperti baru saja ditarik dari jurang kematian. Perlahan, dia mengangkat tangan kecilnya, memperhatikan kulitnya yang pucat dan penuh luka. Setiap gerakan membuatnya merasakan dampak dari apa yang telah terjadi.
Setelah beberapa saat, dia terdiam, membiarkan pikirannya menyesuaikan dengan rasa sakit yang menyerangnya. Seketika, ingatannya kembali menghantam masuk. Ritual itu. The Void. House of Arcadia yang hancur. Tubuhnya bergetar, dan meskipun dia mencoba mengendalikan emosinya, air mata mulai mengalir tanpa bisa dia tahan. Hatinya remuk. Seluruh keluarganya telah binasa, dan dia, satu-satunya yang selamat, terlempar ke dunia yang tidak dia kenali. Kehampaan di dalam dirinya dan Kehancuran emosional yang ia rasakan membuatnya lupa akan penderitaan fisik yang ia alami.
"Ayah… keluarga… semuanya hancur." Suara parau dan lirihnya memecah keheningan di sekeliling.
Dia berusaha bangkit, tapi tubuhnya terlalu lemah. Setiap gerakan mengingatkan pada bagaimana kekuatan yang dulu dia miliki kini telah lenyap. Meskipun dalam kondisi pasif Alaric tau kondisi tubuhnya sejelas telapak tangan saat berada di The Void. Pada saat kritis itu, tubuhnya telah menggunakan teknik kuno yang ia peroleh di reruntuhan kuno—Rebirth of the Phoenix, sebuah teknik yang hanya bisa digunakan sekali seumur hidup.
Teknik itu membakar vitalitas pengguna untuk menyelamatkannya dari Chaos Energy di The Void. Namun, sebagai harga yang harus dibayar, aether nexus nya rusak dan kultivasinya hilang. Tubuh yang semula kokoh kini menjadi rapuh seperti anak kecil. Tidak akan berlebihan untuk mengatakan bahwa dia seperti terlahir kembali.
"Kenapa… kenapa harus aku yang selamat?" jeritnya, merasakan kemarahan yang mendidih. Saat dia merenungi itu, kebencian dan amarah mulai bangkit saat tiba-tiba, ingatan tentang Astra Dominion melintas di pikirannya.
Harta itu yang secara tidak sengaja didapatkannya di reruntuhan kuno tanpa dia duga menjadi penyebab keluarganya musnah. Harta itu, yang dulu dia pikir bisa memberinya kekuatan tanpa batas, kini tampak lebih seperti kutukan.
Alaric memukul dadanya keras, amarah dan frustrasi membuncah dalam dirinya. "Kau… Kau tidak berguna!" suaranya serak, bercampur dengan tangisan. Ia merasa marah pada dirinya sendiri, pada harta yang telah menjadi penyebab keluarganya diburu hingga titik kehancuran.
Tangannya mengepal, tinjunya menghantam dadanya lagi. "Kau menyebabkan ini! Karena kau, mereka semua mati!"
Pukulan demi pukulan menghantam dadanya, seolah-olah rasa sakit fisik bisa menghapus luka di hatinya. Air mata mengalir di pipinya, tubuhnya gemetar karena kelelahan. Namun, rasa lelah fisik itu tidak bisa dibandingkan dengan kehancuran emosional yang dia rasakan. Rasa bersalah dan kehilangan bercampur menjadi satu, menghantam dirinya seperti badai tanpa henti. Dia menundukkan kepalanya, tubuhnya lunglai, dan suara pukulannya perlahan mereda.
Dia menutup mata, merasakan kelelahan yang luar biasa. Dalam pikirannya, bayangan Arcadia yang hancur, berputar-putar tanpa henti. Astra Dominion, harta terkutuk itu, kini hanya menjadi lambang dari kejatuhan mereka.
Setelah beberapa waktu berlalu, Alaric mulai tenang. Dia mengusap air mata yang bercampur debu di wajahnya. Matanya tajam menatap ke atas, langit berwarna abu-abu keperakan dengan awan yang berat menggantung rendah. "Aku akan kembali… aku akan membalas dendam… ayah, kakek… semuanya…". Sebuah sumpah terlahir saat dia memikirkan pengorbanan seluruh keluarganya. "Aku janji".
Perlahan-lahan, dia mulai menyadari sesuatu yang salah. Energi aether di tempat ini begitu tipis. Jika di Celestia, energi aether melimpah bagaikan lautan yang mengalir bebas, di sini… hanya setetes dari lautan itu yang bisa dirasakan. "Ini bukan Celestia…" gumamnya. Udara di sini aneh, tipis, dan dingin.
Aether Energy adalah energi alam yang digunakan oleh Manusia dan Beast untuk berkultivasi, meningkatkan kekuatan, dan memperkuat jiwa mereka. Namun, di tempat ini, energi itu hampir tidak ada. Rasanya ringan seperti bernafas di tengah kekosongan.
Alaric menghela napas dalam-dalam, mencoba fokus pada penyembuhan dirinya. Tidak ada yang bisa dia lakukan sekarang selain memulihkan tenaga. Dia duduk bersila, meskipun tubuhnya lemah dan terluka. Tubuhnya gemetar saat dia berusaha menarik sedikit energi aether yang ada di udara.
Namun, saat mencoba menarik energi itu, yang bisa dia rasakan hanya kekosongan. Seolah-olah tubuhnya adalah bejana yang pecah, tidak mampu menampung energi apa pun. Rasa frustrasi merayap di dalam hatinya. "Sialan," desisnya pelan, dengan suara serak penuh kepahitan. Dia mencoba lagi, berusaha mengarahkan energi aether ke dalam tubuhnya, tapi sia-sia. Aether nexus nya retak. Bahkan untuk menarik sedikit energi pun dia tidak mampu.
Alaric menggigit bibir bawahnya, darah hampir merembes dari luka kecil yang dia buat sendiri. "Apa yang harus kulakukan sekarang?" pikirnya. Rasa lelah dan frustasi menggerogoti mentalnya. Jika tidak ada cara untuk pulih, maka dia benar-benar akan terjebak di dunia asing ini tanpa kekuatan apapun.
Tiba-tiba, pikirannya teringat sesuatu. Dengan tangan gemetar, Alaric dengan cepat memeriksa jarinya, dan benar saja, cincin itu masih ada di sana. Dimensional Ring—Cincin itu tidak terlihat mencolok dari luar. Berwarna hitam pekat dengan ukiran halus yang hampir tak terlihat. Meski kecil dan sederhana, cincin itu memiliki kemampuan untuk menyimpan benda-benda di dalam dimensi tersembunyi yang terhubung langsung dengan penggunanya. Sebelum ritual terkutuk itu, ayahnya menyerahkan cincin ini dengan ekspresi kelegaan.
Alaric menutup matanya sejenak, mencoba merasakan energi cincin itu. Segera, kesadarannya terhubung dan tersedot masuk ke dalam dimensi di balik cincin tersebut. Apa yang dia temukan membuat napasnya tercekat.
Dalam kepanikan dan kekacauan saat itu, Alaric tidak sempat memahami sepenuhnya, tapi sekarang dia tahu bahwa cincin ini menyimpan lebih dari sekadar benda biasa. "Ini….. seluruh warisan Arcadia….." 'matanya melebar saat dia menelan ludah, menyadari betapa pentingnya benda itu.
"Ini semua milikku sekarang?" gumamnya dalam hati, tangannya mengepal sedikit tidam percaya. Bukan harta benda yang membuatnya kagum, tetapi kenyataan bahwa keluarganya, meski telah musnah, telah menyiapkan warisan ini untuknya. Seakan seluruh kejayaan House of Arcadia sekarang berada di tangannya—sebuah tanggung jawab yang sangat berat untuk dipikul.
Di antara tumpukan artefak, tatapan Alaric tertuju pada sebuah rak yang penuh dengan botol-botol kecil berisi pil-pil penyembuhan. Satu objek menarik perhatian Alaric—sebuah botol kecil yang bersinar keemasan, tampak kontras dengan semua benda lainnya. Tatapannya gemetar saat melihat saat dia meilhatnya
Botol itu tampak sederhana, namun ukiran-ukiran kuno pada botol tersebut memancarkan aura agung dan kemegahan yang tak bisa diragukan. Essence of Vitalis. Pil legendaris kuno yang hanya dimiliki oleh beberapa orang di Celestia. Konon pil itu dapat menarik seseorang dari kematian, pil itu mampu memulihkan luka-luka serius, memperbaiki jaringan tubuh yang hancur dan selama orang itu masih bernafas tidak ada yang tidak bisa di sembuhkan.
Tanpa ragu, Alaric menarik satu botol kecil yang bersinar lembut dari dimensi penyimpanan. Begitu kesadarannya kembali, botol itu muncul di tangannya. Aroma herbal yang kuat dan menyegarkan memenuhi udara begitu tutupnya terbuka. Dia memejamkan mata sejenak sebelum menelan pil itu dengan tenang.
Sensasi dingin langsung menyebar dari tenggorokannya, mengalir cepat ke seluruh tubuh. Dingin itu segera berubah menjadi panas lembut yang menenangkan, menyembuhkan luka-lukanya sedikit demi sedikit.
Dalam sekejap, rasa sakit yang sebelumnya mencabik-cabik tubuhnya mulai memudar, sementara luka-luka di kulitnya perlahan menutup dengan sendirinya. Dan yang lebih penting, dia bisa merasakan Aether Nexus yang selama ini rusak juga mulai pulih.
Aether nexus adalah tempat dimana energi aether dari alam semesta diserap, disimpan, dan diolah untuk memperkuat tubuh, pikiran, dan jiwa. Bagi setiap manusia, Aether nexus adalah elemen inti yang sangat penting dalam proses kultivasi. Jika rusak, maka seseorang tidak akan bisa berkultivasi, dan tubuh mereka akan sepenuhnya bergantung pada kekuatan fisik.
Aether nexus terletak di titik yang tersembunyi dalam tubuh manusia, berlokasi di antara solar plexus dan rongga dada. Titik ini dikenal sebagai pusat vitalitas tubuh, di mana kekuatan fisik, dan kesadaran jiwa saling bertemu. Di situlah energi aether, dari alam semesta dikumpulkan sebelum digunakan oleh kultivator untuk berbagai teknik bela diri, sihir, atau untuk memperkuat tubuh mereka.
Alaric membuka matanya, tapi pandangannya masih kosong, terfokus pada apa yang terjadi di dalam tubuhnya. Dia merasakan sensasi seperti pintu besar yang akhirnya terbuka, membiarkan aliran energi aether mengalir lebih bebas. Dengan setiap tarikan napas, aether yang sangat tipis dari udara di sekitarnya tersedot ke dalam tubuhnya.
Perlahan-lahan, energi itu mulai terakumulasi, dan tubuhnya bergetar sekali lagi, namun kali ini bukan karena rasa sakit—melainkan karena sebuah kekuatan baru yang mulai bangkit dari dalam.
Tanpa sadar, Alaric baru saja mencapai tingkat pertama kultivasi, Awakening stage. Di tahap ini seseorang bisa merasakan energi aether di sekitarnya, meski sangat tipis.
"Sangat di sayangkan, dulu aku hanya setengah langkah lagi untuk mencapai Sovereign stage…". Alaric menghela napas berat, dengan pikiran yang agak tertekan.
Orang bisa membayangkan rasa frustasi saat hampir menjadi seorang sovereign di usia 34 tahun, memecahkan sejarah sebagai orang termuda yang mencapai hal itu diseluruh dunia. Namun sekarang dia harus memulai jalan ini dari awal. Meskipun dia belum sepenuhnya pulih, setidaknya kini ada harapan—dia tidak lagi lumpuh seperti sebelumnya.
Alaric perlahan bangkit dari kawah, kaki kecilnya gemetar saat dia mencoba berdiri tegak. Dia melihat sekeliling, mencoba memahami di mana dia berada. Pepohonan tinggi dan gelap melingkari tempat dia berdiri. Daun-daunnya runcing dan gelap, dengan akar yang mencuat ke atas, melilit tanah seperti cakar yang mengoyak. Kabut hitam yang tipis menyelimuti hutan, bergerak pelan seolah memiliki nyawa sendiri.
Saat ia masih tenggelam dalam pikiran, tiba-tiba telinganya menangkap suara gemerisik yang tidak wajar di balik pepohonan. Suara itu semakin mendekat, dan naluri bertahan hidup membuat tubuhnya waspada. Dari balik kabut, makhluk besar keluar perlahan, bergerak dengan gerakan yang berat namun mengancam. Alaric menatapnya, tubuhnya membeku.
Itu bukan binatang biasa tapi seekor beast. Binatang yang telah melalui mutasi dan memperoleh pencerahan dengan menyerap energi aether, seekor beast lebih kuat dari hewan biasa.
Makhluk itu menyerupai serigala raksasa, tetapi lebih besar dan jauh lebih menakutkan. Tubuhnya dipenuhi sisik-sisik hijau yang mengkilap, hampir seperti baju zirah alami yang melindunginya dari segala bahaya. Cahaya redup menyelimuti tubuhnya, memancarkan aura berbahaya. Matanya merah seperti bara api, dan dari mulutnya, taring-taring panjang berkilau tajam saat ia mendengus pelan, mengisi udara dengan aroma busuk.
Aroma pil yang baru saja ditelan Alaric tampaknya menarik perhatian monster itu, membuatnya semakin waspada dan bersemangat.
Kerutan muncul di dahi Alaric. Situasinya genting. "Sialan… ini beast tingkat sage," gumamnya sambil mencoba menganalisis kondisi yang ada. Jika ini terjadi ketika dia masih di Celestia, beast seperti ini tak akan lebih dari sekadar semut di kakinya. Tapi sekarang, setelah kultivasinya dimulai dari awal, dia tentu bukan lawan yang tepat bagi beast di depannya. Perbedaan ranah lima tingkat tentu bukan lelucon.
Sebelum dia bisa memikirkan langkah berikutnya, monster itu tiba-tiba menerjang, langkah kakinya membuat tanah bergetar. Alaric mencoba bereaksi, melompat ke samping untuk menghindari serangan, tetapi dia tahu dalam kondisi ini, dia tak akan cukup cepat. Nafasnya terengah, waktu terasa berjalan lebih lambat saat makhluk itu mendekat dengan kecepatan yang tak terduga.
Tiba-tiba, tepat saat cakar besar beast itu hendak menerkamnya, sebuah cahaya aneh memancar dari dalam tubuh Alaric. Dia merasa ada sesuatu yang bergetar di dalam dadanya .
Astra dominion bergerak mengeluarkan cahaya yang menyelimuti tubuh Alaric, dan sebelum dia bisa memahami apa yang terjadi, tubuhnya tiba-tiba menghilang begitu saja, meninggalkan beast yang kebingungan.
Makhluk itu melolong marah, berputar-putar mencari mangsanya, tapi yang tersisa hanyalah udara hampa, seolah Alaric tak pernah ada di sana.
Kabut hitam kembali melayang perlahan, menyelimuti tempat yang tadinya menjadi medan perburuan.