Tekanan berat menyelimuti seluruh tubuh Alaric saat visinya berubah tanpa tau apa yang terjadi. Langit di atasnya telah berubah, dipenuhi warna perak yang halus, membentuk pola-pola samar yang bergerak seperti awan yang melayang tenang.
Cahaya putih berpendar dari tempat-tempat yang tidak dapat dia pahami, seolah-olah ada bintang-bintang yang terbang bebas di atas sana, tak terikat oleh hukum alam. Segala sesuatu di dunia ini terlihat tidak nyata, dibawahnya rumput hijau setinggi mata kaki melambai-lambai dengan pelan.
Dia melihat cahaya samar-samar berkilauan di sekeliling, seperti bintang yang bersinar di langit malam yang tenang. Udara terasa sejuk, dan meskipun tidak ada angin, rambut dan jubah kotornya bergoyang dengan tenang. Dunia di hadapannya tidak memiliki batas, seperti padang luas yang terhampar tanpa ujung. Namun, suasana dunia itu berbanding terbalik dengan tekanan yang sekarang ia rasakan.
Energi yang familiar. Itu energi aether.
Energi disini mengalir deras, lebih deras daripada apa yang pernah Alaric rasakan di Celestia. Bahkan saat dia memejamkan mata, dia bisa merasakan betapa padat dan kuatnya energi di sini.
"Ini… dunia apa ini..," Alaric ternganga.
Di Celestia, energi aether seperti lautan yang tak terbatas, namun di sini… rasanya seperti dua kali lipat lebih banyak. Tubuhnya tak mampu bergerak di tengah aliran energi yang begitu intens. Dia merasa begitu kecil, begitu lemah dibandingkan dengan kekuatan yang ada di sekitarnya.
Saat Alaric masih mencoba memahami apa yang terjadi, pikirannya terhenti ketika dia merasakan kehadiran lain di sekitarnya. Sebuah sosok samar mulai terbentuk di hadapannya. Sosok itu memiliki bentuk yang menyerupai manusia. Tubuhnya semi-transparan, dengan cahaya biru yang samar memancar dari tubuhnya. Matanya bercahaya, namun tidak ada emosi yang terpancar dari sana—hampa.
Sosok itu memiliki wajah dengan lekukan yang tajam dan mulus, hampir seperti patung hidup yang tidak menunjukkan rasa atau kesedihan. Kulitnya bukan daging, tetapi seolah terbuat dari energi itu sendiri. Sejak kemunculan nya dia hanya diam, berdiri tegak, dan hanya memandang ke arah Alaric tanpa satu kata pun keluar dari bibirnya.
"Siapa… kamu?" Alaric bergumam pelan, rasa waspada dan takjub bercampur menjadi satu. Meskipun dia hidup di Celestia, tapi ini pengalaman baru baginya. Pengalaman aneh.
Sosok itu tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Alaric dengan mata yang kosong. "Aku adalah Astra," suaranya mengalir lembut dan tenang.
"Roh dari artefak yang kau bawa tuan muda."
Alaric tersentak. "Artefak?". Dari apa yang ia tau tingkat artefak dibagi menjadi 19 level.
Common, Rare, Mortal, Elite, Sage, Phantom, Epic, Spirit, Saint, Archon, Catalyst, Spectra, Supreme, Legend, Myth, Ancient, Heaven, Cosmic dan Astral.
Masing-masing level dibagi lagi menjadi 3 tingkatan, Ordinary artefak, Advance artefak, dan yang paling kuat adalah Ultimate artefak.
Roh artefak hanya bisa di temui di artefak level Spirit, tapi apa yang membuat Aralic heran adalah bahwa roh ini sebenarnya mengembangkan bentuk manusia. Biasanya, roh paling banyak di temui dalam bentuk beast, tumbuhan atau elemen tertentu di dunia. Roh dalam bentuk manusia sangat jarang terjadi, atau bahkan tidak pernah ada.
Sebelum dia sempat merespons, sosok itu melanjutkan, "Tempat ini adalah domain di dalam artefak. Tuan sekarang berada di dalam Astra Dominion."
Namun tiba-tiba tubuh Alaric bergetar, perkenalan Astra mengingatkannya tentang reruntuhan kuno yang dia jelajahi bersama keluarganya. Disana, dia mendapatkan harta ini tanpa sengaja, dan dari sana kehancuran keluarganya di mulai. Alaric merasa darahnya mendidih. Ingatan itu membawa kemarahan yang sulit dia tahan.
"Kau membawa bencana pada keluargaku". Tubuhnya gemetar, mencoba bangkit dan menyerang sosok itu. Namun tekanan energi yang membanjiri tubuhnya begitu besar sehingga setiap gerakan terasa seperti memikul beban gunung. Tubuhnya tidak bisa bergerak terpaku di tempat ia berada.
Saat Alaric memaksakan dirinya untuk berdiri, sosok samar di depannya tetap tak bergerak, hanya memandang dengan tatapan kosong. Wajahnya tidak memiliki ekspresi.
"Kenapa aku?" gumam Alaric dengan suara lemah namun dipenuhi amarah.
Pikirannya melayang kembali ke reruntuhan kuno, tempat di mana semuanya dimulai. Dia ingat saat dia dan para tetua Arcadia lain, bersama pewaris dan tetua dari sembilan liga besar, menyusuri lorong-lorong gelap reruntuhan kuno yang telah terbuka. Saat itu di ujung reruntuhan formasi kuno yang tersembunyi tiba-tiba aktif, menjebak mereka di dalamnya. Kejadian yang tiba-tiba membuat kegelisahan segera meliputi semua orang. Tapi, di tengah ketegangan itu, sebuah perkamen kuno muncul dari ketiadaan.
Di perkamen itu tertulis bahwa Astra Dominion telah muncul kembali.
Kegembiraan meluap seketika. Mata semua orang bersinar penuh harapan. Tapi tak lama, suasana itu berubah. Hanya ada satu Astra dominion. Kegembiraan berubah menjadi keserakahan, dan situasi menjadi tak terkendali. Tanpa peringatan, orang-orang mulai saling menyerang, mengubah tempat reruntuhan itu menjadi medan pertempuran berdarah.
Alaric yang saat itu masih mengamati keadaan, tiba tiba merasakan kristal kecil abu-abu yang terbang ke arahnya. Saat dia masih kebingungan, kristal itu menembus tubuhnya dengan cepat. Sensasi dingin menyusup ke seluruh nadinya, menyatu dalam sekejap.
Seketika, tatapan semua orang tertuju pada Alaric. Waktu seperti berhenti. Ia kini menjadi target utama. Satu persatu orang mulai melancarkan serangan ke arahnya. Pertempuran berlangsung sengit, meskipun ia berhasil keluar hidup-hidup tapi berita tentang Artefak nomor satu di dunia juga ikut menyebar ke seluruh Celestia. Sisa dari cerita itu adalah mimpi buruk bagi Alaric, bukan sesuatu yang ingin ia ingat.
Kesadarannya kembali ke masa kini. Sosok itu tidak menjawab. Alaric mendengus frustrasi, masih berusaha menahan amarah. "Jawab aku….!" Seruannya menggantung di udara, namun sosok itu hanya diam, seakan tidak peduli dengan ledakan emosinya.
"Aku…. tidak bisa menjawab pertanyaan ini tuan, maafkan aku".
"Omong kosong!". Alaric mengepalkan tinjunya, tubuhnya gemetar karena amarah yang terus memuncak. Namun, setiap kali dia mencoba bergerak, energi yang menekannya seperti rantai tak terlihat, menahannya di tempat.
Setelah berjuang beberapa saat, Alaric akhirnya menyerah. Napasnya berat, kepalanya tertunduk, dan semua kemarahan yang dia rasakan kini mulai surut.
"Kenapa kau memilihku?" gumam Alaric mengulang pertanyaan yang sama, meski di dalam hati ia tahu jawabannya tak akan segera datang.
Di depannya sosok itu tak menjawab, ruang di sekitarnya terasa semakin sunyi, seolah semua suara menunggu, menyimpan rahasia yang belum waktunya untuk diungkap.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti keabadian, Alaric menarik napas dalam-dalam, menutup matanya dengan perlahan. Ia merasakan pusaran padat dari energi aether yang memenuhi udara, jauh lebih deras dan lebih murni dibandingkan apa pun yang pernah ia rasakan.
Pelan-pelan, energi aether mulai mengalir ke tubuhnya, menuju titik diantara pusar dan rongga dada. Setiap detik, ia merasakan kehangatan energi yang menenangkan meresap ke dalam pori-porinya, bejana yang kosong itu langsung penuh seketika.
Sebelum ia menyadari, tubuhnya perlahan-lahan menyerap energi itu dengan kecepatan yang menakjubkan.
"Awekening stage 2…"
"Awekening stage 3…"
"Awekening stage 4…"
…
"Awekening stage 10…"
Terobosan instant. Setelah terobosan ke sembilan, tubuh Alaric dipenuhi dengan energi yang begitu kuat dan deras. Rasanya seperti berada di tengah badai energi yang mengalir tanpa henti. Setiap pori-pori tubuhnya terbuka, membuat seolah-olah tubuhnya akan meledak dari dalam.
Tubuh Alaric bergetar hebat, otot-ototnya tegang, dan saraf-sarafnya terasa seperti terbakar. Dia bisa merasakan Aether Nexus-nya hampir mendidih karena energi yang berlebihan.
Meskipun dia masih bisa menerobos, tapi Alaric tau bahwa fondasinya masih belum cukup kuat. Terobosan ini terlalu cepat, energi yang berlebihan akan membuat tubuhnya meledak jika terus dibiarkan mengalir tanpa kontrol.
"Untuk saat ini, ini sudah cukup", bisiknya pada dirinya sendiri.
"Selamat tuan muda, untuk menembus tahap akhir dari Awakening stage", sosok samar yang belum beranjak sejak awal berkata dengan tenang.
Alaric menatap sosok di depannya dengan dingin. Meskipun hatinya masih di penuhi kebencian, dia tau tidak ada yang bisa dia lakukan untuk saat ini. Kehancuran keluarganya, kematian orang-orang yang ia sayangi semua itu sudah terukir jauh di dalam tulang, tetapi kemarahan dan dendam saja tidak akan membawanya lebih dekat pada balas dendam.
Dia duduk bersila, menenangkan dirinya. Keputusasaan yang sempat melingkupinya perlahan memudar, digantikan oleh emosi yang dingin. Dia butuh lebih dari sekadar kekuatan biasa untuk menghancurkan musuh-musuhnya. Dia butuh kekuatan yang jauh melampaui batasannya saat ini, bahkan kehidupan nya yang lalu.
Dan dengan mempertimbangkan hal itu, dia akan memanfaatkan semua opsi yang dia punya. Termasuk sosok di depannya, artefak ini, Astra dominion.
"Astra", gumamnya dengan nada yang nyaris tanpa emosi. Alaric menatap sosok di depannya, matanya berkilat dengan rasa penasaran. "Apa yang bisa kau lakukan? bagaimana aku bisa menggunakan kekuatanmu?".
Pertanyaan Alaric bukan tanpa alasan. Meski desas-desus Astra dominion sebagai artefak terkuat sudah terdengar dikenal sejak Primordial Epoch (zaman kuno)—zaman yang mencakup masa miliaran tahun yang lalu, catatan kemunculannya sendiri baru ada di Era of Shadows (zaman kegelapan) yang dimulai dua juta tahun yang lalu.
Di sebut Era of Shadows karena pada zaman ini banyak rahasia dari Primodial Epoch yang hilang tanpa jejak, hanya sedikit catatan yang tersisa di prasasti-prasasti kuno. Sementara perkamen yang tersisa tidak lebih dari fragmen rusak yang berusaha menyatukan kepingan cerita yang hilang.
Bahkan bagi House of Arcadia salah satu dari kekuatan kuno di Celestia, catatan tentang Astra dominion sangat buram sedangkan sejarah tentang Primodial Epoch sendiri hampir tidak ada.
Di Era of Shadows, dunia dilanda konflik antar makhluk agung, kekacauan, dan pembantaian. Perang besar antar-ras dan peradaban terjadi di seluruh alam dunia, menandai era ini dengan kegelapan dan kehancuran. Banyak kekuatan kuno yang jatuh, dan celah antara alam semakin menjauh, membawa ketidak seimbangan besar bagi semua makhluk hidup. Bahkan efek yang diberikan masih di rasakan hingga saat ini.
Tercatat, Astra dominion pernah muncul satu kali di Era of Shadows. Pada waktu itu kemunculannya berhasil mengguncang seluruh dunia, pertempuran besar terjadi di mana-mana. Darah mengalir tanpa henti, dan dunia terpecah akibat ambisi dari mereka yang ingin memiliki kekuatan artefak ini.
Namun, sama seperti kemunculannya, harta ini juga hilang tiba-tiba seolah tak pernah ada.
Catatan terakhir dari pertempuran besar itu menyimpulkan bahwa kemungkinan Astra dominion adalah artefak tingkat Primordial. Kehilangannya membuat banyak orang batuk darah. Meskipun semua orang mencarinya namun Astra tak pernah di temukan. Hingga beberapa waktu yang lalu, muncul kembali ke dunia.
"Kekuatanku….", suara Astra memecah keheningan dengan nada yang menggantung. "Aku tidak tau, tuan".
Kalimat yang terakhir hampir menyebabkan Alaric muntah darah di tempat, amarah kembali menguasai dirinya. "Apa maksudmu tidak tau?" ucap Alaric dengan nada yang semakin tajam.
"Ratusan ribu tahun telah berlalu sejak terakhir kali aku bangun… Banyak hal telah berubah, dan ingatanku serta sebagian besar kekuatanku—masih tersegel. Kekuatan yang tuan lihat hanyalah puncak gunung es… butuh lebih dari sekadar waktu untuk memulihkannya kembali", sebelum Alaric bisa membalas, sosok itu melanjutkan "Namun, aku bisa membantu tuan untuk menganalisa segala hal yang tuan butuhkan. Selain itu domain ini juga salah satu kekuatan utamaku. Tuan bisa memasuki domain ini saat menghadapi bahaya dan berkultivasi, waktu di sini juga lebih lambat dua kali lipat dari pada dunia luar".
Astra berhenti sejenak, seolah ingin memastikan setiap kata di pahami dengan baik. "Namun, setiap kali tuan masuk ke domain ini itu akan membutuhkan banyak energi. Berdasarkan cadangan energi yang tersisa, tuan hanya bisa memasuki domain ini dua kali lagi sebelum aku mulai memulihkan diri".
Alaric mengerutkan kening. "Berapa banyak energi yang kau butuhkan untuk memulihkan diri?".
"Berdasarkan kepadatan energi dunia tempat tuan berada, itu akan membutuhkan satu tahun bagiku agar tuan bisa kembali ke domain ini. Secara alami jika tuan semakin kuat itu juga akan membantuku agar lebih cepat mengumpulkan energi".
Alaric merasa frustrasi, tetapi dia menahan diri. "Jadi… pada akhirnya kau tidak berguna?" bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri daripada Astra. Mata sosok yang tanpa emosi itu sedikit berkedut setelah mendengar kalimat yang terakhir.
"Aku bisa menjadi adalah alat sekaligus ujian, tuan. Kekuatan yang besar membutuhkan harga. Bahkan jika kekuatan penuhku kembali, jika tingkat kultivasi tuan terlalu rendah, tuan tidak akan bisa menggunakan semua kekuatanku".
"Aku seperti dua mata pedang".
Alaric mengepalkan tinjunya. Perasaan kecewa dan amarah itu sulit untuk dibendung. Dia masih dipenuhi oleh kebencian dan keputusasaan atas kehancuran keluarganya, namun dia tahu apa yang dikatakan Astra benar. Jika dia ingin membalas dendam, dia harus menjadi lebih kuat, jauh lebih kuat.
"Di tingkat mana kau berada saat ini?". Tanya Alaric dengan ragu. Roh yang memiliki kecerdasan sangat langka, dia tidak bisa membayangkan keberadaan macam apa yang bisa membuat artefak sampai tingkat seperti ini.
"Karena aku masih memulihkan diri jadi untuk saat ini aku hanya berada di Catalyst stage tuan". Mata Alaric melebar, "Lalu jika kau berada di puncak mu, di tingkat mana kau akan berada?".
"Astral….,"