Chapter 100 - Kehidupan Sehari-Hari (2)

Begitu Siwoo selesai mandi, dia buru-buru berganti pakaian dan melihat jam. Sekitar sepuluh menit telah berlalu. Khawatir Arte mungkin dalam bahaya, ia bergegas ke dapur.

"Loh, kau sudah selesai? Aku bahkan belum selesai masaknya."

"Aku menyelesaikannya dengan cepat, untuk berjaga-jaga…."

"Sudah kubilang jangan khawatir dan santai saja…"

Untungnya, Arte tampak baik-baik saja, mungkin karena dia datang lebih awal, jadi Siwoo menghela napas lega. Ini sudah merupakan suatu kemajuan. Ketika mereka baru saja mulai hidup bersama, masalahnya benar-benar serius.

"Ada apa? Kenapa kamu tiba-tiba diam begitu?"

"Tidak, aku hanya berpikir seberapa jauh perkembanganmu. Pada hari pertama, kondisimu sangat buruk, tetapi sekarang kamu baik-baik saja dengan berpisah selama sekitar sepuluh menit. Ingat itu?"

"… J-Jangan bicarakan itu!"

"Kau bahkan tak bisa menungguku mandi dan harus mengetuk pintu beberapa kali untuk memberitahumu aku ada di sana, kan?"

"Aaaaaaarrrrggggghhhh! Sudah kubilang jangan bicarakan itu!"

Degup, degup.

Tidak mampu menahan rasa malu, Arte memukul punggungnya dengan tangannya yang dipenuhi sihir.

…Itu sungguh menyakitkan.

Sambil mengusap punggungnya yang sakit, dia melihat wajah Arte memerah. Gadis itu melotot ke arahnya seolah menyuruhnya untuk tidak bicara.

…Dia benar-benar lebih baik dari pada sebelumnya.

Dulu, Arte sangat memperhatikan setiap gerakannya.

Sungguh menyedihkan melihat tatapan Arte seolah memohon agar tidak ditinggalkan. Sekarang gadis itu merasa cukup nyaman untuk membalas ketika Siwoo menggodanya.

"Tapi tetap saja, dia masih gelisah saat aku pergi. Sepertinya itu tidak akan berubah."

Sebagai bukti, meskipun Arte tidak menunjukkannya…

Siwoo bisa merasakan suara Arte sedikit gemetar. Matanya tampak panik. Napasnya mulai cepat. Untungnya, Siwoo keluar pada waktu yang tepat; jika dia keluar sedikit lebih lambat, Arte akan kesulitan.

Siwoo tidak bisa membiarkannya berada dalam kondisi itu setelah dia bersumpah untuk membantunya.

"…Arte. Dagingnya gosong, tuh."

"Ah?! W-W-Waaaaah! Awas kau nanti ya!"

'Mungkin aku terlalu banyak menggodanya.'

Karena Arte terus memukul punggungnya, dia merasa punggungnya tidak sanggup bertahan, jadi dia mengalihkan topik soal steak yang sedang dimasak Arte. Melihat Arte tergesa-gesa membalik daging setelah melemparkan peringatan kepada Siwoo, suasana hatinya pun memburuk. Inilah kepribadian aslinya.

Siwoo mengira Arte dari Arachne yang mencurigakan dan dingin adalah dirinya yang sebenarnya, tapi…

Kenyataannya, kepribadian gadis itu tidak berbeda dari orang-orang biasa. Dia tidak sekejam yang dipikirkan orang.

"…Aku tidak bisa memaafkan ini."

Tidak peduli bagaimana dia memikirkannya, Siwoo tidak dapat memaafkannya. Baik fakta bahwa Arte harus melakukan hal-hal seperti itu maupun fakta bahwa dia menderita secara mental.

Ini semua karena 'Author' itu, bukan?

Dia bertanya pada Arte beberapa kali tetapi tidak pernah mendapat jawaban positif.

Arte bilang dia berterima kasih atas kata-kata Siwoo yang menyemangati, tetapi dia mengatakan tidak mungkin Siwoo bisa menang. Arte hanya tahu suara Author. Gadis itu tidak pernah bertemu langsung dengannya dan tidak bisa bertemu dengannya. Jika sang Author serius, dunia mungkin benar-benar kiamat, itulah yang dikatakan Arte. Dia menahan kata-katanya ketika mengatakan hal-hal seperti itu.

Itulah sebabnya Siwoo masih belum tahu bagaimana menolongnya.

Hanya ada satu cara. Untuk meningkatkan kepercayaan Arte kepadanya sehingga dia merasa ingin bercerita lebih banyak tentang sang Author. Itulah sebabnya dia tidak bisa merusak kepercayaan Arte. Karena dia membutuhkan kepercayaannya untuk membantunya.

'...Tapi sudah lebih dari sebulan berlalu sejak aku mulai tinggal bersama Arte.'

Bukankah ini cukup lama?

Siwoo tanpa sadar menatap punggung Arte yang sedang memasak. Tengkuknya yang seputih salju yang sekilas dia lihat… Ah, sial.

"Makanannya sudah si— Hah? Ada apa?"

"Tidak, mataku hanya sedikit lelah."

"…Kita punya blueberry. Mau aku berikan sedikit?"

"Yah. Tolong."

Ini buruk. Dia perlu mendapatkan kepercayaan Arte. Dia berusaha sebisa mungkin untuk tidak menatapnya dengan maksud seksual. Namun tatapannya terus tertuju ke arah sosok gadis itu. Tubuh Arte terlihat sangat lembut. Mungkin baunya harum.

…Akan menyenangkan jika memeluknya.

Pikiran-pikiran seperti itu menjungkirbalikkan kewarasannya, dan dia mencoba beberapa kali untuk mendapatkan kembali akal sehatnya. Siwoo berpikir semakin lama akan semakin sulit ia menahannya.

Jika tak ada yang terjadi di antara mereka, mungkin lebih mudah untuk bertahan. Namun ternyata, Arte dan dirinya sering melakukan kontak fisik, setidaknya itu yang dirasakan Siwoo.

Seorang pria yang tidak pernah berkencan telah melakukan kontak fisik terus-menerus dengan seorang gadis yang tinggal satu atap dengannya.

… Malu rasanya memikirkannya, Siwoo bahkan pernah bersembunyi di lokernya.

Pada hari dia membunuh penjahat itu, Arte memeluknya dari belakang untuk menghiburnya.

Pria itu menggendongnya dan memberinya bantal pangkuan. Dia bahkan menggendongnya dengan pakaian renang. Cukup mudah untuk membayangkan seperti apa lembutnya tubuh Arte, karena Siwoo beberapa kali telah melakukan kontak fisik seperti itu

Berkat sensasi yang tidak perlu itu, kenangan hari-hari itu datang kembali dengan jelas. Pasti akan menyenangkan bisa memeluk gadis itu. Tubuhnya pasti lembut. Pasti wanginya enak, ya? Samponya wangi—sedikit berbeda dari yang dia pakai.

"Ini, makanlah blueberry."

"Ah, terima kasih."

Saat ia memasukkan blueberry yang disuapi oleh Arte ke dalam mulutnya, ia berpikir hal ini tidak dapat dilanjutkan. Celana pendek lumba-lumba dan atasan yang kebesaran yang dikenakan Arte menunjukkan beberapa bagian tubuhnya yang nampak sensual.

Mungkin saja, pakaian itu terasa nyaman bagi Arte, sebaliknya itu adalah pemandangan yang sangat tidak nyaman bagi Siwoo.

"…Mmm, bagaimanapun juga, ini tidak nyaman."

Arte kemudian membalikkan badannya, seolah acuh tak acuh, ia mulai mengikat rambutnya.

"Kalau begitu, tunggu sebentar! Ini akan segera selesai!"

"…Baiklah. Mengerti."

'Aaaarrrggggghhhh! Ini sungguh membuatku gila.'

Yang membuatnya tergila-gila adalah betapa cocoknya penampilan Arte dengan seleranya. Atasan yang longgar dan celana pendek lumba-lumba. Gadis itu mengangkat lengannya untuk mengikat rambutnya, memperlihatkan ketiaknya. Rambut yang diikat itu membuat tengkuknya yang seputih salju terlihat. Pinggangnya yang tampak halus saat disentuh juga terlihat.

Normalnya tidak apa-apa, tapi terkadang, ketika Arte memperlihatkan penampilannya yang ceroboh seperti barusan, itu membuat Siwoo nyaris gila.

Itu tidak baik untuk matanya.

(TN: tahan nafsumu, Wo! Belum buka soalnya.)

Sampai sekarang, pria itu mencoba berpura-pura tidak menyadarinya, tetapi haruskah dia mulai membicarakannya?

"…Arte."

"Ya?"

"Mungkin kau bisa… Umm... Lupakan saja."

Dia bertekad untuk mengatakannya hari ini. Dengan tekad itu, dia berseru, tetapi tekadnya langsung runtuh.

'Bisakah kamu memakai dalamanmu ketika di rumah?'

Tidak mungkin dia bisa mengatakan hal seperti itu. Dia memutuskan untuk menyimpan kata-kata yang hendak diucapkannya untuk dirinya sendiri.

Dia bisa menebak mengapa Arte mengenakan triko di sekolah. Untuk mempermudah pertarungan, dia perlu menggunakan benang di tubuhnya, jadi dia mengenakan pakaian dengan luas permukaan seluas mungkin.

Gadis itu sebisa mungkin tidak ingin menyentuh seragamnya, sehingga Siwoo bisa menebak bahwa dia entah bagaimana membuat benang sebagai kekuatan tempurnya dengan sarung tangan, stoking, dan trikonya

Tetapi tidak mungkin dia bisa mengatakan bahwa dia tahu tentang hal-hal seperti itu. Kalau dipikir-pikir, triko itu adalah pakaian dalam Arte. Dia mengonfirmasinya saat dia memasuki lokernya sebelumnya. Tidak ada apa-apa selain triko di balik seragamnya.

Tetapi bagaimana jika dia, yang seorang laki-laki, mengatakan hal seperti itu kepada Arte?

Arte, pakailah pakaian dalammu ketika di rumah…

'Bagaimana aku bisa mengatakan itu?'

Apa kau gila, Yu Siwoo? Arte mungkin akan mencoba membunuhnya saat itu juga, daripada sekedar menamparnya. Itu sungguh tidak sopan. Siwoo memutuskan untuk menguburnya di dalam hatinya.

Arte mengenakan pakaian yang paling nyaman di rumah. Itu saja sudah cukup. Dia memutuskan untuk tidak menggali lebih dalam.

"Apa?"

"Tidak apa-apa. Ayo cepat makan... Mm, ini lezat seperti biasa."

"Benar? Aku yakin dengan steak buatanku!"

Siwoo mencicipi steak buatan Arte yang sudah dikenalnya setelah memakannya beberapa kali. Dia merasa tatapannya ke arah Arte menjadi semakin mesum akhir-akhir ini. Entah bagaimana ia berusaha menahannya, tetapi semakin lama semakin sulit.

Meski begitu, dia berusaha sekuat tenaga menahan pandangannya ke arah Arte.

"Haah…"

Dia benar-benar tidak ingin mencobanya, tetapi Siwoo memutuskan untuk menggunakan jalan terakhirnya. Bukankah Amelia seharusnya punya beberapa pendapat yang berguna?

Kecurigaan Amelia telah meningkat akhir-akhir ini. Tidak ada gunanya menyembunyikannya lagi. Melihat sosok Arte, Siwoo memutuskan untuk berkonsultasi dengan Amelia besok.

***

"Kupikir kalian berdua terlalu sering bersama akhir-akhir ini."

"Ya ituu…"

"Cukup… Jadi selama ini kecurigaanku benar."

Sambil bergumam seperti itu, Amelia mulai berputar mengelilinginya.

"Aku tidak punya waktu, Amelia. Aku bilang padanya aku akan ke kamar mandi dan mendatangimu. Apa yang harus kulakukan dalam situasi ini?"

"…Kau juga dalam kondisi berbahaya, ya?"

Dia mengabaikan gumaman Amelia yang tidak dapat dimengerti saat dia menatapnya. Dia tidak bisa melakukan konsultasi semacam ini dengan siswi lainnya. Di saat seperti ini, dia merasa beruntung karena Amelia terlibat dalam insiden yang berkaitan dengan Arte.

Kalau dia menceritakan hal itu kepada Dorothy atau siswi-siswi lainnya, mereka pasti akan memperlakukanku sebagai orang mesum atau membuang-buang waktu dengan celotehan penuh semangat. Jika itu Amelia, tidak ada kekhawatiran. Dia bukan tipe orang yang suka melakukan hal-hal seperti itu.

Benar saja, Amelia mengesampingkan semua omongan remeh dan berkata.

"Benar. Pasti merepotkan jika tidak bisa berpisah lebih dari 10 menit di rumah yang sama. Seseorang seperti Arte sudah cukup merepotkanmu."

"Apakah kamu tidak punya ide bagus?"

"Apakah aku terlihat seperti tempat gudang ide bagimu? Apakah menurutmu aku bisa menjawab semua pertanyaanmu?"

Amelia menatapnya seolah tidak mempercayainya.

…Yah. Amelia juga tidak sempurna.

Meskipun gadis pirang itu satu-satunya orang yang dapat ditanyainya mengenai hal ini, berpikir bahwa Amelia mungkin mempunyai solusi yang baik hanyalah asumsinya saja. Baru saat itulah dia menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya.

"Biar kupikirkan sejenak…"

"Sungguh?!"

"…Baiklah. Aku tidak yakin apakah ini akan berhasil atau tidak. Tapi menurutku ini layak dicoba. Mau mencobanya?"

"Katakan padaku. Sekarang juga."

Saat Siwoo menundukkan kepala dengan putus asa, dia mendengar sesuatu seperti harapan. Sekalipun tidak pasti, dia akan melakukannya jika itu pantas dicoba. Entah bagaimana, dia harus punya waktu untuk dirinya sendiri. Dia tidak dapat bertahan lebih lama lagi.

"…Bagaimana dengan ini?"

Penjelasan Amelia berlanjut.

Dan setelah mendengar semua penjelasannya, Siwoo mengangguk.

'Aku tidak yakin apakah itu akan berhasil, tetapi jika memungkinkan, aku harus mencobanya.'

"Yang penting adalah ketulusan. Mengerti?"

"Aku mengerti. Terima kasih."

"Tidak masalah

"…Oh tidak. Ini sudah terlambat. Maaf, Amelia. Sampai jumpa nanti!"

Tiba-tiba melihat waktu, ia mendapati bahwa lebih dari lima menit telah berlalu. Sudah waktunya kembali ke Arte. Siwoo buru-buru mengucapkan selamat tinggal kepada Amelia dan mulai berjalan kembali ke tempat Arte berada.

"… Ada apa dengannya, bertingkah seperti suami yang takut istri? Siapa pun yang melihat itu akan mengira mereka sudah menikah."