Chapter 110 - Perjanjian

"Akhirnya! Mereka membuat kemajuan!"

(Benarkah?!)

(Aku tak menyangka akan memakan waktu selama ini…)

Suara penuh emosi pecah dari berbagai arah.

Mereka yang biasanya suka menggoda gadis polos itu hingga membuatnya kesal, kini bersatu dalam satu rasa: keharuan.

Tak satu pun dari mereka menduga semuanya akan berlangsung selama ini.

Perasaan manusia—siapa sangka butuh waktu sepanjang ini hanya untuk menumbuhkan benih cinta?

"Sudah berapa lama ini berlangsung?"

(Kalau dihitung sejak kau memasukkan si Pembaca itu, sekitar sembilan bulan.)

"Rasanya lebih lama dari yang kupikirkan."

Ia yakin ini sudah berjalan sangat lama.

Ternyata tidak.

(Bagi kita, mungkin sebentar. Tapi untuk manusia, bukankah itu sudah cukup lama?)

(Siapa tahu? Toh, tahu atau tidak tak ada gunanya.)

(Karena kau tidak pernah peduli, semua yang kau sentuh selalu hancur.)

(Apa maksudmu, hah?!)

Mengabaikan perdebatan ribut itu, ia menatap Pembaca.

Mungkin karena detak jantungnya sendiri yang begitu keras,

Pandangan matanya seakan bergetar.

"...Seperti yang diharapkan dari sang Tokoh Utama."

Kalimat kekaguman itu lolos dari bibirnya.

Hanya dengan satu hadiah dan beberapa percakapan ringan—ia mampu mengguncang hati Pembaca sedalam ini.

Padahal gadis suci itu yakin, saat menuliskan latar belakang karakter, tak sekalipun ia menambahkan keahlian ini.

"Si Pembaca... sepertinya belum menyadari."

Cukup terjadi satu kali.

Jika perasaan itu sempat tumbuh walau hanya sesaat, maka sisanya akan mengalir deras seperti arus tak terbendung.

Saat tatapan Pembaca, di tengah ledekan Amelia dan Dorothy, sesekali terarah pada sang Tokoh Utama.

Saat tangannya tanpa sadar membelai hadiah dari Tokoh Utama.

Setiap kali itu terjadi, degup jantungnya bertambah cepat.

Meski dirinya belum menyadarinya, pelan-pelan. Tapi pasti.

Benih-benih perasaan itu tumbuh.

"Sayang sekali harus berhenti di sini..."

Tapi mungkin ini memang yang terbaik.

Si Pembaca bukan tipe yang bisa menerima perubahan mendadak.

Menunggu hingga dia menyadari perasaannya sendiri mungkin pilihan paling bijak.

"Kalau waktu itu aku mengikuti momentum dan memaksanya mengaku..."

"Hei, menurut kalian, apa yang akan terjadi kalau dia juga mengaku?"

(Dia bakal ditolak.)

('Terima kasih atas perasaanmu, tapi maaf.' Mungkin begitu jawabannya.)

"Aku juga merasa begitu."

Sungguh disayangkan bagi mereka yang ingin melihat keduanya bersatu, tapi itulah kenyataan yang tak terhindarkan.

Melihat dari sudut pandang si Pembaca, menerima perasaannya sendiri bukan hal mudah.

Tetap saja, ia menatap Pembaca dengan raut sayu.

Ada perasaan gemas. Ingin mendorong sedikit lebih jauh.

Desah kecil kecewa lolos dari bibirnya. Namun meski kecewa, ia tersenyum.

Kekecewaan tetaplah kekecewaan, tapi...

Rasanya, dengan sedikit dorongan lagi, mungkin semuanya akan bergerak.

Ia merasa lega karena upayanya mendorong Arte untuk bergantung pada Siwoo perlahan-lahan menunjukkan hasil.

(Hei, kekuatanmu masih belum mempan padanya?)

"Hm? Kekuatan apa?"

(Kekuatanmu. Masih belum bekerja pada si Tokoh Utama?)

"Sama sekali tidak. Kenapa?"

(Bagaimana kalau muncul variabel…?)

"Variabel?"

Gadis itu tersenyum cerah.

"Tidak akan ada hal seperti itu."

Si Tokoh Utama memang punya kemampuan: intuisi.

Memang ada pengaturan bahwa kemampuannya akan tumbuh luar biasa suatu hari nanti…

"Kau pikir dia bisa jadi ancaman untuk kita?"

(...Benar juga. Maaf.)

Karena manusia biasa takkan pernah jadi ancaman bagi mereka.

Jadi, tak perlu repot-repot memikirkan hal remeh seperti itu.

******************

"...Grrr."

"Hehe."

Gadis berkerudung itu tertawa cerah.

Seolah melihat anjing besar di hadapannya sangat menggemaskan.

Kalau tak memperhatikan wujud mereka, mungkin orang akan mengira itu momen persahabatan antara gadis dan hewan peliharaan.

Asal tak peduli bahwa si gadis dilumuri hal-hal menjijikkan, dan si "anjing" itu sebesar truk lima ton.

"Kau kuat sekali, ya!"

"Grrr..."

"Iya, iya. Aku tahu. Capek ya, karena manusia terus menerobos masuk ke rumahmu?"

Ia bicara pada monster itu.

Padahal mustahil manusia dan monster bisa saling bicara.

Tapi gadis itu—dengan sikap dan kata-katanya yang seolah tak lagi merasa dirinya manusia—mengelus sisi tubuh makhluk itu dengan lembut.

Tapi monster itu tidak menyerangnya.

Padahal naluri mereka selalu menolak keberadaan manusia.

Meski segala upaya menjinakkan mereka selalu gagal.

Gadis ini membuktikan bahwa itu mungkin.

"Pasti berat, ya? Benar, kan?"

"...Grrr."

"Kalau aku tak kebetulan lewat, mungkin kau sudah celaka. Tenang. Sekarang kau aman."

Ahaha.

Ahahaha.

Gadis itu tertawa seperti orang gila.

"...Berhenti tertawa dan sebutkan tujuanmu."

"Ah, iya. Maaf, Mir."

"Tak apa. Tapi anak ini menunggu."

"Ya… Dengar, maukah kau membantuku?"

"Grrr."

"Hm? Kau tanya apa ini menguntungkan buatmu? Entahlah. Tapi kalau berhasil, manusia takkan bisa masuk ke rumahmu lagi."

"Grrr!"

"...Serius? Kau mau bantu?! Terima kasih!"

Gadis itu tertawa dan berceloteh sendiri.

Seolah bisa benar-benar berbicara dengan monster.

"..."

Seseorang diam-diam menyaksikan semua itu dari kejauhan.

Tapi mungkin bukan "menyaksikan"—melainkan "sekarat."

"...Kau juga punya banyak teman ya? Sampai-sampai manusia terus mencarimu. Tenang! Aku akan bantu!"

Hari itu dimulai seperti biasa—misi membunuh monster.

Memang sempat kesulitan, tapi ia hampir selesai, tinggal pulang ke markas.

…Sampai gadis gila itu muncul entah dari mana dan membantai seluruh timnya dalam sekejap.

Semuanya terjadi terlalu cepat. Tak seorang pun sempat bereaksi.

Ia sendiri hanya selamat karena secara refleks memutar tubuhnya.

Teman-temannya… tak satu pun yang membuka mata. Mungkin mati seketika.

Ia pun tahu, waktunya sudah dekat.

Darah terus mengalir dari perutnya, pikirannya mulai kabur.

"Pusat… Pusat… Tolong jawab…"

Ia selalu siap mati.

Di medan perang, mereka yang tidak siap mati tak akan bertahan lama.

Tapi ada satu hal yang lebih ia takuti dibanding kematian:

Tak bisa menyampaikan apa yang terjadi.

Tak bisa memberitahu yang lain soal bencana ini.

"Pusat… Ini Tim 2… Tolong jawab… Cepat…"

-Bzzt bzzt… Ada apa? Bukannya kalian bilang sudah mau balik?—

"...!"

Akhirnya terhubung.

Ia bisa menyampaikan pesannya!

"Situasi tak normal. Seorang gadis berkerudung, tinggi sekitar 150 cm, menyerang dari belakang. Tim 2 musnah. Gadis itu..."

-A-apa?! Musnah?! Apa maksudmu itu…—

"Dia tampaknya bisa berkomunikasi dengan monster! Tubuhnya penuh hal-hal menjijikkan—"

Duk.

-Apa suara itu barusan?! Hei! Jawab! Kau masih hidup? Jawab!!—

Itulah akhir dari semuanya.

Kepingan terakhir informasi yang berhasil ia sampaikan… sebelum napas terakhir.

"Menyebut temanku menjijikkan, itu kasar, tahu. Betapa tidak sopan."

Crack. Crack.

Gadis itu menginjak alat komunikasi dengan kesal.

Radio militer yang seharusnya tahan segala medan itu hancur jadi serpihan hanya dalam beberapa injakan.

"Yuk, anjing besar. Ayo makan sedikit saja, lalu kita pergi. Kurasa kita harus pindah tempat."

"...Grrr."

"Aku kebanyakan ngoceh tadi, kupikir dia sudah mati."

Tak lama setelah itu…

Tim penyelamat yang datang tergesa-gesa hanya menemukan sisa-sisa Tim 2 dalam kondisi yang mengerikan.

************#*

(Hehe, Pembaca-nim. Aku datang~)

"…?"

Halusinasi?

Suara itu… suara yang kupikir takkan pernah kudengar lagi.

Aku celingukan. Siwoo sedang mandi. Di sini tak ada siapa-siapa.

Apa-apaan ini?

(Pembaca-nim? Aku di sini. Apa alat ini nyala...? Pembaca-nim?)

"Haaah. Bosan."

Aku menekan tombol remote TV secara acak, tapi tak ada yang menarik.

Kapan Siwoo keluar, sih?

Berada terpisah walau sebentar saja terasa berat.

"…"

Tanpa sadar, saat merasa kesepian, aku mengelus gelang di pergelangan tanganku.

Keheningan itu pecah oleh kehangatan yang merambat.

Gelang ini… selalu membuatku merasa tak sendiri.

"...Hehe."

Sudah berapa kali aku tertawa sendiri hanya karena melihat gelang ini?

Dorothy dan Amelia sudah berkali-kali menggodaku gara-gara ini. Tapi aku tak peduli.

Kalau melihat ini saja bisa bikin senyum, ya kenapa harus ditahan?

"Kapan dia keluar, sih…"

Rasanya gelisah kalau Siwoo tak ada. Tapi aku tak takut lagi.

Karena dia bilang… dia pasti akan datang untukku.

Jadi walau seberat apa pun nanti, aku tidak akan cemas lagi.

(Uwaaaaaah…! Pembaca-nim!! Jangan abaikan aku!!)

"...Astaga, kaget aku. Ternyata nyata."

(Uwaaaaaaah!)

Kupikir tadi cuma halusinasi. Tapi ternyata benar—si Penulis muncul lagi.

Sial… Aku sudah cukup menikmati waktu tanpanya.

Suara nyaring itu membuat kepalaku pening.

(TN: ngerusak suasana sumpah)