Bayang-bayang di Balik Kabut

Kegelapan mulai menyelimuti saat malam mendekat. Setelah seharian berjalan, mereka memutuskan untuk berhenti sejenak dan beristirahat di dekat sebuah pohon besar yang letaknya tak jauh dari celah misterius yang baru saja mereka lewati. Dikelilingi pepohonan tinggi yang menutup pandangan ke langit, suasana malam terasa lebih pekat dan hening. Hanya suara jangkrik dan sesekali hembusan angin yang membuat dedaunan berbisik lembut.

Caca duduk sambil merapikan kameranya, wajahnya masih menunjukkan keceriaan meski matanya tampak lelah. Sementara Bayu sibuk menyiapkan api unggun kecil agar mereka bisa sedikit hangat di tengah dinginnya malam pegunungan. Adi, dengan teliti memeriksa peta kecil yang ia bawa, mencoba memastikan rute esok hari. Xio dan Zena duduk bersisian, terdiam namun waspada, memperhatikan sekitar dengan perasaan tak tenang yang sulit dijelaskan.

"Ada yang merasa kalau tempat ini agak… aneh?" tanya Salsa, memecah keheningan. Suaranya bergetar pelan, seolah takut pada jawabannya sendiri.

Adi mengangguk pelan, "Aku juga merasa begitu. Entah kenapa, suasana di sini terlalu sunyi. Tapi, kita harus tetap fokus dan jangan sampai terpisah."

Xio, yang biasanya tenang, tiba-tiba mengangkat tangan, menyuruh semuanya diam. "Ssst… dengar."

Semua terdiam. Perlahan, mereka mendengar suara lembut yang tak jelas datangnya dari mana. Suara itu seperti bisikan, samar-samar terdengar seperti seseorang yang menangis, namun begitu pelan seolah hanya sekadar angin yang melewati mereka. Detak jantung keenam sahabat itu terasa makin cepat.

"Siapa yang menangis?" bisik Caca dengan suara bergetar, matanya melirik ke arah Bayu dengan ketakutan.

"Aku nggak yakin…" balas Bayu, mencoba tetap tenang walaupun sorot matanya menunjukkan ketakutan yang sama.

Tiba-tiba, di antara kabut yang menggantung rendah di balik pepohonan, terlihat sosok tinggi berjubah putih, bergerak perlahan ke arah mereka. Sosok itu berwarna pucat, tubuhnya dibungkus kain yang lusuh dan kotor, dan yang membuat bulu kuduk mereka meremang adalah wajahnya yang tertutup rapat oleh kain. Seketika itu, keenam sahabat terdiam dalam ketakutan yang luar biasa.

"Ap—apa itu?" bisik Zena dengan suara terputus, matanya membelalak ke arah sosok yang perlahan bergerak makin dekat.

Bayu, yang biasanya paling berani, kini hanya bisa bergeming, mematung menatap sosok tersebut. Sosok itu tampak semakin jelas, kain putih yang membalut tubuhnya melambai pelan mengikuti gerakannya, membuat tubuhnya terkesan melayang tanpa menginjak tanah. Mata keenam remaja itu terpaku pada satu hal: hantu pocong.

Caca mulai merasakan tubuhnya gemetar, dan tanpa sadar ia menarik lengan Xio dengan erat, mencari perlindungan. Suasana menjadi semakin tegang. Adi, yang seharusnya bertindak sebagai pemimpin, bahkan merasa kakinya tak bisa bergerak. Kengerian yang ia rasakan kini tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Salsa, yang biasanya pemberani, kini hanya bisa memejamkan mata, berharap sosok itu hilang begitu saja. Tetapi ketika ia membuka matanya lagi, sosok pocong itu malah semakin dekat, melayang perlahan ke arah mereka, seolah tahu bahwa keenam sahabat itu sedang terjebak dalam ketakutan tanpa jalan keluar.

Xio, dengan suara bergetar, akhirnya berbicara. "Kita… harus pergi dari sini."

Namun, sebelum mereka sempat bergerak, sosok pocong itu berhenti di depan mereka, hanya beberapa langkah jauhnya. Udara di sekitar mereka terasa semakin dingin, dan setiap napas mereka terlihat seperti asap putih yang tipis. Di tengah keheningan yang mencekam, terdengar suara lembut namun mengerikan, seolah berasal dari sosok itu sendiri.

"Kalian… tidak seharusnya berada di sini…"

Suara itu bergema di antara pepohonan, menembus keheningan malam. Setiap kata yang diucapkan sosok pocong itu seperti menusuk ke dalam pikiran mereka, membuat ketakutan mereka semakin mendalam.

Adi mencoba mengumpulkan keberaniannya, meskipun suaranya terdengar goyah, "Maafkan kami… kami tidak tahu bahwa tempat ini terlarang…"

Namun sosok itu hanya terdiam, tidak bergerak, seolah-olah sedang menatap mereka meski wajahnya tertutup rapat. Perlahan, tangan sosok pocong itu terangkat, menunjuk ke arah celah batu yang tadi mereka lewati, seakan memberi isyarat kepada mereka untuk kembali ke sana.

Zena yang cerdas mulai menyadari maksudnya. "Mungkin… mungkin ini peringatan. Dia ingin kita kembali, untuk meninggalkan tempat ini."

Bayu mengangguk setuju, wajahnya sudah pucat pasi. "Aku juga rasa begitu. Kita nggak boleh lanjut ke depan."

Namun, tepat ketika mereka hendak mundur, suara tangisan lembut itu kembali terdengar, kali ini jauh lebih dekat. Dari balik kabut tipis yang menyelimuti pepohonan, terdengar langkah-langkah pelan yang mendekat, seolah ada lebih dari satu sosok yang datang menghampiri mereka.

"Kita harus pergi sekarang!" seru Adi, kali ini tanpa keraguan. Ia meraih tangan Caca yang masih gemetar dan menariknya untuk berlari.

Keenam sahabat itu berlari meninggalkan tempat itu, menembus hutan dalam kegelapan, sementara suara-suara aneh terus bergema di sekitar mereka. Rasanya seperti mereka sedang dikejar oleh sesuatu yang tak kasat mata, sesuatu yang menuntut mereka untuk keluar dari tempat itu.

Langkah mereka semakin cepat, napas mereka tersengal-sengal, namun mereka tidak berani berhenti atau menoleh ke belakang. Hanya satu tujuan mereka sekarang: keluar dari hutan dan menemukan jalan pulang.

Setelah berlari cukup jauh, mereka tiba di sebuah tempat yang lebih terbuka, jauh dari pohon-pohon yang rimbun. Mereka terhenti, mengatur napas sambil mencoba menenangkan diri. Suasana menjadi lebih tenang, dan suara aneh yang tadi mereka dengar kini sudah menghilang.

Xio akhirnya berbicara dengan suara rendah, "Kita tidak seharusnya melanjutkan pendakian ini. Gunung ini bukan tempat yang bisa kita anggap enteng."

Adi mengangguk, kali ini tanpa bantahan. "Kalian benar. Ada alasan kenapa gunung ini disebut Gunung Larangan. Kita seharusnya mendengarkan peringatan itu dari awal."

Namun, di tengah perbincangan mereka, terdengar suara langkah pelan dari balik pepohonan. Mereka langsung terdiam, saling menatap dengan ekspresi takut dan penuh tanda tanya.

Saat itulah, di antara bayang-bayang gelap pepohonan, terlihat lagi sosok putih itu. Kali ini sosoknya hanya diam mematung, jauh di belakang mereka, seperti sebuah bayangan yang terus mengawasi.

"Kita… kita harus pergi sekarang," ucap Salsa, suaranya hampir tak terdengar.

Keenamnya akhirnya setuju. Mereka memutuskan untuk kembali ke bawah, meninggalkan Gunung Larangan dan segala misterinya. Tapi, jauh di dalam hati mereka, perasaan takut itu belum benar-benar hilang. Sosok pocong yang muncul dalam keheningan malam seolah meninggalkan tanda peringatan bagi mereka, sebuah pesan bahwa gunung ini memang menyimpan rahasia yang sebaiknya tidak diganggu.

Di dalam keheningan malam, keenam sahabat itu berjalan turun dengan perasaan campur aduk. Mereka tahu bahwa pengalaman ini tak akan pernah terlupakan, namun satu hal pasti: misteri Gunung Larangan bukanlah sekadar cerita. Dan mereka baru saja menjadi bagian dari kisah itu.