Saat Arthur dan Tyrell sudah cukup jauh dari tempat sebelumnya, mereka pun berhenti dan istirahat sebentar, tak sadar waktu telah berlalu cukup lama, Langit sudah hampir gelap.
Arthur yang kelelahan secara fisik dan mental pun mulai perlahan menutup matanya dan tertidur disamping Tyrell, dan Tyrell pikir Arthur hanya kelelahan biasa, tapi mulai dari situ Arthur mulai sedikit demi sedikit berubah
Tyrell pun melindungi Arthur dengan pelindung angin nya agar baik baik saja, Tyrell menjauh sekitar 5 meter dari Arthur, di gelap malam yang gulita, keadaan sekitar sangat gelap, mereka hanya diterangi oleh cahaya bulan yang baru saja muncul,
Dengan tenang Tyrell berpikir, "Sebenarnya apa yang terjadi sekarang,
Aku sangat bingung dengan keadaan ini". Dia pun memegang pohon dan mencoba memahami apa sebenarnya kemampuan dia mengendalikan angin semata? atau tidak?
Tyrell masih terpikir dengan Orang-Orang tadi yang menghampiri mereka berdua saat Tyrell menghabisi para Goblin, "Siapa sebenarnya orang-orang itu?,
Aku tidak yakin jika mereka tidak akan membunuh Aku dan Arthur ketika mereka menemukan Kami,
Sebaiknya Aku harus segera memahami apa sebenarnya yang terjadi dengan Dunia, dan yang paling penting...
Kenapa Aku mempunyai kemampuan ini dari dulu pasti ada hubungannya dengan ini".
Lalu Tyrell membuka telapak tangannya, napasnya pelan dan teratur. Ia mulai memanipulasi udara di sekitarnya—menarik partikel oksigen dan karbon dioksida ke satu titik, tepat di atas kulitnya.
Dari kehampaan, ia menciptakan metana. Gas itu tidak berasal dari alam, melainkan hasil dari kehendaknya, dibentuk langsung dari partikel-partikel energi yang dikompres menjadi bentuk baru. Oksigen, karbon dioksida, dan metana—semuanya kini melayang kecil, nyaris tak terlihat, menari di atas telapak tangannya.
Dengan gerakan halus, ia menggesekkan oksigen dan karbon dioksida itu dengan metana. Reaksi pun terjadi.
*Craaak.*
Sebuah percikan kecil menyala. Api muncul, biru dan panas—namun hanya sesaat.
Nyala itu padam, seolah tersapu angin yang tak terlihat.
Tyrell menelan pelan. Fokusnya terpecah. Lagi.
Ia mencoba lagi... dan lagi... Tapi setiap kali api terbentuk, ia kehilangan kendali hanya dalam beberapa detik.
"Kenapa...," ucap nya menatap tangannya sendiri.
"Bukan karena kurang kekuatan... tapi pikiran ini belum cukup tenang."
Akhirnya, Tyrell berhasil. Api yang sebelumnya selalu gagal ia pertahankan kini menyala stabil di telapak tangannya.
Ia menjaga gas metana tetap terkonsentrasi di tengah, sementara oksigen mengalir mengelilinginya seperti pusaran tak kasatmata. Suhu naik.
Warna api berubah—dari jingga biasa menjadi biru menyala, lalu merambat dan membesar.
Apinya tumbuh...
Sebesar kepala manusia.
Lalu sebesar anak sapi.
Dan terus membesar, hingga seukuran gajah, berputar di atas tangannya seperti makhluk hidup yang buas namun tunduk.
Udara di sekeliling mulai bergelombang karena panas. Rerumputan menunduk. Dahan-dahan bergoyang, bukan karena angin, tapi karena tekanan energi.
Namun tiba-tiba—
*Sszzhhk!*
Tyrell mematikan apinya. Seketika.
Bukan karena kehabisan tenaga, bukan karena gagal. Tapi karena ia mendengar sesuatu.
Suara ranting patah... dari balik semak-semak di kejauhan.
Matanya menyipit. Fokusnya beralih. Tangannya mengepal.
"Aku tahu kau di sana," ucap nya pelan.
Ternyata hanya seekor serigala.
Kurus, pincang, dan sekarat. Matanya keruh, nafasnya berat. Ia tak menunjukkan tanda-tanda agresi—hanya menatap Tyrell sejenak, lalu menjatuhkan tubuhnya di bawah semak.
Tyrell tak bergeming. Ia menatapnya sebentar, lalu membiarkannya pergi menuju ajalnya sendiri.
Tanpa berkata apa pun, Tyrell berbalik.
Ia melangkah kembali ke tempat Arthur tertidur—masih terlelap di bawah pohon besar, tubuhnya bersandar dengan jaket menyelimuti separuh wajah.
Tyrell duduk bersila tak jauh dari sana.
Ia menutup matanya perlahan, menarik napas panjang, dan mengangkat telapak tangan kanannya. Kali ini lebih tenang. Lebih fokus.
Oksigen dan karbon dioksida ia tarik ke pusat. Ia menciptakan gas hidrogen dari gabungan partikel, lalu menstabilkannya dengan susunan partikel yang teliti. Satu percikan kecil, satu gesekan halus antara gas-gas yang ia kendalikan, dan nyala api pun muncul.
Bukan ledakan.
Bukan kobaran liar.
Melainkan api yang hidup... tenang, namun panas. Ia menjaga bentuknya, menahannya tetap stabil, tak lebih besar dari buah apel.
Waktu berlalu.
Langit yang gelap mulai semburat ungu, lalu perlahan menguning.
Burung-burung mulai berkicau di kejauhan, dan embun menggantung di ujung daun.
Jam tangan Arthur yang tergantung di ranting berdetik ke angka 05:10. Hari kedua.
Arthur membuka mata perlahan—dan langsung membeku.
Di hadapannya, Tyrell duduk diam, mata tertutup, keringat menetes dari pelipis, dan api biru berputar pelan di telapak tangannya.
“…Tyrell?” ucap nya pelan, nyaris tak percaya.
Tyrell tak menjawab. Ia masih tenggelam dalam konsentrasi. Dan untuk pertama kalinya, Arthur melihat—temannya itu benar-benar serius.
"Sepertinya dia sedang fokus berlatih..." bisik Arthur pelan, melihat Tyrell yang masih duduk bersila dengan mata terpejam, api berputar tenang di telapak tangannya.
Arthur menoleh ke arah danau yang terhampar di kejauhan, permukaannya tenang dan memantulkan cahaya pagi yang lembut.
"...Sebaiknya aku mandi dulu di sana," ucap nya, lalu berdiri dan melangkah pelan agar tak mengganggu.
Ia menyeberangi rerumputan yang mulai basah oleh embun, lalu tiba di tepian danau. Setelah memastikan sekitarnya aman, Arthur membuka jaket dan bajunya satu per satu, melepas juga kain penekan dada yang dikenakannya.
Dengan gerakan tenang, ia membilas pakaiannya di air danau yang dingin, memanfaatkan kemampuan Water Control miliknya yang dia lihat di mimpi nya untuk memutar aliran air dan menyapu kotoran dari serat kain. Setelah selesai, ia memerasnya dengan teknik yang sama dan menjemurnya di ranting pohon terdekat.
Sekarang, Arthur hanya mengenakan kain penekan dada dan celana panjang tipis. Ia duduk bersandar di dekat pakaian yang dijemur sambil memandang langit yang mulai cerah.
"Sepertinya ini akan cukup lama untuk kering..." katanya pelan sambil mengamati bajunya yang menetes perlahan.
Sementara itu, Tyrell masih duduk bersila di tempatnya. Keringat membasahi pelipis dan lehernya, menetes perlahan saat ia terus mempertahankan nyala api yang stabil di telapak tangan kanannya. Api itu berputar lembut seperti trenggiling yang berputar, jinak tapi jelas menyimpan kekuatan.
Di saat yang sama, ia memusatkan fokus pada tangan kirinya—menumpuk partikel hidrogen dan oksigen, mencoba membentuk air dari udara di sekelilingnya. Sekilas, butiran cair mulai muncul… namun belum sempat ia menstabilkannya, air itu meledak ringan dan memercik ke wajahnya.
Tyrell tak bergeming. Ia hanya berkedip sekali, lalu kembali memusatkan perhatian. Api di tangan kanannya tetap menyala, menjadi jangkar bagi kesadarannya, sementara ia mencoba lagi dan lagi membentuk air di tangan kirinya. Berkali-kali, hasilnya sama—gagal. Air tak mau bertahan.
Namun ia tak menyerah.
Waktu terus bergulir. Empat jam penuh ia habiskan dalam keheningan, hanya ditemani gemericik embun pagi dan detak jantungnya sendiri. Hingga akhirnya, ia berhasil—selama lima detik, nyala api dan segumpal air kecil muncul bersamaan, seimbang, tak saling meniadakan.
Seketika matanya terbuka, dan untuk pertama kalinya pagi itu, sudut bibirnya terangkat.
"Akhirnya… aku menyelesaikan ini", ujar Tyrell dalam hati, puas namun masih merasa harus ada kemajuan lainnya.
Tyrell membuka matanya perlahan. Nafasnya terengah, dan keringat mengucur deras dari dahinya—panas dari api yang ia ciptakan sendiri membungkus tubuhnya seperti kabut yang membakar.
Tapi bukan itu yang membuat dadanya tiba-tiba sesak.
Ia menoleh ke sekeliling.
Arthur tak terlihat di mana pun.
"Di mana dia?", ucap nya, sedikit panik.
Tanpa membuang waktu, Tyrell memejamkan matanya lagi, kali ini bukan untuk melatih kekuatan, tapi untuk merasakan dunia. Ia memusatkan kesadarannya, menangkap getaran-getaran halus dari gelombang dan partikel di udara. Perubahan sekecil apapun—daun yang bergeser, air yang beriak, tanah yang diinjak—tak luput dari perhatiannya.
Dan di kejauhan, di sisi kiri seberang danau, Tyrell merasakan keberadaan Arthur. Gerakan lembut, seperti seseorang yang sedang berjalan tanpa tergesa, berasal dari balik pepohonan.
Hutan.
Arthur ada di sana.
*Duar!*
Suara ledakan kecil menggema dari balik pepohonan. Tyrell langsung menoleh, waspada. Tapi saat ia melihat jelas sosok Arthur berdiri di sana, melemparkan air ke arah pohon, kekhawatiran itu berubah jadi senyum kecil.
Arthur sedang berlatih. Ia menggunakan teknik Normal Flowing Water—sebuah kemampuan yang ia pelajari dari mimpinya. Air yang ia kendalikan meluncur cepat dan menghantam pohon dengan suara keras, meskipun bentuknya terlihat belum sepenuhnya stabil.
Ia tampaknya tengah melatih kapasitas mana-nya, mencoba mengembangkan teknik itu lebih jauh. Di Stats Window, ada cara untuk jadi lebih kuat selain menaikkan level—yaitu kerja keras, latihan, dan disiplin.
Tyrell mengangkat alis dan menyeringai.
"Kupikir dia dimakan monster", ucap nya sambil nyengir, "Ternyata dia latihan juga".
*Duar!*
*Duar!*
*Duar!*
Suara ledakan kecil terus bergema di tengah hutan, berulang hingga dua belas kali. Percikan air menghantam pohon-pohon, menyisakan bekas lembab dan serpihan kayu yang terbelah.
Arthur berdiri terengah-engah. Keringat menetes dari dahinya, dadanya naik turun cepat.
"Ini masih belum cukup...", katanya dalam hati, menggertakkan gigi.
"Aku belum cukup kuat... untuk melindungi satu-satunya temanku".
*Duar!*
*Duar!*
*Duar!*
Ledakan itu berlanjut, kali ini mencapai dua puluh kali. Setiap lontaran air semakin tak stabil, tekniknya mulai goyah.
"Sialan... kenapa cuma naik 30 Mana selama dua jam!?" bentaknya dengan frustrasi.
"Sistem sialan ini...!"
Ia mengepalkan tangan. Namun setelah beberapa tarikan napas dalam, Arthur menenangkan dirinya dan mulai berjalan kembali, menyusuri jalan setapak menuju tempat Tyrell.
Latihan ini belum selesai... tapi aku tak boleh kehilangan akal karena kelelahan, pikirnya dalam diam.
3 jam yang lalu
Arthur melihat bajunya yang dijemur sudah kering. Tanpa membuang waktu, ia segera memakainya kembali. Angin pagi berembus pelan melewati hutan, membawa aroma embun dan daun yang masih basah.
Tiba-tiba, ia mendengar suara samar dari kejauhan.
“Wooooaaaaggggghhhh…”
Suaranya sangat kecil, seperti teredam jarak yang jauh—namun cukup untuk membuat tubuh Arthur gemetar sejenak.
"Huh? Sepertinya itu suara naga sialan kemarin yang membuatku ketakutan", ucap nya, suara kesal terdengar dari nada bicaranya.
Ia mengepalkan tangan dan menatap ke arah suara, meski ia tak bisa pastikan dari mana datangnya.
"Sepertinya aku harus latihan lebih keras... agar bisa mengalahkan naga itu suatu hari nanti".
Kali ini, rasa takut yang dulu membekas mulai digantikan tekad yang perlahan tumbuh.
Arthur berjalan ke sisi lain dari danau, ke area yang dipenuhi beberapa pohon kecil dan satu pohon besar yang berdiri mencolok. Ia memutuskan menjadikan pohon besar itu sebagai objek latihannya.
Selama dua jam penuh, ia terus melatih sihir airnya—berusaha menstabilkan aliran, menambah tekanan, dan mengatur arah lemparan. Keringat menetes, tapi semangatnya tak surut.
Setelah merasa cukup, Arthur akhirnya kembali ke tempat Tyrell.
Sementara itu, Tyrell masih menunggu, duduk bersila di atas tanah. Kedua tangannya terangkat, telapak tangan kanannya tetap menyala dengan api yang telah ia kuasai sebelumnya. Tapi kali ini, dia ingin melangkah lebih jauh.
Dengan fokus yang lebih tajam, Tyrell mencoba mengompresi api itu—mengendalikan intensitasnya, memadatkan energi panasnya hingga ukurannya mengecil, namun suhunya justru meningkat drastis.
Tali api yang biasanya meliuk liar mulai terkumpul rapi, membentuk bola kecil berwarna oranye pekat dengan inti berkilau kebiruan.
"Ternyata… bisa kubentuk menjadi bola", ucap nya pelan, tak menyembunyikan rasa puasnya.
Api itu kini bukan hanya sumber panas—melainkan senjata, bentuk kontrol, dan bukti bahwa ia makin mahir menguasai elemen.
Arthur akhirnya muncul dari balik pepohonan, rambutnya sedikit basah oleh keringat dan napasnya masih teratur setelah latihan.
"Hei, Tyrell! Apa yang kau lakukan?" tanyanya sambil melangkah mendekat, mata tertarik pada cahaya menyala di tangan sahabatnya itu.
Tyrell mengangkat telapak tangan kanannya, menampilkan bola api kecil yang tampak berdenyut pelan seperti jantung hidup.
"Aku lagi mengendalikan bola api ini", jawabnya singkat.
Arthur menyipitkan mata. "Aku bisa merasakan panasnya dari sini".
"Iya, karena aku mengompres apinya. Jadi, lebih kecil tapi jauh lebih panas", jelas Tyrell tanpa mengalihkan pandangan dari bola api itu.
Arthur menatap bola itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Hmm… apa itu bisa dilempar?"
Tyrell mengangguk pelan, lalu menggeleng. "Aku tidak tahu."
Ia tersenyum tipis, lalu memindahkan berat badannya ke depan. "Tapi… aku akan mencobanya."
Dengan gerakan cepat dan terarah, Tyrell melemparkan bola api itu ke depan. Pada saat bersamaan, ia juga melepaskan kontrolnya atas energi di dalamnya—membiarkannya bebas untuk pertama kalinya.