Saat Tyrell melepaskan bola api itu, bola tersebut meluncur cepat seperti batu yang dilempar kuat, melintasi udara sejauh hampir dua puluh meter ke arah dataran terbuka yang tak terlihat pohon satu pun.
Wuuuuuusssshhhhh!
Sesaat kemudian—BOOM!
Sebuah ledakan api meledak hebat di titik jatuhnya. Cahaya oranye menyebar ke segala arah, disertai gelombang panas yang terasa hingga ke tempat mereka berdiri. Radius ledakan mencapai sepuluh meter, membakar rerumputan dan meninggalkan bekas hangus yang dalam di tanah. Asap tipis mengepul naik, membentuk siluet abu-abu di bawah langit pagi yang mulai cerah.
Arthur melongo, mulutnya terbuka lebar.
"…Itu luar biasa."
Tyrell hanya menatap bekas ledakan itu dengan napas sedikit berat, keringat menetes di pelipisnya.
"Jadi… ternyata bisa."
Senyumnya muncul perlahan—campuran kepuasan, kelelahan, dan rasa kagum terhadap kekuatan yang baru saja ia kendalikan.
"Gilaa… itu sangat besar," ujar Arthur masih terkejut. Matanya tak lepas dari bekas ledakan di tanah.
"Dan lagi, aku merasakan panasnya walau kita berjarak sepuluh meter."
Ia menggelengkan kepala pelan.
"Apa-apaan itu… Padahal kupikir cuma bakal seperti ledakan petasan kecil."
Tyrell meliriknya sambil menyeringai. "Apanya yang kecil? Kalau aku tidak mengontrol dengan tepat, mungkin radiusnya bisa dua kali lipat."
Arthur menghela napas. "Kau ini sepertinya akan jadi jauh lebih kuat nanti. Aku saja masih level dua… dan kau udah bisa bikin ledakan kayak gitu."
Ia bangkit dan menepuk-nepuk celananya. "Sekarang coba kau gunakan elemen airmu. Penasaran juga aku, apa yang terjadi kalau dikompres."
Tyrell mengangguk. "Iya juga, ya. Baiklah, aku akan mencoba mengompres elemen airku."
Ia mulai mengalirkan mana ke tangan kirinya. Partikel-partikel oksigen dan hidrogen mulai terikat dalam susunan molekuler yang rapat. Namun berbeda dari api yang menyala dengan agresif, air terkompresi terasa lebih… tenang. Stabil, tapi tidak mengancam.
"Hmm… sepertinya elemen air yang terkompres kurang efektif untuk menyerang secara langsung," ucap Tyrell sambil memperhatikan bulir cairan yang berputar padat di telapak tangannya.
Arthur memilih duduk tak jauh dari Tyrell. Ia mengambil posisi meditasi, menutup mata, dan mulai memfokuskan pikirannya. Aliran mana di tubuhnya berdenyut pelan.
"Aku akan melatih Singularity Mana," pikirnya dalam hati."Kalau aku bisa menaikkan level Mana Regen, setidaknya aku bisa terus bertarung lebih lama…"
Tyrell perlahan mengangkat tangan kanannya. Di atas telapak tangannya, partikel oksigen dan hidrogen mulai bergerak cepat, membentuk pusaran air mini yang mengalir memutar dengan presisi. Ia meniru teknik Arthur, menciptakan bentuk
Di sisi lain, Arthur masih tenggelam dalam meditasinya, menyatu dengan aliran mana dalam tubuhnya.
Namun di sela keheningan latihan itu—daun-daun bergemerisik.
Tyrell membuka sebelah matanya perlahan. Ia merasakan gerakan tak wajar dari arah semak belukar. Gelombang partikel yang menyimpang di udara mengonfirmasi firasatnya.
“Satu lagi… goblin terakhir dari kemarin,” ucap Tyrell dalam hati.
Dalam sepersekian detik, ia mengalihkan konsentrasi dari air di tangan kanannya, lalu mengumpulkan seluruh partikel oksigen dan karbon di sekitar area itu. Api menyembur hebat di udara terbuka—sebesar gajah—namun itu hanya permulaan.
Tyrell memfokuskan seluruh kendalinya. Api raksasa itu mulai dipadatkan, dikompres menjadi massa energi panas yang padat, dan dikendalikan untuk berubah bentuk. Ia membayangkan pedang, bentuk yang sering ia lihat dalam berbagai game. Lekukan bilah, bentuk gagang, keseimbangan bobot—semuanya ia bentuk dalam pikirannya.
Api itu menyusut, berputar, lalu perlahan membentuk bilah yang tajam. Warnanya bukan oranye biasa—melainkan merah keputihan, seperti logam cair yang baru dikeluarkan dari tungku.
Akhirnya, di tangan kirinya, terbentuk pedang api terkompresi. Panasnya luar biasa, bahkan tanah di bawah kakinya mulai menghitam.
Tyrell berdiri pelan.
Sambil tetap mempertahankan pusaran Flowing Water di tangan kanannya, Tyrell melangkah maju dengan tenang. Pedang api di tangan kirinya menyala seperti matahari mini, berdenyut halus tapi mengancam. Ujung bilahnya bergetar halus, pertanda bahwa panas di dalamnya hampir mendekati batas kritis.
Goblinnya melompat dengan teriakan kasar, kapak karatan terangkat tinggi, siap menebas kepala Tyrell dari atas.
Tyrell tidak bergeming.
Seketika, ia mengayunkan pedang apinya dengan satu gerakan cepat.
ZRAAAKKKK!!!
Bilah api melintas secepat kilat. Udara menguap seketika di jalurnya. Tubuh goblin itu terhenti di tengah lompatan—lalu terbelah rapi menjadi dua bagian, seperti dipotong oleh laser kelas industri.
Tubuhnya jatuh ke tanah, tak sempat menjerit.
Tyrell menatap hasilnya. Ujung pedangnya masih menyala terang, tapi suhu di sekitarnya terasa… biasa saja.
“Sepertinya ini sangat panas,” ucapnya.
Ia menggenggam gagang pedang lebih erat, memperhatikan kulit tangannya yang bahkan tidak terbakar.
“Tapi… kenapa aku tidak merasakan panasnya?”
Tyrell menurunkan pedangnya perlahan. Api yang menyelimuti bilah itu mulai meredup, lalu menghilang sepenuhnya, meninggalkan hanya jejak panas samar di udara.
Namun, kulitnya tetap tidak terluka. Tak ada lecet, tak ada keringat yang mengucur karena suhu ekstrim dari api sebesar gajah yang tadi ia kompres menjadi sebilah pedang. Ia berdiri tegak, nyaris tak terpengaruh oleh panas yang seharusnya mampu melelehkan logam.
Angin tipis berputar pelan di sekeliling tubuhnya, nyaris tak terlihat—namun terasa.
“Apa karena kemampuan perisai ini ya…” ucap Tyrell sambil melihat tangannya.
Dia menyadarinya.
Sejak awal dia menyiapkan
Panas yang mendekat dibelokkan. Dingin yang menggigit ditolak.Efek sampingnya: Ia bisa berdiri hanya beberapa sentimeter dari kobaran api super panas, dan tetap merasakan seolah-olah sedang diterpa angin sejuk pegunungan.
Tyrell menatap telapak tangannya, melihat sisa-sisa partikel api yang belum sepenuhnya hilang.
“Kalau bisa kugabungkan ini dengan Water Control…” Ia tersenyum tipis.
“Mungkin aku bisa membuat sesuatu yang benar-benar... destruktif.”
Arthur berdiri mematung. Tubuhnya masih bergetar ringan karena peningkatan mana yang sangat besar secara tiba-tiba. Rasa seperti tersambar petir—tapi menyegarkan.
Cahaya biru samar masih mengelilingi tubuhnya, perlahan memudar. Udara di sekitarnya bergelombang, seolah menyesuaikan diri dengan eksistensi baru Arthur yang jauh lebih kuat.
"Astaga… bertambah 9000 mana??"
Arthur pun sangat senang dan melompat, membuat tanah di bawah kakinya sedikit retak karena Strength-nya yang melonjak drastis.
“Kelas C7 ini apa ya…” Arthur menatap stats-nya, mengernyit. “Hmm… nanti saja aku cari tahu.”
Arthur berdiri di depan pohon besar dengan tangan kanan yang bersinar biru terang. Bola Mana yang ia kumpulkan perlahan berubah wujud, menjadi sebuah pisau energi dengan bentuk ramping dan ujung tajam memanjang seperti belati pendek.
“Apa aku bisa membentuk Mana Blade ya?”
Ia menarik napas dalam, mengangkat tangan perlahan…
Srrrtt—
Dengan satu ayunan cepat, pisau mana itu memotong pohon besar di depannya dalam satu tebasan. Batang pohon itu terbelah mulus seakan diiris oleh alat bedah—dan bagian atasnya langsung jatuh dengan suara keras:
Brakk!
Arthur melongo. “Ini sangat gila… Padahal aku hanya menaikkan Sebuah Skill…”
Tangannya sedikit bergetar, bukan karena takut, tapi karena rasa kagum akan kekuatannya sendiri.
“Aku merasakan aliran mana yang sangat deras di sekujur tubuhku...”
Sirkulasi mana dalam tubuhnya kini seperti sungai yang tak pernah kering. Panas, kuat, dan responsif.
"Wow ternyata ada notifikasi nya..."
Arthur memegang Mana Blade di tangannya sambil mengamati pancaran cahaya biru yang perlahan berdenyut seperti nadi. Pisau itu terasa hidup, seolah merespons kesadarannya.
“Gila, ini sangat tajam...”
Ia menatap pohon yang tadi ditebas—potongannya begitu halus, seolah dilaser.
“Sepertinya senjata yang terbentuk dari mana akan berkembang menyesuaikan dengan kapasitas mana...”
Tangannya sedikit menegang saat merasakan aliran mana ditarik secara terus-menerus oleh pisau tersebut.
“Sekarang skill ini mengambil manaku 10 per detik...” Ia membuka Stats Window sebentar untuk
Angin berputar sangat kencang, debu dan daun beterbangan ke segala arah saat
"HEI HEI HEI TYRELL HENTIKAN ITU!" Arthur berteriak sambil menahan tubuhnya agar tidak terdorong angin.
Tyrell segera menghentikan pusaran itu. Angin reda perlahan, menyisakan keheningan dan rumput yang porak-poranda.
Tyrell melangkah cepat ke arah Arthur.
"Apa kau baik-baik saja?", Ia menatap Arthur dengan sedikit khawatir.
Arthur hanya mengangkat alisnya dan menunjuk rambutnya yang sekarang berdiri ke atas seperti tersetrum listrik. "Aku baik, kecuali gaya rambutku sekarang..."
Tyrell menahan tawa, lalu berkata:
"Aku tidak menyadarinya karena sedang fokus...", Ia menatap telapak tangannya. “Ternyata membuat Vortex dari elemen Air ini menghasilkan tekanan udara yang sangat kuat…”
Arthur menatap pohon-pohon di sekeliling mereka yang kini roboh seperti baru dilalui angin topan. Ia menepuk-nepuk bajunya yang berdebu, lalu menghela napas.
"Aku baik-baik saja karena aku menggunakan Mana Shield yang baru saja kudapat."
"Tapi lihat sekitar kita, pohon-pohon ini…"
"Mereka tumbang karena terkena angin dari Pusaran Airmu."
Tyrell menoleh ke sekeliling, sedikit terkejut dengan kehancuran yang tak sengaja ia sebabkan.
"Syukurlah kau baik-baik saja." Ia menatap sisa reruntuhan pepohonan.
"Karena pohon-pohon ini sudah tumbang, apa sebaiknya kita pergi saja dari sini?"
"Sudah tidak tersisa satu pohon pun di sekitar danau ini."
Arthur mengangguk. "Sepertinya sudah tidak aman jika tidak ada pohon di sekitar sini."
"Ayo kita pergi saja... sekalian bantu aku leveling, hehe."
"Ngomong-ngomong, apa kau nggak butuh XP?"
Tyrell mengangkat bahu, sedikit bingung. "Eh… eee, sepertinya aku tidak membutuhkannya."
"Soalnya saat membunuh goblin tadi aku tidak mendapatkan apapun."
Arthur mengernyit. "Lah?"
"Kok bisa begitu??"
"Apa kau tidak terpengaruh oleh Stats Window?" (3)
Tyrell berpikir sejenak, lalu menatap tangan kirinya. "Mungkin… aku telat dapat sistem-nya jadi ga ngaruh mungkin?."
Arthur membeku. "Apa maksudmu?"
Tyrell tersenyum samar. "Kita bahas nanti. Yang jelas... kita harus pergi dari sini . Tempat ini terlalu terang buat orang sepertiku."
Arthur mengangguk, masih bingung, tapi memilih tidak memaksa.