Mahluk Tak Dikenal

Setelah merapikan tenda seadanya dan memastikan tidak ada jejak mencolok yang tertinggal, Tyrell dan Arthur meninggalkan tepi danau yang kini nyaris gundul.

Angin masih berembus ringan, seolah membisikkan peringatan akan kekuatan yang baru saja dilepaskan di tempat itu.

"Ayo, kita kembali ke tempat awal kita muncul," kata Arthur sambil menyandang tas kecilnya.

"Ke timur ya?" Tyrell memastikan.

"Iya, aku dengar suara naga dari barat tadi malam… dan kupikir kita belum siap untuk itu."

Tanpa banyak bicara lagi, Tyrell membentuk Pelindung Angin berbentuk kubah transparan setipis udara yang melingkupi mereka berdua—Particle Rotation berputar pelan, meredam angin dan panas, sekaligus menyamarkan jejak mereka.

Setelah dua hari penuh berjalan sambil berlatih kemampuan sihir dan fisik, Tyrell dan Arthur akhirnya tiba di sebuah dataran rendah yang cukup terbuka. Di hadapan mereka tampak sebuah desa kecil—terdiri dari enam rumah sederhana dari kayu dan batu, serta ladang padi yang membentang rapi dan subur, berwarna hijau keemasan.

Udara di sini terasa sejuk, angin membawa aroma rumput basah dan asap kayu dari cerobong rumah yang masih mengepul.

Arthur melangkah pelan sambil mengamati desa itu.

"Kita berjalan selama ini… tapi aku nggak merasa lapar atau capek sama sekali," katanya heran.

Tyrell ikut mengangguk pelan, matanya masih meneliti sekitar. "Berarti bisa disimpulkan kalau waktu kita di sini... berbeda dengan di Bumi."

"....."

"Tyrell, lihat itu." Arthur menunjuk ke arah desa kecil yang kini hanya berjarak beberapa ratus meter dari posisi mereka. Matahari pagi membuat atap-atap rumah tampak berkilau samar.

"Akhirnya kita menemukan desa," ucap Tyrell dengan nada lega.

"Ayo kita cek, apa ada orang di sana."

"Baiklah," jawab Arthur singkat.

Mereka berlari cepat dan tiba di desa kecil itu. Mereka langsung mengecek satu per satu rumah yang ada, namun tak menemukan satu orang pun. Anehnya, meski terlihat seperti sudah lama ditinggalkan, rumah-rumah itu tetap bersih dan terawat.

Di rumah pertama yang mereka kunjungi, mereka melihat seekor kucing hitam yang terlihat janggal.

"Yah, kita nggak nemuin apa-apa," ucap Tyrell kecewa.

"Tapi kenapa ada seekor kucing di rumah tadi, sementara nggak ada satu orang pun?" tanya Arthur.

"Ini aneh… seolah-olah kucing itu menjaga rumah-rumah ini," lanjutnya.

"Dan dia langsung pergi begitu kita masuk," tambah Arthur lagi.

Namun Tyrell merasakan sesuatu yang lain—aura kehidupan manusia dari kucing tersebut. Ia menahan diri untuk tidak memberitahu Arthur karena merasa kucing itu berbahaya.

“Kucing itu… bukan kucing biasa,” pikir Tyrell.“Lebih baik aku nggak bilang ke Arthur sekarang. Tempat ini juga terasa nggak aman—rapih banget walaupun ga ada yang ngurus. Kita harus pergi secepatnya.”

Namun Arthur malah tertarik pada sebuah apel segar yang terletak di atas meja.

"Hmmm… bentar dulu. Sepertinya ada banyak makanan di sini," katanya sambil mendekat.

Tyrell langsung menghentikannya. "Jangan bodoh!" bentaknya.

"Hah? Itu cuma apel doang," jawab Arthur kesal.

"Jangan sentuh apapun yang ada di sekitar kita saat ini. Oke?" ucap Tyrell dengan tegas.

Arthur akhirnya menyerah. "Baiklah… aku nggak akan sentuh apa-apa lagi."

"Ayo kita pergi saja dari sini," ucap Tyrell sambil menoleh waspada.

Mereka melangkah keluar dari rumah itu, tapi tanpa mereka sadari, kucing hitam yang tadi sempat muncul kini sedang mengintai mereka dari balik bayangan pagar kayu. Tatapannya tajam, namun ketika Tyrell hampir melihatnya, kucing itu segera menghindar.

Kucing itu bicara dalam hati:

“Huft… nyaris saja aku ketahuan.”“Aura gadis itu… sangat mengerikan. Jauh lebih berbahaya dari yang kukira.”“Sedangkan pria di sebelahnya… tampaknya cuma manusia biasa. Tapi tetap, aku harus berhati-hati.”“Jika dugaanku benar, dalam beberapa hari ke depan… gadis itu akan menjadi sangat kuat.”

Malam pun tiba. Langit gelap tanpa bulan, dan suhu mulai menurun. Setelah berjalan cukup jauh dari desa kecil itu, suasana di antara Tyrell dan Arthur jadi agak tegang.

"Apa-apaan kau ini! Padahal tadi banyak barang berharga di desa itu!" ucap Arthur kesal."Kita butuh peralatan, makanan, dan tempat tinggal. Kau tahu sendiri kita nggak bisa terus bertahan seperti ini!"

Tyrell menatap Arthur, raut wajahnya penuh penyesalan tapi tetap tenang."Aku cuma khawatir padamu... Aku takut kau kenapa-kenapa kalau tetap di sana."

"Kau tidak berpikir panjang! Kalau kita terus terjebak di dunia ini, bukankah lebih baik memanfaatkan apa pun yang kita temukan?!"Arthur menatap tajam. "Kau pasti menyembunyikan sesuatu dariku!"

Tyrell menarik napas dalam. "Bukan seperti itu. Aku memang merasakan aura yang aneh di tempat itu. Makanya aku nggak bilang apa-apa—aku takut ada sesuatu yang sedang mengawasi kita.""Karena itu aku terus memaksamu pergi. Demi keselamatan kita berdua."

Sebelum Arthur bisa menjawab, dari kegelapan terdengar suara geraman.

Muncul 15 ekor serigala dari balik semak-semak, mata mereka menyala dalam gelap.

Arthur langsung bersiap, wajahnya berubah serius. "Sebaiknya kau jangan ikut campur... Aku yang akan urus ini. Aku butuh EXP."

Tyrell mengangguk, menghormati keputusan Arthur. "Baiklah... Tunjukkan kemampuanmu."

"Kau lihat ini, Tyrell!" ucap Arthur dengan percaya diri.

"Arrow Flowing Water, tembak!"

Arthur mengayunkan tangannya ke depan. Dari udara, terbentuk belasan panah air yang melayang sejenak, lalu meluncur cepat ke arah para serigala.

Thus! Thus! Thus!

Sekitar 20 hingga 30 panah air menembus kepala para serigala dengan presisi tinggi. Dalam hitungan detik, semua serigala tumbang. Sunyi.

Sementara itu, Tyrell sedang melakukan eksperimen berbahaya. Ia mencoba mengendalikan partikel subatom—tepatnya medan Higgs di sekitarnya tanpa menghilangkan unsur asli dari penyusun atom.

Dia berhasil membuat reaksi partikel terhenti sejenak, bahkan membuatnya mengambang di udara… namun hanya sebentar. Kontrolnya belum stabil. Tubuhnya terpental ke belakang dan menabrak pohon dengan keras.

[Notifikasi Sistem] Arthur.

Arthur mengepalkan tangan dengan puas. "Sepertinya aku dapat XP tambahan dari ini," ucap nya.

"Kelas ku naik jadi C1!"

Ia membuka menu status dan menatap layar transparan di hadapannya."Aku juga dapat 30 SP... Hmm, sebaiknya aku tambah ke mana ya..." pikirnya sambil menggaruk kepala, kebingungan.

Sementara itu, Tyrell yang sedang duduk di atas dahan pohon berteriak ke bawah.

"Woi, Arthur! Apa kau sudah selesai dengan urusanmu?"

Arthur menoleh ke arah Tyrell, sedikit malas menanggapi. "Yasudah, nanti saja aku naikkan stat-nya..." ucapnya dalam hati.Lalu ia berkata lantang, "Ayo, Tyrell! Kita lanjutkan lagi perjalanan kita!"

Mereka kembali berjalan. Waktu terus berlalu—satu hari, dua hari, hingga tiga hari—namun mereka tidak merasa lelah, tidak mengantuk, dan tidak lapar. Dunia ini memang benar-benar aneh.

Selama perjalanan itu, yang mereka temui hanya danau-danau sepi dan pohon-pohon tumbang di segala arah, seolah dunia ini sudah lama tidak dihuni.

Namun, pada hari ketiga...

"Tyrell... itu..." Arthur terdiam.

Di hadapan mereka berdiri sebuah pohon raksasabegitu besar hingga batangnya dipenuhi rumah-rumah yang dibangun menempel dan menanjak ke atas, mengikuti bentuk batangnya.

Pohon itu menjulang tinggi hingga ujungnya tidak terlihat. Akar-akar besarnya menjalar ke segala arah, bahkan lebih tinggi dari beberapa bukit yang mereka lewati. Mirip dengan Yggdrasil, pohon mitos yang menopang dunia.

"Apa yang kita temukan sekarang…?" ucap Tyrell, terpana.

"Itu sangat besar... sepertinya kita cuma kerikil kalau dibandingkan dengan akar pohon itu."

"Kau benar... itu sangat besar. Kira-kira, apakah di sana ada penduduk?" tanya Arthur sambil terus menatap pohon raksasa itu.

Mereka melangkah pelan menuju arah akar pohon tersebut. Di antara akar-akar besar yang menjulang seperti dinding batu, berdiri sebuah mansion megah yang tampak sangat kontras dengan suasana hutan di sekitarnya.

Namun sebelum mereka bisa mendekat lebih jauh...

"Hei! Siapa kalian?!"

Sebuah suara terdengar dari belakang mereka.Mereka segera menoleh dan melihat dua orang bertelinga panjang, mengenakan pakaian aneh namun elegan. Wajah mereka tegas, namun tidak tampak jahat.

"Atau... lebih tepatnya, dari mana kalian berasal?" lanjut salah satu dari mereka dengan nada waspada.

Rekannya itu melangkah maju sedikit. "Apa kalian berdua... petualang?"

"E-eee... kami berasal dari negeri yang jauh," jawab Arthur gugup, sambil mencoba tersenyum canggung.

"Kami... juga bisa bertarung sedikit,"

Tyrell cepat-cepat menambahkan penjelasan untuk menyambung cerita mereka.

"Sebenarnya... kami tersesat setelah lari dari negeri kami yang jauh. Tempat tinggal kami diserang oleh sesuatu yang tak dikenal, semacam Anomali... semuanya hancur lebur. Dan... hanya kami berdua yang selamat."

Kedua orang bertelinga panjang itu saling berpandangan. Salah satunya mengangkat alis dan bertanya dengan nada lebih tenang:

"Oh... apakah kalian berasal dari negeri Lemnas? Kami mendengar kabar baru-baru ini bahwa kekacauan besar terjadi di sana."

Arthur sempat terdiam. Wajahnya terlihat semakin canggung, lalu dengan cepat mengangguk.

"I-iya! Betul! Kami... dari Lemnas!"

Mereka pun terpaksa mengikuti alur pembicaraan itu. Tidak ada pilihan lain—lebih baik berpura-pura daripada menimbulkan kecurigaan.

"Dari pakaian kalian, sepertinya di negeri kalian cukup maju ya?" tanya orang asing pertama, matanya meneliti penampilan mereka.

Arthur buru-buru menjawab sambil berkeringat dingin, "I-iya, di sana sangat maju..."

Orang asing pertama mengangguk, sedikit penasaran, "Ya... aku juga belum pernah melihat atau mengunjungi Lemnas."

Orang asing kedua kemudian berkata, "Baiklah, sepertinya kalian ada urusan sendiri. Kami akan pergi duluan."

Tapi tiba-tiba Tyrell menahan mereka, menunjuk ke arah mansion besar, "Eh, tunggu sebentar. Apa kalian juga menuju ke tempat itu?"

Orang asing pertama menjawab santai, "Iya, kami habis mengerjakan misi di hutan. Harus kembali ke Guild Mansion kalau mau mengambil hadiah."

"Guild Mansion?" tanya Arthur, penasaran.

Orang asing kedua mengangguk, "Di Guild Mansion kalian bisa mengambil misi sesuai dengan kelas kalian... Ngomong-ngomong, kalian berada di Class apa?"

Arthur menatap layar yang tiba-tiba muncul di depan matanya, pura-pura bingung, "Maksudmu layar yang ada di depan mataku ini?"

Orang asing kedua tersenyum, "Iya, di situ tertulis stats, kemampuan, juga Class-mu, bahkan level."

"Kami berdua mempunyai Class E5," celetuk orang asing pertama tanpa sengaja.

Orang kedua langsung menegur dengan nada kesal, "He, bodoh! Kenapa kau beri tahu Class kita?"

Orang asing pertama segera meminta maaf, "E-e, maafkan aku. Aku keceplosan karena merasa mereka tidak akan membunuh kita."

Arthur lalu bertanya serius, "He, tenang dulu. Kami nggak akan membocorkan Class kalian. Tapi, kenapa sih nggak boleh bilang Class ke orang lain?"

Orang asing pertama menjelaskan dengan sabar, "Kau nggak boleh membocorkan Class atau kemampuanmu ke orang lain, kecuali yang benar-benar kau percaya. Karena kalau orang lain tahu kemampuanmu, mereka bisa cari kelemahan dan bahkan membunuhmu. Makanya, aku sarankan jangan bilang Class atau kemampuanmu ke sembarang orang."

Orang asing kedua mengajak, "Ya sudah, ayo kita ke Guild Mansion."

Mereka berempat pun berjalan bersama menuju Guild Mansion...

  1. [Anda naik 10 level]
    [Zona Berbahaya: Bonus EXP +200%]
    [Anda naik 20 level]