The Guild Mansion

Mereka akhirnya sampai di mansion itu.

Setelah mendekat, terlihat bahwa mansion tersebut sangat besar dan megah.

"Aku tak menyangka bangunan ini sebesar ini, dan dekorasinya juga sangat bagus," kata Arthur dengan mata berbinar, terpukau.

Orang asing pertama tersenyum dan berkata, "Kau pasti benar-benar terpukau dengan mansion ini, ya?"

Sementara itu, Tyrell merasa biasa saja.

"Iya, bangunan ini memang bagus. Karena ini pertama kalinya aku melihat bangunan klasik sebagus ini," jawabnya santai.

Orang asing kedua tersenyum dan berkata, "Ini masih belum seberapa. Di luar sana banyak bangunan yang jauh lebih megah daripada ini."

Arthur mengangguk, lalu berkomentar, "Wah, sepertinya aku yang kurang melihat dunia luar karena lebih sering mengurung diri di rumah."

"Terserah, ayo kita masuk saja," kata orang asing pertama mengajak.

Saat mereka melangkah masuk, tidak ada seorang pun yang terlihat di dalam mansion itu. Tapi...

"Apakah mansion ini jebakan? Aku tidak melihat siapapun di sini..." pikir Tyrell dalam hati.

"Eh, kenapa nggak ada siapa-siapa di sini?" tanya orang asing kedua dengan nada penasaran.

Arthur langsung curiga, "Apa kalian mau menjebak kami?"

Orang asing kedua buru-buru menggeleng panik, "Tidak, tidak! Kamu pasti nggak berani melakukan hal seperti itu. Malah kami yang bakal mati duluan karena kemampuan bertarung kami jauh di bawah."

Langit sore yang awalnya tenang berubah menjadi sunyi yang aneh. Mereka berdiri di dalam mansion yang terasa kosong, tanpa tanda kehidupan atau kehangatan. Suasana hening begitu pekat sampai seolah-olah dunia berhenti berputar sejenak.

“Terus kenapa di sini kosong?” suara itu pecah dari keheningan, menimbulkan tanya yang sama di benak mereka.

“Aku juga tidak tahu,” jawab satu suara, nada bingung dan penuh waspada.

Tiba-tiba, dari kejauhan, sebuah dentuman keras menggema, memecah keheningan yang mencekam. Suara itu begitu dahsyat sampai getaran tanah di sekitar mereka terasa sampai ke tulang. Duuuaaaaaarrrrrrrrrr — gema ledakan menyebar ke segala arah, menggetarkan udara dan membuat dedaunan bergoyang hebat.

“Ada apa di luar!” seru mereka berdua hampir bersamaan, Arthur dan Tyrell, dengan mata yang membelalak penuh kecemasan.

Tanpa menunggu lebih lama, keempatnya berlari keluar mansion. Angin sore menyambut dengan dinginnya, membelai kulit mereka berdua selain yang mulai berkeringat karena ketegangan, Namun tidak dengan Arthur dan Tyrell. Mereka menuju ke belakang mansion, tempat keramaian mulai terbentuk.

Di sana, pandangan mereka tertuju pada sebuah pemandangan Sekelompok orang yang berkumpul, menatap dengan tegang ke dua sosok yang berdiri di tengah lapangan terbuka. Salah satunya mengenakan jubah hitam panjang yang menutupi seluruh tubuh. Lawannya, berwujud badan besar berotot, berdiri kokoh dengan aura kekuatan yang mengintimidasi.

Pertarungan mereka bukan sekadar duel biasa. Gelombang energi yang terpancar dari benturan kedua sosok itu menghancurkan tanah di bawah kaki mereka, menciptakan lubang-lubang besar dan debu yang berterbangan tinggi. Setiap gerakan tampak meledak dengan kekuatan dahsyat, membuat suasana sekitarnya seolah berguncang hebat.

“Apa-apaan itu?” suara Arthur terdengar dengan nada terkejut dan tidak percaya, matanya terpaku pada pertarungan spektakuler di hadapannya.

“Sepertinya orang itu memprovokasi Gabriel,” bisik salah seorang dari kerumunan orang asing, penuh kekhawatiran.

“Aku tidak ingin melihat pembantaian ini,” tambah orang asing yang lain dengan suara rendah, mencoba menahan ketegangan dan takut akan apa yang mungkin terjadi.

Selama beberapa saat, Tyrell hanya diam mengamati situasi yang berkembang di depan mata mereka. Suasana yang tegang dan penuh ketidakpastian membuat udara seolah menjadi lebih berat. Akhirnya, suara Tyrell yang selama ini terdiam pun pecah, memecah keheningan di antara mereka.

“Apa maksudnya?” tanya-nya, suara yang keluar terasa tenang tapi penuh rasa ingin tahu.

Seorang dari kelompok mereka kemudian menjelaskan dengan hati-hati, mencoba merangkai kata-kata yang bisa diterima semua orang. “Maksudku Gabriel adalah orang terkuat di mansion ini, sedangkan lawannya terlihat lemah dan fisik mereka terlihat jauh berbeda.” Ucapan itu membawa kesan bahwa pertarungan yang sedang berlangsung jauh dari keseimbangan.

Tyrell menghela napas, menatap jauh ke arah pertarungan yang masih berlanjut tanpa sedikit pun tanda melemah. Nada suaranya tetap netral ketika ia mengakhiri pembicaraan, “ Entahlah, kita lihat saja.”

Keheningan kembali menyelimuti mereka, kali ini disertai ketegangan yang makin meninggi. Waktu seolah melambat saat mereka menunggu apa yang akan terjadi berikutnya di hadapan dua sosok yang bertarung dengan kekuatan yang begitu luar biasa itu.

Angin sejuk sore hari tiba-tiba terasa menegang saat Arthur memperhatikan sesuatu yang aneh—sebuah aura hitam mulai merayap keluar dari tubuh sosok berjubah, menyelimutinya dengan kegelapan pekat yang tampak hidup, seperti bayangan yang memiliki kehendak sendiri. Aura itu menggeliat dan berdenyut, menandakan kekuatan luar biasa akan keluar.

Lalu, dunia terdiam.

Dalam sekejap mata, waktu sendiri tampaknya berhenti. Semua gerakan membeku. Kerumunan yang semula gaduh membeku dalam posisi mereka masing-masing—mulut yang terbuka setengah, tangan yang terangkat, bahkan helai daun yang terlepas dari rantingnya menggantung di udara, tak bergerak. Keheningan total menyelimuti dunia, seolah-olah waktu sendiri menahan napas.

Semua orang tidak bergerak—semua, kecuali tiga: orang berjubah itu, Arthur, dan Tyrell.

“Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba semua orang berhenti bergerak?” suara Arthur terdengar panik, matanya menyapu sekeliling, mencari jawaban dalam kekacauan yang beku.

“Ini perbuatan si orang berjubah itu,” jawab Tyrell, datar, namun matanya tetap terfokus pada sosok yang menjadi sumber kekacauan ini.

Dan kemudian, tanpa aba-aba, si orang berjubah itu bergerak. Tidak seperti manusia biasa. Tangannya menghantam tubuh Gabriel dengan kecepatan yang hampir tak bisa dilacak oleh mata biasa. Pukulan demi pukulan mendarat—lima, sepuluh, dua puluh… hingga lima puluh pukulan menghajar badan dan kepala Gabriel yang tak bisa bergerak, seolah tubuh itu hanya boneka dalam genggaman waktu yang telah dikendalikan.

Lalu waktu mengalir kembali.

Segalanya kembali bergerak, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Namun dalam sepersekian detik, tubuh Gabriel meledak, hancur berkeping-keping di depan semua orang. Serpihan darah dan energi menyebar ke udara, menciptakan keheningan yang lebih dalam daripada sebelumnya.

Kerumunan yang tadi membeku kini kembali hidup—namun kali ini dengan rasa ngeri. Semua orang bingung, saling memandang, mencari jawaban dari pemandangan yang baru saja mereka saksikan. Wajah-wajah mereka memucat, yang lain hanya menatap kosong dengan tubuh bergetar.

“” ??? “” — suara-suara penuh kebingungan dan ketakutan terdengar dari segala arah.

“.....” Arthur dan Tyrell berdiri di tengah kekacauan itu, tidak menunjukkan ekspresi keterkejutan sedikit pun. Seolah pemandangan brutal tadi hanyalah bagian lain dari kenyataan yang sudah mereka pahami—bahwa dunia ini, sejak awal, memang tidak normal.

Keheningan yang menyesakkan akhirnya dipecah oleh suara lirih namun penuh ketegangan dari salah satu orang asing yang sejak tadi menyaksikan pertarungan tersebut dengan mata terbelalak.

“Apa-apaan itu... apa yang baru saja terjadi??” orang asing kedua berkata dengan suara gemetar, seolah otaknya berusaha keras mengejar logika dari pemandangan tak masuk akal yang baru saja mereka saksikan.

Tyrell melirik sekilas ke arah Arthur, lalu mengalihkan pandangannya ke si penanya. Tatapannya tetap netral, tenang, namun di balik itu tersimpan perhitungan dingin. Ia memutuskan untuk tidak mengungkapkan seluruh kebenaran—terlalu berisiko, terlalu banyak pertanyaan yang bisa muncul.

“Aku melihat pergerakannya sangat cepat bahkan semua orang tidak menyadari kalau dia sudah memukuli si pria berbadan besar itu,” ucap Tyrell, memberikan jawaban yang masuk akal namun sekaligus menutupi fakta sebenarnya. Suaranya datar, seperti mengamati eksperimen yang sudah ia duga hasilnya sejak awal.

“Itu sangat tidak masuk akal... bahkan belum sampai 1 detik badannya sudah berceceran ke mana-mana,” balas si orang asing kedua, suaranya dipenuhi kebingungan dan ketakutan yang semakin dalam. Matanya masih terpaku pada bekas pertarungan—tubuh Gabriel yang kini tak lebih dari potongan daging dan darah yang membasahi tanah retak.

Namun perhatian mereka segera beralih. Sosok berjubah yang menjadi sumber malapetaka itu tampaknya tidak menyadari bahwa Arthur dan Tyrell tetap tersadar saat waktu dihentikan. Ia berdiri di dekat sisa-sisa tubuh Gabriel, diam sejenak seolah mengamati hasil dari aksinya.

Lalu, tanpa peringatan, ia menekuk lutut dan melesat ke udara dengan kekuatan yang menghentak bumi. Tubuhnya melayang lurus ke atas hingga mencapai ketinggian sekitar seratus meter—lompatan yang tidak wajar, menantang hukum fisika—sebelum mengarah ke barat, menghilang di balik langit-langit.

Tanah di tempat ia berpijak hancur seketika akibat tekanan yang ditinggalkannya. Retakan menyebar ke segala arah, seperti guratan luka pada kulit bumi, menyatu dengan bekas pertarungan sebelumnya yang telah menciptakan adegan mengerikan. Di tengah pecahan tanah dan darah, mayat Gabriel tergeletak tak bernyawa—sebuah bukti bisu dari kekuatan yang baru saja menyentuh dunia mereka.

Singkat cerita, keramaian perlahan memudar. Mereka kembali ke mansion—tanpa kata, tanpa arah, hanya mengikuti kaki yang bergerak sendiri. Langkah demi langkah terasa berat, seolah bayangan peristiwa barusan masih menggantung di udara, mengikuti mereka seperti kabut yang menolak untuk hilang.

Di dalam mansion, suasana menjadi ganjil. Tak ada lagi tawa atau obrolan ringan seperti biasanya. Beberapa orang duduk diam, termenung di sudut ruangan, mata mereka kosong memandang lantai. Sebagian mencoba mengalihkan perhatian—berbincang soal hal-hal sepele, tertawa kaku, berpura-pura bahwa dunia masih berjalan seperti biasa. Dan sisanya... bahkan tak peduli. Entah karena ketakutan, atau karena memang mereka terbiasa melihat kematian—tak ada yang tahu pasti.

Namun satu suara dalam hati, menggema di benak Tyrell: "Aku masih bingung kenapa bisa Gabriel mati dengan sangat mengenaskan, padahal katanya dia orang terkuat di sini."

Suasana di dalam mansion masih belum pulih. Beberapa orang berkumpul dalam kelompok kecil. Di antara mereka, terdengar ucapan yang menggambarkan rasa kehilangan sekaligus kebingungan yang mulai menyelimuti tempat itu.

Iya aku juga tidak menyangka akan terjadi seperti itu, bagaimana misi tingkat A yang terdapat di Mission Board disana jika tidak adanya Gabriel disini, padahal dia yang berkontribusi besar dalam menyelesaikan misi-misi itu, ujar salah satu dari mereka, suaranya penuh rasa frustrasi.

Entahlah, mari kita pergi ke restoran sana saja, balas yang lain, mencoba mengalihkan pikiran mereka dari kematian Gabriel dan ketidakpastian yang kini menyelimuti seluruh sistem misi di mansion itu.

Di luar mansion, angin sore mulai berembus, membawa hawa dingin yang pelan-pelan menyentuh kulit. Langit mulai memerah, tanda bahwa senja sudah dekat.

Arthur dan Tyrell berdiri di luar bangunan, tidak jauh dari pintu utama. Arthur menatap ke arah langit sebentar sebelum akhirnya memecah keheningan.

"Hei Tyrell, ternyata ada papan misi di dalam mansion ini," katanya sambil menoleh, "saat tadi aku menguping pembicaraan orang-orang di sana. Seperti saat kita bermain game RPG di warnet waktu itu." Nada suaranya sedikit bersemangat, seolah ingin melupakan kejadian mengerikan yang baru saja dia alami.

Tyrell mengangguk pelan, ekspresinya masih tetap netral, namun kata-katanya menunjukkan bahwa pikirannya sudah bergerak ke depan.

"Iyakah, baguslah. Karena kita butuh uang untuk sewa tempat agar bisa tidur dengan nyaman. Sebaiknya kita ambil misi sekarang juga, karena sebentar lagi matahari akan tenggelam."

"Ayo," balas Arthur, dan tanpa menunggu lagi mereka mulai berjalan, meninggalkan bayangan panjang yang terbentuk di tanah saat cahaya matahari sore mulai memudar di balik pepohonan.

Langkah mereka membawa mereka ke dalam ruang utama mansion, di mana papan besar berdiri megah menempel di salah satu dinding. Kayu tua namun terawat itu dipenuhi lembaran-lembaran misi, terpasang rapi namun penuh sesak.

Tyrell dan Arthur mendekat, mata mereka menelusuri baris demi baris tulisan yang mencantumkan misi dari berbagai tingkat kesulitan. Di antara misi-misi berat berlabel “B” dan “A” yang hampir semuanya telah dicoret, mereka menemukan satu misi tingkat rendah yang masih tersedia.

Misi Tingkat D:

Sederhana dan terdengar seperti pekerjaan pemula—tetapi cukup untuk memulai. Tanpa banyak bicara, mereka melangkah menuju meja pendaftaran yang berada tak jauh dari papan misi, dijaga oleh seorang wanita muda dengan seragam sederhana namun rapi. Senyumnya ramah dan profesional.

"Permisi.... apa kami harus mendaftar dulu agar kami bisa mengambil misi di Mission Board disana?" tanya Arthur, sedikit canggung.

"Oh, kalian mau mengambil misi ya? Kalian harus daftar dulu... mari ikuti saya ke ruang pendaftaran," jawab sang resepsionis sambil bangkit dari kursinya.

Wanita itu memanggil temannya yang duduk tak jauh darinya untuk menjaga meja selama ia pergi. Lalu, tanpa banyak basa-basi, ia mengajak mereka melewati lorong kayu menuju sebuah ruangan yang tampaknya digunakan untuk keperluan administratif. Langkah mereka bergema pelan di sepanjang koridor, membawa mereka menuju tempat di mana sistem, peringkat, dan misi bukan lagi permainan, melainkan realita yang harus mereka jalani.

  1. Kumpulkan 10x Goblin Fang
    Hadiah: 10 Bronze
    Status: Tersedia