Menara itu berdiri menjulang, puncaknya menghilang di balik awan. Permukaan bebatuan yang menyusunnya terasa dingin dan penuh dengan ukiran-ukiran aneh yang seolah hidup. Setiap langkah mendekat, Eryan dan Elyon merasakan aura yang semakin kuat, menyelimuti tubuh mereka dengan campuran rasa takut dan kagum.
"Ini adalah inti dari perjalanan kita," kata Elyon, suaranya penuh keheranan. "Apakah kita siap untuk menghadapi apa yang ada di dalamnya?"
Eryan menatap menara itu dengan tatapan tegas. "Takdir tidak pernah menunggu kita siap, Elyon. Kita hanya harus melangkah."
Ketika mereka tiba di depan pintu raksasa, penjaga yang sebelumnya berbicara kepada mereka muncul kembali. Ia membawa tongkat yang bercahaya, simbol takdir yang tidak terbantahkan. Dengan gerakan lambat, ia mengangkat tongkatnya dan menyentuh pintu itu. Cahaya terang membanjiri sekeliling mereka, menghapus semua suara kecuali detak jantung mereka.
"Selamat datang di Menara Takdir," suara penjaga menggema, terdengar lebih dalam dari sebelumnya. "Hanya mereka yang memiliki keberanian untuk menghadapi kebenaran yang akan menemukan jalannya di sini."
Pintu itu perlahan terbuka, memperlihatkan koridor gelap yang hanya diterangi oleh garis-garis cahaya di sepanjang lantainya. Tanpa ragu, Eryan dan Elyon melangkah masuk. Begitu mereka melewati ambang pintu, suasana berubah drastis. Udara terasa berat, dan waktu seolah melambat.
Di dalam menara, mereka menemukan ruang pertama. Lantainya terbuat dari kaca bening, memperlihatkan sesuatu yang aneh di bawahnya—bayangan masa lalu mereka. Eryan melihat bayangan dirinya yang lebih muda, berlatih pedang dengan ayahnya, sementara Elyon melihat dirinya sendiri saat kecil, duduk di bawah pohon sambil memegang buku yang tebal.
"Ini adalah ingatan," kata Elyon pelan. "Mengapa mereka menunjukkannya kepada kita?"
Sebuah suara terdengar, tetapi kali ini bukan dari penjaga. "Untuk memahami takdirmu, kau harus menerima masa lalumu." Suara itu berasal dari sebuah wujud bayangan yang muncul di tengah ruangan. Wujud itu menyerupai Eryan, namun auranya lebih gelap, lebih mengancam.
Bayangan itu tersenyum sinis. "Apakah kau pikir kau cukup kuat, Eryan? Lihatlah dirimu. Kau mengorbankan banyak hal untuk sampai ke sini, tetapi apakah itu sepadan? Apakah kau tahu siapa dirimu sebenarnya?"
Eryan mengepalkan tangannya. "Aku tahu siapa aku, dan aku tidak akan membiarkan masa lalu atau bayangannya menghentikanku."
Bayangan itu tertawa, lalu berubah menjadi kabut dan menyerang. Pertarungan pun dimulai. Eryan mencoba menangkis serangan bayangan itu, tetapi setiap kali pedangnya mengenai wujud itu, ia hanya memotong udara. Elyon berusaha membantu, tetapi bayangan itu tampak terfokus pada Eryan.
"Eryan, itu bukan sesuatu yang bisa kau kalahkan dengan pedang!" seru Elyon.
Eryan berhenti sejenak, mencoba memahami kata-kata adiknya. Ia menyadari bahwa setiap serangan yang dilancarkan hanya membuat bayangan itu semakin kuat. Kemudian, ia menutup matanya, mencoba mengendalikan pikirannya.
"Aku bukan orang yang sempurna," gumam Eryan, lebih kepada dirinya sendiri. "Aku telah membuat kesalahan, tetapi aku tidak akan membiarkan masa laluku mendikte masa depanku."
Bayangan itu mulai melemah, kehilangan bentuknya. Saat Eryan membuka matanya, ia melihat bayangan itu menghilang, menyisakan ruang yang lebih terang dari sebelumnya.
"Elyon, ini bukan tentang melawan," kata Eryan, suaranya penuh kesadaran. "Ini tentang menerima."
Elyon mengangguk. Mereka melangkah ke ruang berikutnya, di mana ujian Elyon menanti. Kali ini, ruang itu dipenuhi dengan buku-buku yang melayang, masing-masing berisi cerita tentang kemungkinan masa depan Elyon. Dalam setiap buku, ia melihat dirinya menjadi orang yang berbeda—seorang penyihir hebat, seorang pemimpin yang gagal, bahkan seseorang yang kehilangan segalanya.
Di tengah ruangan, Elyon berdiri diam, merasa bingung. "Apa arti semua ini?" tanyanya.
Suara itu muncul lagi, kali ini lebih lembut. "Pilihanmu membentuk masa depanmu. Apakah kau siap menerima konsekuensi dari setiap langkahmu?"
Elyon memandang buku-buku itu dengan hati-hati. Ia tahu bahwa memilih satu berarti menolak yang lain. Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa berhenti di sini.
"Aku tidak tahu apa yang menanti," katanya pelan, "tapi aku tidak akan lari dari apa yang telah kutetapkan untuk diriku sendiri."
Dengan keberanian, ia melangkah maju, memilih satu buku yang bercahaya paling terang. Begitu ia menyentuhnya, ruangan itu berubah, membawa mereka ke puncak menara.
Di puncak menara, mereka disambut oleh sebuah altar besar. Di atasnya, terdapat sebuah kristal bercahaya yang berdenyut seperti jantung. Penjaga muncul kembali, menatap mereka dengan penuh kebanggaan.
"Kalian telah melewati ujian pertama," katanya. "Kristal ini adalah inti dari Menara Takdir. Di dalamnya, tersimpan kebenaran tentang siapa kalian sebenarnya. Tetapi ingat, kebenaran itu tidak selalu seperti yang kalian harapkan."
Eryan dan Elyon saling menatap. Mereka tahu bahwa apa yang akan mereka temukan di dalam kristal ini akan mengubah segalanya. Dengan napas yang tertahan, mereka mendekati kristal itu bersama, bersiap untuk menghadapi kebenaran yang akan mengubah takdir mereka selamanya.