Keluar Dari Keterpurukan

Keesokan paginya, Di salah satu ruangan yang nyaman, **Liora** terbaring di atas sofa dengan selimut lembut menyelimuti tubuhnya.

Isabella duduk di sampingnya dengan cangkir teh hangat di tangan, aroma melatinya memenuhi udara. "Bagaimana perasaanmu sekarang, Liora?" tanyanya lembut, suaranya penuh perhatian.

Liora menarik napas dalam. "Sedikit lebih baik. Aku masih merasa lemah, tetapi setidaknya aku tidak lagi terjebak dalam mimpi buruk itu."

Isabella mengangguk pelan. "Itu yang terpenting. Kamu perlu waktu untuk beristirahat dan memulihkan diri. Kami semua ada di sini untuk mendukungmu."

Liora tersenyum tipis. "Terima kasih, Kak. Aku merasa lebih tenang di sini."

***

Di sisi lain, di markas rahasia **Venom Syndicate**, **Valeria Nightshade** duduk di depan layar komputer dengan data DNA Liora yang baru saja diperolehnya.

Laboratorium yang dipenuhi peralatan canggih menjadi saksi kesibukannya.

Struktur DNA Liora menjadi fokus utama penelitiannya.

Valeria menatap layar dengan mata penuh ambisi. "DNA ini memiliki potensi luar biasa. Jika kita bisa memahaminya sepenuhnya, kita bisa menciptakan manusia dengan kekuatan dan kecerdasan tak terbatas."

Tangannya bergerak cepat, mencatat setiap perubahan dan reaksi yang terjadi pada DNA Liora.

Senyumnya makin lebar setiap kali menemukan sesuatu yang baru.

"Dengan ini, Venom Syndicate akan menguasai dunia."

***

Sementara itu, di laboratorium tersembunyi **Genovate**, **Elgarda** tengah memeriksa struktur DNA yang berhasil dicuri dari **Fopuveria Foundation**. Wajahnya penuh konsentrasi saat ia menganalisis data yang ada.

"Saya tidak menyangka kita bisa mendapatkan data seberharga ini," gumam Elgarda. "Dengan ini, kita bisa menyaingi bahkan melampaui Fopuveria dan perusahaan lainnya."

Elgarda menarik napas panjang. "Kita harus berhati-hati. Satu kesalahan saja bisa berakibat fatal."

***

Di rumah sederhana di pinggiran kota, **Arya** duduk di ruang tamu dengan wajah yang tampak lelah dan penuh kerutan. **Nadira**, istrinya, duduk di sampingnya, mencoba menenangkan suaminya yang tampak begitu tertekan.

"Arya, kamu harus kuat," kata Nadira dengan suara lembut. "Kita semua menghadapi ini bersama."

Arya menghela napas panjang, matanya memandang jauh ke luar jendela. "Aku tahu, Nadira. Tapi semuanya terasa begitu berat. Liora, masalah dengan Genovate dan Venom Syndicate... semuanya terjadi bersamaan."

Nadira menggenggam tangan Arya dengan erat. "Kita tidak bisa menyerah. Liora membutuhkan kita, dan kita harus terus berjuang untuknya."

Arya menoleh, menatap wajah istrinya yang penuh ketabahan. "Kamu benar. Aku hanya merasa begitu tidak berdaya. Semua ini terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung."

Nadira mengusap pipi suaminya dengan lembut. "Kita akan melalui ini, Arya. Kita pernah menghadapi tantangan besar sebelumnya, dan kita berhasil. Kali ini pun kita bisa."

Arya mengangguk pelan, mencoba menemukan kembali semangatnya yang sempat pudar. "Terima kasih, Nadira. Aku akan berusaha lebih kuat. Demi Liora dan demi kita semua."

***

Kembali ke kantor agensi Lololope, Liora merasa semakin tenang. Kehadiran Isabella dan dukungan yang diberikan membuatnya merasa lebih kuat. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa tantangan besar masih menanti.

"Apa langkah selanjutnya, Kak?" tanya Liora dengan suara lirih.

Isabella menatapnya dengan penuh keyakinan. "Langkah selanjutnya adalah mencari tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi padamu dan bagaimana kita bisa menghentikan mereka yang ingin memanfaatkanmu."

Liora mengangguk. "Oke Kak, Aku akan siap menghadapi apa pun yang datang."

Isabella tersenyum.

Di kantor agensi **Lololope**, suasana terasa lebih tenang setelah beberapa hari yang penuh ketegangan.

**Liora** sedang beristirahat di ruang pribadinya.

Disisi Lainnya teman-teman VTuber-nya yang setia, Mereka semua berkumpul, mencoba mencari tahu lebih banyak tentang gejala yang dialami Liora.

"Saya tidak pernah melihat sesuatu seperti ini sebelumnya," kata **Mika**, salah satu Sahabat VTuber Liora, sambil membolak-balik buku medis di tangannya.

"Ada yang tahu apa yang terjadi padanya?"

**Sara**, VTuber lain, menjawab, "Gejala ini sangat aneh. Telinga kelinci yang menjadi sangat imut, perubahan fisik yang drastis... Ini bukan sesuatu yang bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan biasa."

Isabella mengangguk setuju. "Kami harus mencari solusi secepat mungkin, Liora tidak bisa terus seperti ini."

**Hana**, seorang VTuber, menambahkan, "Mungkin kita harus mencari pendapat dari para ahli genetika atau ilmuwan. Mereka mungkin punya jawaban."

Di sisi lain, **Rey**, salah satu anggota **Liberty Phantom** yang tersisa, muncul di pintu dengan wajah serius.

"Saya punya informasi yang mungkin bisa membantu."

Semua orang menoleh, berharap-harap cemas. "Apa itu, Rey?" tanya Isabella.

Rey mengambil napas dalam sebelum berbicara. "Kami menemukan beberapa dokumen rahasia dari Genovate. Mereka menunjukkan bahwa Elgarda sedang melakukan penelitian intensif pada struktur DNA yang dicuri dari Fopuveria Foundation."

Mata Liora melebar. "Jadi, mereka sudah berhasil?"

Rey mengangguk pelan. "Iya. Namun, ada kabar baik, Dokumen itu juga menyebutkan bahwa ada cara untuk menghentikan mereka, Kita hanya perlu menemukan dan menghancurkan laboratorium utama mereka."

---

Di laboratorium Genovate, **Elgarda** berdiri di depan layar komputer besar.

Wajahnya menunjukkan campuran antara kepuasan dan frustrasi.

Data DNA Fopuveria Foundation terlihat di layar, menunjukkan kemajuan yang signifikan.

"Sial," gumam Elgarda, "hanya satu langkah lagi untuk mengubah dunia, Andai saja aku membunuh Valeria Di tempat, aku pasti sudah mendapat Struktur DNA Liora."

Ia mengepalkan tangan, merasa kesal karena waktunya semakin sedikit. "Dengan struktur DNA ini, Aku bisa menciptakan generasi manusia yang lebih kuat dan pintar"

---

Sementara itu, di markas **Venom Syndicate**, **Valeria** berdiri dengan anggun di depan jendela besar.

Di tangannya, terlihat data DNA Liora yang berhasil mereka kumpulkan.

"Sial," gumam Valeria dengan nada kesal.

"Aku hanya kurang struktur DNA dari Fopuveria Foundation. Andai saja aku membunuh Elgarda di tempat, pasti aku sudah menjadi perusahaan sains yang sangat dihormati."

Ia menggigit bibirnya, merasa frustrasi.

Disi Lain di Perusahaan Genovate, Tiba-tiba, alarm berbunyi pelan.

Salah satu teknisi mendekat dengan wajah pucat. "Tuan Elgarda, ada pergerakan tak dikenal menuju fasilitas kita."

Elgarda menatap layar pengawas.

Melalui kamera keamanan, terlihat pasukan yang dipimpin oleh Rey dan Kim Ji mendekati laboratorium.

Wajahnya memerah oleh amarah. "Mereka berani menyerangku ?, Persiapkan semua pertahanan !, Aku tidak akan membiarkan mereka menghancurkan apa yang telah kubangun!"

---

Di depan gerbang laboratorium Genovate, Rey berdiri berdampingan dengan Kim Ji-. Wanita ini tampil anggun dalam balutan jas lab putih, rambut hitam panjangnya tertiup angin.

Matanya menatap lurus ke depan dengan ketegasan.

"Tim A bersiap untuk infiltrasi. Tim B, lindungi perimeter," perintahnya dalam bahasa Mandarin yang fasih.

Rey mengangkat tangan, memberi isyarat kepada Runa, Thalassa, Nyra, dan Eira.

"Kalian memimpin tim keamanan dan sniper. Pastikan tidak ada satu pun pasukan Elgarda yang menghalangi jalan kita."

Runa mengangguk tegas. "Mengerti. Tim sniper, ikuti aku!"

Thalassa memasang headset komunikasinya. "Kami akan memberikan perlindungan penuh. Pastikan kalian menyelesaikan misi di dalam."

Nyra tersenyum tipis sambil memeriksa senapannya. "Ini akan menjadi malam yang panjang."

Eira menepuk bahu Nyra. "Siap"

---

Sementara itu di sisi lain perusahaan Venom Syndicate Mendapat serangan.

Salah satu asistennya menghampiri dengan wajah panik. "Nona Valeria, kita diserang!"

"Apa?" Valeria berbalik tajam. "Siapa yang berani?"

"Kelompok ilmuwan Rue. Mereka telah menembus lapisan keamanan pertama kita."

Valeria menggertakkan giginya. "Persiapkan pasukan! Aku akan memimpin sendiri pertahanan."

---

Di koridor gelap laboratorium Venom Syndicate, sekelompok ilmuwan Rue bergerak cepat dan senyap. Dipimpin oleh Dr. Leon, mereka memiliki tujuan jelas: menghentikan penelitian berbahaya Valeria.

"Kita harus mencapai ruang data sebelum dia memindahkan semuanya," bisik Dr. Leon.

Salah satu anggota timnya mengangguk. "Kami siap, Dokter."

---

Kembali ke Genovate, Tim Rey berhasil menembus gerbang utama, namun dihadang oleh pasukan robotik Elgarda.

Suara tembakan dan ledakan mengisi udara.

Kim Ji menekan perangkat di lengannya, memproyeksikan hologram peta laboratorium.

"Ada pintu masuk alternatif melalui terowongan bawah tanah. Jika kita bisa mencapai ruang pusat, kita bisa mematikan sistem mereka."

Rey setuju. "Baik. Runa, bagaimana situasi di atas?"

Suara Runa terdengar melalui komunikasi. "Kami berhasil menahan mereka. Thalassa dan Nyra memberikan perlindungan dari atap. Eira sedang mengamankan sisi timur."

"Bagus. Teruskan kerja bagus kalian," kata Rey sambil bergerak menuju terowongan yang ditunjukkan Kim.

---

Di ruang kontrol, Elgarda menyaksikan pergerakan mereka melalui monitor. Wajahnya memerah oleh kemarahan. "Mereka terlalu pintar. Tapi aku tidak akan membiarkan mereka menang."

Dia menekan serangkaian tombol, mengaktifkan sistem pertahanan otomatis. Laser dan jebakan mulai aktif di seluruh koridor.

---

Rey dan Kim berhenti sejenak saat melihat lantai yang tiba-tiba bersinar. "Hati-hati, ini jebakan," kata Kim sambil menganalisis pola laser.

Rey menghela napas. "Kita butuh waktu untuk menonaktifkannya."

Kim tersenyum tipis. "Untungnya, aku ahli dalam hal ini." Dengan cekatan, dia membuka panel tersembunyi dan mulai meretas sistem.

Sementara itu, suara tembakan semakin mendekat. "Kita punya tamu tak diundang," kata Rey sambil bersiap.

---

Di atap, Thalassa mengamati melalui scope-nya. "Ada pasukan tambahan datang dari selatan."

Nyra menyiapkan senapannya. "Aku melihat mereka. Siap untuk menembak."

Runa memberikan instruksi melalui radio. "Pastikan mereka tidak mencapai tim utama."

Eira, dari posisinya, menargetkan kendaraan musuh. "Aku akan menghentikan kendaraan mereka."

---

Kim berhasil menonaktifkan jebakan. "Jalan sudah aman."

Rey mengangguk. "Ayo kita lanjutkan."

Mereka akhirnya mencapai ruang pusat. Di sana, Elgarda sudah menunggu dengan senjata di tangannya. "Kalian benar-benar gigih."

Rey menatapnya tajam. "Ini sudah berakhir, Elgarda. Serahkan diri."

Elgarda tertawa keras. "Serahkan diri? Kalian yang akan mati di sini!"

Tanpa peringatan, dia menekan tombol yang mengaktifkan protokol penghancuran diri laboratorium.

Lampu merah berkedip-kedip, alarm darurat berbunyi nyaring.

"Kita harus keluar sekarang!" seru Kim dengan cemas.

"Tidak sebelum kita menghancurkan data ini," Rey bersikeras.

Kim mengangguk. "Baik. Aku akan menyalin dan menghapus sistemnya. Tolong tahan dia!"

Rey bergerak cepat, menghadang Elgarda.

Pertarungan fisik terjadi, keduanya menunjukkan keterampilan bertarung yang sangat hebat.

---

Di luar, Runa dan timnya melihat bangunan mulai bergetar. "Waktunya hampir habis," kata Thalassa.

Nyra menggigit bibirnya. "Aku harap mereka keluar tepat waktu."

---

Di dalam, Kim berhasil menyelesaikan tugasnya. "Data telah dihapus!"

Rey, meski terluka, berhasil menjatuhkan Elgarda sementara. "Ayo pergi!"

Mereka berdua berlari keluar secepat mungkin, meninggalkan Elgarda yang tergeletak di lantai. Saat mereka mencapai pintu keluar, ledakan besar menghancurkan laboratorium Genovate.

Runa dan yang lainnya berlari menghampiri mereka. "Kalian baik-baik saja ?" tanya Eira dengan cemas.

Rey tersenyum meski napasnya terengah. "Kami berhasil."

Gedung Genovate Telah Hancur.

---

**Dr. Leon** berdiri memandang peta besar yang terpampang di dinding.

Matanya menelusuri setiap detail desain markas **Venom Syndicate**,

"Ini bukan tugas yang mudah," kata **Maya**, asisten setianya, sambil memeriksa tablet di tangannya. "Keamanan Venom Syndicate sangat ketat. Mereka memiliki sistem pengamanan genetika yang hampir tak tertembus."

Dr. Leon mengangguk pelan. "Aku menyadarinya. Tapi kita tidak punya pilihan lain. Data struktur Liora ada di sana, dan jika kita tidak mendapatkannya terlebih dahulu, Valeria akan menggunakannya untuk tujuan jahatnya."

**Alex**, seorang teknisi muda berbakat, mendekat dengan raut wajah cemas. "Dokter, apakah kita benar-benar siap untuk ini? Risiko yang kita hadapi sangat besar."

Dr. Leon menatap mata Alex dengan penuh keyakinan. "Aku memahami kekhawatiranmu, Alex. Namun, dunia bergantung pada keberhasilan kita malam ini. Kita bukan hanya mencuri data, kita menyelamatkan masa depan."

Suasana hening sejenak. Setiap orang merenungkan kata-kata Dr. Leon, Akhirnya, Maya memecah keheningan. "Baiklah, tim. Waktunya bergerak. Sesuai rencana, kita akan memasuki gedung melalui jalur servis bawah tanah."

***

Di lain tempat, Valeria berdiri anggun di depan jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota metropolitan.

Di tangannya, sebuah kristal data kecil yang berisi sebagian struktur genetik Liora.

Matanya menatap jauh, penuh ambisi dan keinginan kuat untuk menguasai ilmu pengetahuan.

"Evelyn," panggilnya lembut namun berwibawa.

Seorang wanita berambut pirang dengan pakaian formal mendekat. "Ya, Nona Valeria?"

"Apakah semuanya sesuai rencana?"

Evelyn mengangguk. "Ya, Nona. Penelitian kita hampir mencapai tahap akhir. Dengan data ini, kita akan mampu menciptakan generasi baru yang lebih kuat."

Valeria tersenyum tipis. "Bagus."

Evelyn menatapnya dengan serius. "Akan saya pastikan, Nona."

***

Sementara itu, Dr. Leon dan timnya berhasil mencapai terowongan servis yang menuju langsung ke laboratorium utama Venom Syndicate.

Mereka bergerak dengan hati-hati, menggunakan peralatan canggih untuk menghindari deteksi sensor.

"Jalur ini harusnya aman," bisik Maya sambil memeriksa indikator di tablet. "Namun, kita harus tetap waspada."

Alex mengecek perangkat pengacau sinyal yang mereka bawa. "Perangkat ini akan menonaktifkan sistem keamanan mereka selama sepuluh menit. Kita harus bergerak cepat."

Dr. Leon menatap jam tangan. "Kita mulai sekarang."

Mereka memasuki koridor utama laboratorium, setiap langkah terasa berat dengan risiko tertangkap.

Mereka tiba di pintu baja besar yang menjadi penghalang terakhir menuju ruang penyimpanan data.

"Maya, kau tahu apa yang harus dilakukan," kata Dr. Leon.

Maya mengangguk dan mulai bekerja pada panel kontrol pintu. Jari-jarinya menari cepat di atas keypad, mencoba meretas sistem pengaman yang kompleks.

"Waktumu lima menit," ujar Alex dengan suara tegang.

Di saat yang sama, di ruang keamanan, alarm diam mulai berbunyi pelan. **Damien**, kepala keamanan malam itu, melihat indikator aneh di monitor.

"Aneh," gumamnya. "Ada gangguan di sektor tujuh."

Dia menghubungi tim patroli. "Periksa area sektor tujuh. Laporkan jika ada aktivitas mencurigakan."

***

Kembali ke Dr. Leon, pintu baja akhirnya terbuka dengan suara mendesis. "Selesai!" seru Maya dengan lega.

Mereka segera masuk ke dalam ruangan berisi deretan server dan perangkat penyimpanan data canggih. Cahaya biru berkedip-kedip dari mesin-mesin tersebut, menciptakan suasana futuristik.

"Alex, mulai transfer data. Kita hanya punya sedikit waktu," perintah Dr. Leon.

Alex segera menghubungkan perangkat penyimpanannya ke terminal utama. "Transfer dimulai. Estimasi waktu tiga menit."

Tiba-tiba, suara langkah kaki berat terdengar mendekat.

Wajah Dr. Leon menegang. "Maya, periksa situasi."

Maya melihat melalui kamera keamanan yang berhasil ia akses. "Ada tim keamanan mendekat. Kita ketahuan."

Dr. Leon mengepalkan tangan. "Kita harus mempertahankan posisi sampai transfer selesai."

Pintu ruangan terbuka dengan keras, dan beberapa petugas keamanan bersenjata masuk. "Berhenti! Angkat tangan kalian!" teriak Damien dengan wajah marah.

Dr. Leon berdiri di depan timnya. "Kami tidak ingin ada pertumpahan darah. Biarkan kami pergi, dan tidak akan ada yang terluka."

Damien menatapnya tajam. "Kalian pikir bisa masuk ke sini dan pergi begitu saja ? Serahkan diri kalian sekarang juga !"

Situasi memanas. Maya perlahan menggeser tangannya ke peralatan pengacau sinyal cadangan. "Dokter, kita harus melakukan sesuatu."

Alex berbisik, "Transfer hampir selesai."

Dr. Leon menatap Damien. "Kami melakukan ini demi mencegah bencana yang lebih besar. Valeria berencana menggunakan data ini untuk hal yang berbahaya."

Damien tertawa sinis. "Itu bukan urusan kalian."

Pada saat itu, Maya menekan tombol pada perangkatnya. Seketika, lampu ruangan berkedip-kedip sebelum padam total.

Kegelapan menyelimuti, hanya diterangi oleh cahaya layar monitor.

"SEKARANG!" seru Dr. Leon.

Mereka bergerak cepat.

Maya melemparkan tabung asap yang segera memenuhi ruangan, menciptakan kebingungan di antara para petugas keamanan.

Alex mencabut perangkat penyimpanannya. "Data sudah di tangan!"

Dengan sigap, mereka keluar melalui pintu belakang yang sebelumnya telah mereka persiapkan sebagai jalur evakuasi.

Damien, yang mulai pulih dari efek asap, berteriak kepada anak buahnya. "Kejar mereka! Jangan biarkan lolos!"

***

Di koridor gelap, tim Dr. Leon berlari secepat mungkin. Napas mereka terengah, namun adrenalin memacu mereka untuk terus bergerak. Terdengar suara sirine dan langkah kaki di belakang mereka.

Maya memeriksa perangkatnya. "Kita punya kendaraan menunggu di pintu keluar selatan. Tapi kita harus melewati atrium utama."

Dr. Leon mengangguk. "Tidak ada pilihan lain. Ayo."

Mereka memasuki atrium—ruangan luas dengan lantai marmer dan patung-patung modern. Di sisi lain atrium, terlihat pintu keluar, Namun, puluhan petugas keamanan sudah menunggu dengan senjata terangkat.

Valeria muncul di atas balkon, menatap mereka dengan sorot mata dingin. "Dr. Leon. Tak kusangka kau akan sejauh ini mengkhianatiku."

Dr. Leon menatapnya dengan tegas. "Ini bukan pengkhianatan, Valeria. Ini demi keselamatan umat manusia. Apa yang kau rencanakan akan membawa kehancuran."

Valeria tersenyum sinis. "Kau terlalu idealis. Ilmu pengetahuan butuh pengorbanan. Dengan data itu, aku akan membawa umat manusia ke tingkat evolusi berikutnya."

"Atas biaya berapa? Berapa banyak nyawa yang akan hilang?" balas Dr. Leon.

Valeria mengangkat tangan, memberikan isyarat kepada petugas keamanan. "Tangkap mereka."

Maya berbisik kepada Dr. Leon, "Kita terpojok."

Tiba-tiba, suara ledakan terdengar dari salah satu sisi atrium. Dinding meledak, menciptakan kepulan asap dan serpihan.

"Siapa itu?" tanya Alex dengan terkejut.

Dari balik asap, muncul **Rey** dan timnya. "Maaf terlambat," katanya sambil tersenyum. "Kupikir kalian butuh bantuan."

Valeria terkejut. "Rey ?! Bagaimana kau bisa..."

Rey tidak menjawab. "Ayo, ini jalan keluar kalian."

Dr. Leon tidak membuang waktu. "Semua, ikuti Rey!"

Mereka berlari menuju lubang di dinding, sementara Rey dan timnya memberikan perlindungan dengan menembakkan senjata ke arah petugas keamanan.

Valeria berteriak marah. "Kalian tidak akan lolos!"

Rey menoleh sebentar. "Sampai jumpa, Valeria."

***

Di luar, kendaraan-kendaraan hitam sudah menunggu. Mereka semua masuk dan segera melaju meninggalkan area Venom Syndicate.

Di dalam mobil, Dr. Leon menatap Rey dengan rasa terima kasih. "Kau datang tepat waktu."

Rey tersenyum. "Aku tidak bisa membiarkan kalian sendirian menghadapi Valeria."

Maya menatap ke belakang, memastikan tidak ada yang mengejar. "Kita berhasil lolos, untuk sekarang."

Alex memegang erat perangkat penyimpanannya. "Dan kita punya data ini."

Dr. Leon memejamkan mata sejenak, merasakan beban perlahan terangkat. "Langkah selanjutnya adalah menganalisis dan mencari cara untuk menghentikan rencana Valeria."

Rey mengangguk

***

Di markas Venom Syndicate, Valeria berdiri dengan marah. Evelyn mendekat dengan hati-hati. "Nona, mereka berhasil lolos."

"Aku tahu itu!" bentak Valeria. "Kita tidak bisa membiarkan ini berlanjut. Siapkan semua sumber daya. Kita akan memburu mereka sampai ke ujung dunia."

Evelyn mengangguk patuh. "Akan saya lakukan."

Valeria menatap keluar jendela dengan dendam membara. "Leon, Rey... Kalian pikir bisa menghentikanku !

***

Beberapa hari kemudian, di sebuah tempat persembunyian yang aman, Dr. Leon, Rey, dan tim mereka berkumpul di sekitar meja besar. Data struktur Liora terpampang di layar besar, menunggu untuk dipecahkan.

"Data ini sangat rumit," kata Maya. "Tapi jika kita bisa memahaminya, kita bisa menemukan cara untuk menetralkan efeknya."

Rey menambahkan, "Kita juga harus memikirkan langkah untuk mengungkap kejahatan Valeria ke publik.

Tanpa dukungan, ia akan kehilangan pengaruhnya."

Dr. Leon mengangguk. "Benar. Kita harus bergerak di sektor ilmiah dan sosial."

Alex tersenyum tipis.

----

Pintu ruangannya terbuka perlahan. **Dr. Leon** memasuki ruangan dengan langkah mantap, diikuti oleh **Maya** dan **Alex**. Wajah mereka menunjukkan kelelahan, namun mata mereka memancarkan kepuasan dan kelegaan.

"Arya," sapa Dr. Leon dengan suara tenang namun penuh makna.

Arya segera bangkit dari kursinya. "Leon, apa kau berhasil?" tanyanya dengan harap-harap cemas.

Tanpa banyak bicara, Dr. Leon mengeluarkan perangkat penyimpan data kecil dari sakunya. "Ini dia. Data struktur DNA Liora telah berhasil dineutralkan. Kini, tidak ada lagi yang bisa menyalahgunakannya."

Sejenak, keheningan memenuhi ruangan. Arya menatap perangkat itu dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Leon. Kau telah menyelamatkan putriku dan mungkin juga dunia."

Dr. Leon tersenyum tipis. "Ini adalah tugas kita bersama. Liora adalah harapan bagi banyak orang. Kita tidak bisa membiarkan teknologi ini jatuh ke tangan yang salah."

Maya menambahkan, "Kami juga telah memastikan bahwa tidak ada salinan data yang tertinggal di tangan Valeria atau Elgarda."

Arya menghela napas lega. "Kalian semua telah melakukan pekerjaan yang luar biasa. Keberanian dan dedikasi kalian tidak ternilai."

***

Sementara itu, di ruang pertemuan lain di gedung yang sama, **Rey** duduk berhadapan dengan tim ilmuwan Fopuveria Foundation. Di mejanya terletak dokumen-dokumen penting yang berisi data struktur DNA milik fondasi tersebut.

"Sesuai janji, kami mengembalikan semua data struktur DNA yang sebelumnya dicuri oleh Genovate dan Venom Syndicate," kata Rey sambil mendorong dokumen itu ke tengah meja.

Salah satu ilmuwan senior, **Dr. Haruto**, memeriksa dokumen-dokumen tersebut dengan teliti. Wajahnya menunjukkan kekaguman. "Ini luar biasa. Bagaimana kalian bisa mendapatkan semua ini?"

Rey tersenyum samar. "Dengan sedikit bantuan dan kerjasama yang baik. Yang terpenting sekarang adalah memastikan data ini aman dan digunakan untuk kebaikan."

Dr. Haruto mengangguk. "Kami akan memastikan hal itu. Terima kasih atas upaya kalian."

Rey menatap keluar jendela, memandang matahari yang mulai terbenam. Pikirannya melayang pada perjuangan yang telah dilalui dan tantangan yang masih menanti.

***

Di tempat lain, bayangan senja menggantikan terang hari, menutupi kota dengan selimut gelap.

**Valeria**, dengan wajah penuh amarah, bersembunyi di markas rahasianya.

Namun, di kejauhan, tim **Liberty Phantom** telah bersiap. **Runa**, **Thalassa**, **Nyra**, dan **Eira** berada di posisi masing-masing, mengintai markas Valeria dengan ketajaman dan keahlian yang tak tertandingi.

"Kita hanya punya satu kesempatan," bisik Runa melalui komunikasi internal. "Valeria harus dihentikan malam ini."

Thalassa menyesuaikan scope sniper-nya. "Angin stabil. Target terkunci."

Nyra, dari posisi lain, melaporkan, "Tidak ada aktivitas mencurigakan. Keamanan minim. Sepertinya mereka tidak menyangka kita akan datang."

Eira menambahkan, "Ingat, prioritas kita adalah menangkapnya hidup-hidup jika memungkinkan. Tapi jika situasinya membahayakan, kita harus mengambil tindakan tegas."

Runa mengambil napas dalam, menenangkan pikirannya. "Baiklah, tim. Dalam hitungan tiga... dua... satu... bergerak."

Mereka bergerak serentak, seperti bayangan yang menyatu dengan kegelapan malam. Setiap langkah terukur, setiap gerakan disinkronkan dengan sempurna.

Di dalam markas, Valeria duduk di depan layar komputernya, mencoba menyusun rencana baru. Tiba-tiba, lampu di ruangan berkedip-kedip sebelum padam sepenuhnya.

"Apa yang terjadi?" serunya dengan nada panik.

Salah satu asistennya, **Evelyn**, berlari masuk. "Nona Valeria, sistem keamanan kita telah diretas! Kita diserang!"

Sebelum Valeria sempat menjawab, suara ledakan kecil terdengar dari pintu utama. Asap mulai memenuhi ruangan. "Kita harus pergi sekarang!" teriak Evelyn sambil menarik lengan Valeria.

Namun terlambat. Dari balik asap, muncul Runa dan Thalassa, senjata terarah namun tidak melepaskan tembakan.

"Valeria," panggil Runa dengan suara tegas. "Semua sudah berakhir. Menyerahlah."

Valeria menatap mereka dengan mata penuh kebencian. "Kalian pikir aku akan menyerah semudah itu?" Dengan gerakan cepat, ia mengeluarkan perangkat kecil dari sakunya dan menekannya.

Alarm darurat berbunyi nyaring.

Dinding di belakang Valeria terbuka, memperlihatkan lorong rahasia.

"Kejar dia!" perintah Runa.

Thalassa dan Nyra segera mengikuti Valeria melalui lorong tersebut, sementara Eira dan Runa bertahan untuk menghadapi pasukan keamanan yang mulai berdatangan.

Pertempuran sengit terjadi. Dentingan peluru dan ledakan terdengar di seluruh markas.

Namun, keunggulan strategi dan keahlian Liberty Phantom membuat mereka unggul.

Nyra, dengan kecepatan dan kelincahannya, berhasil mendekati Valeria yang berusaha melarikan diri ke atap gedung.

"Berhenti!" seru Nyra sambil menghalangi jalannya.

Valeria tersudut, namun senyum sinis masih terpampang di wajahnya. "Kau tidak mengerti apa yang sedang kau hadapi," katanya.

"Dunia tidak lagi menjadi kanvas bagimu untuk menghancurkan," jawab Nyra dengan tegas.

Valeria mengangkat tangan, menunjukkan bahwa ia tidak bersenjata. "Baiklah, kau menang kali ini."

Namun, saat Nyra mendekat untuk memborgolnya, Valeria dengan cepat menggerakkan tangannya, mencoba menusukkan pisau kecil yang tersembunyi.

Seketika, suara tembakan terdengar.

Peluru sniper mengenai kepala valeria.

Valeria terhuyung, pisau terlepas dari tangannya.

Thalassa muncul dari belakang, senjatanya masih mengepul.

"Maaf, tapi aku tidak bisa membiarkanmu melukai temanku," ujarnya dingin.

Valeria jatuh berlutut, "Kalian... kalian pikir ini sudah berakhir?" katanya terengah-engah.

Eira dan Runa bergabung dengan mereka di atap. "Valeria, tidak ada lagi tempat bagimu untuk lari," kata Eira.

Dengan sisa tenaganya, Valeria tertawa lemah. "~~" lalu valeria kehilangan nyawanya.

Runa menatapnya dengan iba. "Ambisimu telah membutakanmu, Sudah cukup."

Mereka memborgol Valeria yang sudah tidak bernyawa lalu membawanya turun untuk di kuburkan dengan layak.

***

Di laboratorium Fopuveria Foundation, Dr. Leon sedang mempersiapkan presentasi tentang penelitian terbaru mereka.

Pintu ruangan terbuka, dan Liora masuk dengan senyum manis.

"Dokter Leon ?" sapanya.

Dr. Leon menoleh, sedikit terkejut namun senang. "Liora! Senang bertemu denganmu."

Liora mendekat dan menunduk hormat. "Terima kasih atas semua yang telah Anda lakukan untuk saya. Saya tidak tahu bagaimana membalas kebaikan Anda."

Dr. Leon tersenyum hangat. "Tidak perlu berterima kasih. Melihatmu sehat dan bahagia sudah menjadi hadiah terbesar."

Mereka duduk dan berbincang panjang lebar, saling berbagi cerita dan pandangan tentang masa depan.

"Dokter, apa rencana Anda selanjutnya?" tanya Liora penasaran.

"Saya berencana melanjutkan penelitian untuk membantu lebih banyak orang. Ilmu pengetahuan harus digunakan untuk kebaikan, dan saya ingin memastikan hal itu terjadi," jawab Dr. Leon.

Liora mengangguk setuju. "Jika ada yang bisa saya bantu, tolong beritahu. Saya ingin terlibat."

***

Di sisi lain kota, Rey dan tim Liberty Phantom berkumpul di markas mereka.

Suasana santai, berbeda dengan ketegangan yang biasa menyelimuti mereka.

"Kerja bagus, semuanya," kata Rey sambil mengangkat gelas. "Kita berhasil menghentikan ancaman Valeria dan mengembalikan kedamaian."

Runa tersenyum. "Ini semua berkat kerjasama dan kepercayaan di antara kita."

Thalassa menambahkan, "~~."

Nyra mengangguk. "~~"

Eira menatap ke kejauhan.

Rey mengangkat gelasnya lebih tinggi. "Untuk masa depan yang lebih cerah !"

"Untuk masa depan yang lebih indah !" seru yang lain serentak.

---

Tiga Minggu setelah kejadian yang mengancam nyawa liora.

Liora duduk di taman belakang, dikelilingi oleh teman-temannya.

"Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Mika sambil menyerahkan secangkir teh hangat.

Liora menghirup aroma teh itu. "Jauh lebih baik, Rasanya beban berat telah di hilang."

Sara duduk di sampingnya. "Semua ini berkat Rey dan timnya."

Rey yang berada tidak jauh tersenyum. "Aku hanya melakukan apa yang harus dilakukan."

Kim Ji menghampiri mereka. "Penelitian Elgarda dan Valeria telah dihentikan, Dunia aman, setidaknya untuk sementara."

Isabella menatap langit. "Semoga tidak ada lagi ancaman seperti itu di masa depan."

Hana menggenggam tangan Liora. "Sekarang, kita bisa fokus pada hal-hal yang kita cintai."

Liora mengangguk. "Terima kasih, semuanya. Kalian adalah keluarga bagiku."

Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap melalui tirai.

menerangi ruangan dengan cahaya hangat yang lembut. **Liora** membuka matanya perlahan, merasakan ketenangan yang sudah lama tidak ia rasakan.

Pintu kamar terbuka, dan **Arya**, ayahnya, masuk dengan senyum penuh kasih. "Selamat pagi, sayang. Sudah siap?" tanyanya dengan lembut.

Liora mengangguk sambil tersenyum. "Aku siap, Ayah." Meskipun ada sedikit keraguan, ia percaya pada ayahnya dan tim ilmuwan yang telah bekerja keras untuknya.

Arya mendekat dan duduk di tepi tempat tidurnya. "Penggabungan struktur DNA yang telah distabilkan ini akan membantu tubuhmu mencapai potensi terbaiknya. Proses ini akan membuatmu lebih kuat dan sehat."

Liora menatap mata ayahnya, matanya memancarkan kepercayaan. "Aku percaya padamu, Ayah. Hanya saja, aku sedikit gugup."

Arya menggenggam tangannya dengan hangat. "Itu wajar, sayang. Tetapi jangan khawatir, **Dr. Leon** dan timnya telah memastikan semuanya aman. Kami akan berada di sisimu sepanjang waktu."

Di laboratorium utama, suasana sibuk namun tenang.

Dr. Leon memeriksa sekali lagi semua persiapan, memastikan setiap detail telah diperhatikan. **Maya** dan tim ilmuwan lainnya sibuk dengan peralatan mereka, memantau berbagai indikator dan parameter.

"Semua sistem berfungsi normal," lapor Maya. "Kapsul siap digunakan kapan saja."

Sementara itu, **Rey** memberikan arahan kepada **Thalassa**, **Runa**, dan **Eira**. "Meskipun ancaman dari Valeria dan Elgarda telah berakhir, kita tetap harus berjaga-jaga.

Lakukan pengawasan jarak jauh untuk memastikan semuanya berjalan lancar."

Thalassa tersenyum. "Tenang saja, Rey. Kami akan memastikan tidak ada gangguan."

Runa menambahkan sambil memeriksa alat komunikasinya, "Lebih baik bersiap daripada lengah. Kami akan melaporkan jika ada hal mencurigakan."

Eira mengangguk. "Kami akan memastikan situasi tetap kondusif."

Kembali ke laboratorium, Liora memasuki ruangan dengan langkah mantap meski hatinya berdegup kencang.

Kapsul transparan berdiri megah di tengah ruangan, memancarkan cahaya biru yang menenangkan.

Dr. Leon menyambutnya dengan senyum ramah. "Bagaimana perasaanmu, Liora?"

"Aku sedikit gugup, tapi siap," jawabnya dengan jujur.

"Bagus," kata Dr. Leon. "Proses ini akan berjalan cepat, dan kami akan memantaumu setiap saat. Jika ada yang membuatmu tidak nyaman, segera beritahu kami."

Liora mengangguk, lalu berbaring di dalam kapsul yang hangat dan nyaman. Pintu kapsul menutup perlahan, dan suara mesin mulai terdengar halus.

"Bisakah kau mendengarku?" tanya Dr. Leon melalui interkom.

"Ya, suaramu jelas," jawab Liora sambil menatap langit-langit kapsul yang berhiaskan cahaya lembut.

"Baiklah, kita akan memulai. Tarik napas dalam-dalam dan rileks."

Dalam ruang kontrol, para ilmuwan memantau layar yang menampilkan berbagai data biologis.

Grafik dan angka bergerak dinamis, menunjukkan bahwa semuanya berjalan sesuai rencana.

Tahap pertama dimulai. Liora merasakan sensasi hangat yang menyebar di seluruh tubuhnya, seperti pelukan lembut yang menenangkan.

Ia memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam perasaan damai tersebut.

"Bagaimana rasanya?" tanya Dr. Leon dengan lembut.

"Hangat dan nyaman. Seperti terapung di atas awan," jawab Liora dengan suara tenang.

Tahap kedua memasuki proses penggabungan struktur DNA yang lebih dalam.

Di layar monitor, integrasi molekular berlangsung sempurna. Para ilmuwan saling bertukar pandang, tersenyum penuh harap.

"Proses berjalan sesuai harapan," bisik Maya dengan lega.

Di dalam kapsul, Liora mulai melihat kilasan kenangan indah—masa kecilnya, tawa bersama teman-temannya - sahabatnya dan momen hangat bersama keluarga.

Hatinya dipenuhi rasa syukur dan kebahagiaan.

"Aku melihat kenangan-kenangan yang membahagiakan," katanya pelan.

"Itu pertanda baik," jawab Dr. Leon. "Fokuslah pada perasaan tersebut."

Tahap akhir mendekat, dan cahaya di dalam kapsul perlahan meredup. Liora membuka matanya, merasakan kedamaian yang mendalam.

"Proses selesai," lapor Maya. "Semua tanda vital normal. Tidak ada anomali terdeteksi."

Dr. Leon dan Arya saling tersenyum lega. "Bagus sekali," kata Arya, matanya berkaca-kaca.

Pintu kapsul terbuka, dan Liora bangkit perlahan. Wajahnya tampak bercahaya, matanya memancarkan energi baru yang menenangkan.

"Bagaimana perasaanmu, sayang ?" tanya Arya sambil mendekat.

Liora tersenyum hangat. "Aku merasa luar biasa, Ayah. Lebih sehat dan kuat dari sebelumnya."

Para ilmuwan yang hadir memberikan tepuk tangan spontan, merayakan keberhasilan proses tersebut.

Suasana menjadi hangat dan penuh kegembiraan.

"Kerja bagus, semuanya," kata Dr. Leon kepada timnya. "Ini adalah hasil dari dedikasi dan kerja keras kita bersama."

Sambil menikmati suasana bahagia, Rey dan timnya kembali ke dalam laboratorium. "Bagaimana semuanya?" tanya Rey dengan antusias.

"Berjalan lancar dan sukses," jawab Dr. Leon dengan senyum lebar.

Rey menepuk bahu Liora. "Selamat, Liora. Kami semua bangga padamu."

"Terima kasih, Rey. Terima kasih semuanya," balas Liora tulus.

Hari ini juga mereka merayakan keberhasilan tersebut dengan makan siang bersama di taman laboratorium.

Tawa dan cerita mengisi suasana, menggantikan kecemasan yang sebelumnya menyelimuti mereka.

Arya menatap putrinya yang tampak bahagia di antara teman-temannya.

Hatinya dipenuhi rasa syukur. "Melihatnya seperti ini, rasanya semua usaha kita terbayar," katanya kepada Dr. Leon.

"Benar sekali," jawab Dr. Leon sambil menyesap tehnya.

Arya mengangguk setuju. "aku yakin kita bisa menghadapi apa pun di masa depan."

Sore harinya, Liora berjalan-jalan di taman, menikmati angin sepoi-sepoi yang menyejukkan. Rey menghampirinya dengan senyum hangat.

"Apa yang kau pikirkan?" tanyanya sambil duduk di sampingnya.

Liora menatap langit biru. "Aku merasa bersyukur. Semua yang terjadi membuatku sadar betapa berharganya teman dan keluarga."

"Itu pemikiran yang indah," kata Rey. "Kau telah melalui banyak hal, dan kau tetap kuat."

Liora tersenyum. "Aku tidak bisa melakukannya tanpa dukungan kalian."

Rey menatapnya dengan penuh keyakinan. "Kami akan selalu ada di sisimu."

Mereka berdua duduk dalam keheningan yang nyaman, menikmati keindahan alam sekitar. Bunga-bunga bermekaran, dan burung-burung bernyanyi merdu, seolah merayakan kedamaian yang telah kembali.

Di tempat lain, Dr. Leon dan Maya berdiskusi tentang rencana penelitian selanjutnya. "Aku berpikir untuk mengembangkan teknologi ini agar bisa membantu lebih banyak orang," kata Dr. Leon dengan semangat.

Maya tersenyum. "Itu ide bagus. Kita bisa fokus pada penyembuhan penyakit genetik."

"Aku setuju," tambah Arya yang bergabung dengan mereka. "Kita harus memastikan pengetahuan ini digunakan untuk kebaikan."

Mereka bertiga tenggelam dalam diskusi, semangat mereka terpancar jelas. Ada harapan baru untuk masa depan yang lebih baik.

Malam tiba, dan bintang-bintang mulai bermunculan di langit. Liora kembali ke kamarnya dengan hati yang tenang. Sebelum tidur, ia menulis di jurnal pribadinya:

"Ini adalah hari yang tak terlupakan. Aku merasa lebih kuat dan siap untuk menghadapi dunia. Aku berterima kasih kepada semua orang yang telah mendukungku. Mulai sekarang, aku ingin menggunakan kekuatanku untuk membantu orang lain."

Dengan senyum di wajahnya, Liora memejamkan mata.

Keesokan Paginya, sinar mentari perlahan merayap masuk melalui celah tirai kamar **Liora**.

Liora terbangun dengan tubuh mengejang hebat.

Rasa sakit tajam menjalar di setiap sarafnya, membuatnya menggeliat tanpa kendali. Kulitnya mendadak **pucat**.

Keringat dingin membasahi dahinya, dan napasnya tersengal-sengal.

Di kamar sebelah, **Arya** dan **Nadira**, ayah dan ibu Liora, terkejut mendengar jeritan putri mereka. Wajah Nadira memucat, matanya dipenuhi kecemasan. "Itu suara Liora!" serunya panik.

Tanpa berpikir dua kali, mereka berlari menuju kamar Liora.

Pintu kamar didobrak dengan cepat. Pemandangan yang mereka lihat menghentak hati mereka.

Liora terbaring di tempat tidur, tubuhnya menggigil hebat. Mata indahnya terpejam erat, menahan rasa sakit yang tak tertahankan.

"Liora! Sayang, apa yang terjadi?" Nadira mendekati putrinya, suaranya bergetar menahan tangis.

Arya segera meraih ponselnya, hendak menghubungi **Dr. Leon**.

Namun sebelum ia sempat menekan tombol panggil, pintu rumah terdengar diketuk keras. Dr. Leon bersama **Maya** dan tim ilmuwan lainnya berdiri di ambang pintu dengan ekspresi cemas.

"Ada apa? Kami mendengar teriakan," ujar Dr. Leon sambil masuk ke dalam rumah tanpa menunggu izin.

"Leon, syukurlah kau di sini. Liora... dia seperti..." Arya tak sanggup melanjutkan kata-katanya, matanya memandang putrinya dengan kepedihan.

Dr. Leon segera menghampiri Liora, memeriksa denyut nadinya.

"Kita harus membawanya ke laboratorium sekarang juga. Mungkin ada reaksi dari penggabungan DNA yang kemarin."

Tanpa membuang waktu, mereka memindahkan Liora ke ruang medis khusus di rumah mereka.

Mesin-mesin segera dipasang, monitor menunjukkan data vital Liora yang fluktuatif. Wajah Maya tampak tegang saat melihat grafik yang naik turun tak menentu.

"Dokter, aktivitas neuron di otaknya meningkat drastis," lapor Maya dengan nada khawatir.

Nadira menggenggam tangan suaminya erat. "Apa yang terjadi padanya, Arya? Mengapa ini terjadi?"

Arya menggeleng lemah. "Aku tidak tahu, Nadira. Aku berharap semuanya akan berjalan lancar."

Beberapa menit berlalu dalam ketegangan. Perlahan, tubuh Liora berhenti mengejang.

Napasnya mulai teratur, dan warna kulitnya kembali normal, bahkan tampak lebih bercahaya dari sebelumnya. Semua orang menghela napas lega.

Namun ketika Liora membuka matanya, ada kekosongan di sana. Ia menatap langit-langit dengan tatapan bingung. Dr. Leon mendekat dengan hati-hati. "Liora, bagaimana perasaanmu?"

Liora menoleh perlahan, matanya memperhatikan wajah-wajah di sekitarnya. "Di mana aku?" tanyanya lirih.

Nadira tersenyum lembut. "Kau di rumah, sayang. Kami di sini bersamamu."

Liora mengerutkan kening. "Rumah? Siapa kalian?"

Degup jantung Arya terasa berhenti sejenak. "Liora, ini Ayah dan Ibu. Kau tidak mengenali kami?"

Liora menggeleng pelan. "Maaf, aku tidak ingat."

Dr. Leon bertukar pandang dengan Maya, kekhawatiran terpancar jelas.

Maya berbisik, "Kemungkinan ada gangguan pada memori jangka panjangnya."

Arya menatap Dr. Leon dengan mata memohon. "Leon, tolong lakukan sesuatu."

Dr. Leon menarik napas dalam. "Kita perlu melakukan beberapa tes lagi. Mungkin ini efek samping sementara."

Sementara itu, Liora bangkit dari tempat tidur, matanya menelusuri ruangan.

"Kenapa aku di sini? Aku seharusnya di agensi Lololope. Aku punya streaming hari ini."

Semua yang hadir terdiam.

Arya mencoba menjelaskan dengan lembut. "Liora, kau telah berada di rumah selama beberapa hari terakhir."

Liora menatapnya dengan bingung. "Aku tidak mengerti. Yang kuingat, aku adalah Vtuber di agensi Lololope.

Dan... Mika! Di mana Mika? Kami selalu bermain Ultraman Nexus di PS2 saat kecil."

Nadira menutup mulutnya dengan tangan, air mata mulai mengalir di pipinya. "Ya Tuhan, dia hanya mengingat masa kecilnya."

Dr. Leon meletakkan tangan di bahu Liora. "Tenanglah, Liora. Kami akan membantumu mengingat."

Tiba-tiba, bel pintu berbunyi. **Mika** berdiri di depan pintu dengan wajah cemas. "Aku datang segera setelah kalian menelepon. Bagaimana kondisinya?"

Arya mengangguk. "Masuklah. Mungkin kehadiranmu bisa membantunya."

Mika masuk dan segera menghampiri Liora. "Liora, apa kau baik-baik saja?"

Liora menoleh dan matanya berbinar. "Mika! Senang melihatmu! Aku merasa aneh tadi, tapi sekarang jauh lebih baik."

Mika tersenyum lega. "Syukurlah. Kami semua mengkhawatirkanmu."

Liora menatapnya dengan penuh harap. "Aku ingin ke agensi. Ada banyak hal yang harus aku kerjakan."

Mika menatap Arya dan Nadira dengan ragu. "Mungkin kita bisa membawanya jalan-jalan untuk menyegarkan pikiran?"

Dr. Leon mengangguk setuju. "Itu ide bagus. Mungkin lingkungan yang familiar bisa membantu memulihkan ingatannya."

Hari itu, Mika dan Liora pergi ke agensi Lololope. Dalam perjalanan, mereka berbincang ringan, tertawa mengenang masa-masa bermain game bersama.

Sesampainya di agensi, staf dan teman-teman Liora menyambutnya dengan hangat. **Sara**, salah satu rekan Vtuber-nya, mendekat. "Liora! Kami merindukanmu."

Liora tersenyum. "Aku juga merindukan kalian. Maaf jika aku absen beberapa hari."

Sara menatapnya dengan prihatin. "Tidak apa-apa. Yang penting sekarang kau sudah kembali."

Mereka menghabiskan waktu bersama, mencoba menghidupkan kembali rutinitas yang biasa.

Namun, Liora merasa ada yang berbeda. Setiap sudut ruangan terasa asing meski ia tahu pernah berada di sana.

Di sela-sela kesibukan, Liora duduk sendirian di ruang rekaman.

Mika masuk dengan membawa dua cangkir kopi. "Istirahat dulu ?"

Liora menerima cangkir itu sambil tersenyum tipis. "Terima kasih."

Mika duduk di sampingnya. "Apa yang kau pikirkan?"

Liora menatap ke kejauhan. "Aku merasa ada bagian dari diriku yang hilang.

Seperti ada sesuatu yang penting tapi aku tidak tahu apa."

Mika menyentuh bahunya dengan lembut. "aku percaya, seiring waktu, semuanya akan kembali."

Liora menoleh padanya. "Bagaimana jika tidak?"

Mika tersenyum menenangkan. "Maka kita akan membuat kenangan baru. Bersama-sama."

Malam harinya, Liora kembali ke rumah. Arya dan Nadira menyambutnya dengan hangat. "Bagaimana harimu, sayang ?" tanya Nadira.

"Baik. Meski terasa aneh, tapi menyenangkan," jawab Liora.

Arya menghela napas lega. "Kami senang kau menikmati harimu."

Selama beberapa hari berikutnya, rutinitas ini berlanjut.

Liora berusaha menjalani kehidupannya seperti biasa, meski ingatan tentang keluarganya masih belum kembali.

Arya dan Nadira tetap sabar, memberikan dukungan tanpa henti.

Suatu pagi, saat sarapan, Liora menatap kedua orang tuanya. "Aku ingin bertanya sesuatu."

"Tentu, sayang. Apa itu ?" jawab Arya.

"Bisakah kalian menceritakan tentang diriku? Tentang keluarga kita?"

Nadira tersenyum hangat. "Tentu. Kami akan dengan senang hati menceritakannya."

Mereka mulai bercerita tentang masa kecil Liora, kenangan keluarga, perjalanan liburan, dan momen-momen berharga lainnya. Liora mendengarkan dengan seksama, sesekali tersenyum atau tertawa kecil.

Saat mereka menunjukkan album foto keluarga, Liora melihat gambar dirinya saat berusia lima tahun, memegang es krim sambil tertawa bahagia. "Aku... aku ingat hari ini," ujarnya pelan.

Arya dan Nadira saling berpandangan dengan haru. "Benarkah?" tanya Nadira.

"Ya. Kita pergi ke pantai, dan aku menumpahkan es krim di baju Ayah," Liora tertawa kecil.

Mata Nadira berkaca-kaca. "Itu benar sekali."

Perlahan tapi pasti, ingatan Liora mulai kembali.

Setiap hari, ada saja potongan kenangan yang muncul.

Semangatnya semakin meningkat, dan senyum tulus kembali menghiasi wajahnya.

Suatu hari, saat duduk di taman belakang bersama Mika, Liora berkata, "Mika, terima kasih telah selalu ada untukku."

Mika menatapnya dengan lembut. "Kau tidak perlu berterima kasih. Aku senang bisa membantumu."

Liora menghela napas dalam. "Aku merasa beruntung memiliki teman seperti dirimu. Dan keluarga yang begitu penyayang."

Mika tersenyum cerah. "Kami juga beruntung memilikimu."

Malam itu, Liora memutuskan untuk menulis di buku hariannya. Ia mencurahkan perasaannya, harapan, dan impiannya. Ji

"Meski sempat kehilangan sebagian ingatanku, aku menyadari betapa berharganya setiap momen dalam hidupku. Aku bertekad untuk menghargai setiap detiknya dan menciptakan kenangan indah bersama orang-orang tersayang."

Liora menutup buku hariannya,

Di ruang kerja, Arya dan Dr. Leon berdiskusi. "Aku senang melihat perkembangan positif pada Liora," kata Arya dengan senyum lega.

"Ya, ini hasil dari dukungan dan cinta yang kalian berikan," jawab Dr. Leon. "Kekuatan keluarga memang luar biasa."

Arya menepuk bahu Dr. Leon. "Terima kasih atas semua bantuanmu, Leon. Kami tidak bisa melakukannya tanpa dirimu."

Dr. Leon tersenyum hangat. "Senang bisa membantu. Liora adalah pribadi yang istimewa."

Keesokan harinya, Liora mengumpulkan semua orang di ruang keluarga. "Aku punya pengumuman penting," katanya dengan semangat.

Semua mata tertuju padanya. "Apa itu, sayang?" tanya Arya.

"Aku memutuskan untuk mengadakan konser virtual spesial sebagai tanda terima kasihku kepada kalian semua. Aku ingin membagikan kisahku dan menginspirasi orang lain yang mungkin mengalami hal serupa."

Arya tersenyum bangga. "Itu ide yang luar biasa."

Mika mengacungkan jempol. "Aku akan mendukungmu sepenuhnya!"

Dalam hati mereka, semua merasa bahagia dan bangga atas keberanian dan tekad Liora.

Malam konser tiba.

Puluhan Juta penonton dari seluruh dunia menantikan penampilannya.

Liora berdiri di atas panggung yang dibuat dengan visual canggih oleh agensi lololope terasa membuatnya percaya.

"Aku akan menyanyikan lagu berjudul 'Shattered Mirror', Lagu ini terinspirasi dari kekacauan yang di ciptakan oleh venom syndicate dan genovate, Lagu ini juga berisikan semangat perjuangan yang sangat membara"

Liora pub mulai bernyanyi, Penampilannya memukau, setiap lantunan lirik sangat tepat dinyanyikan liora, liora terus bergerak secara lentur menyesuaikan dengan instrumental lagu.

Setelah konser usai.

"Jangan lupa kunjungi Channel Youtube Bernama Fopuveria Dan Isla Corvel Ya ! ~, Dua channel itu telah merilis Lagu-Lagu Yang aku Nyanyikan di Setiap BAB" ucap liora sambil tersenyum di depan kamera dengan sorotan lampu panggung yang fokus pada dirinya.

Di ruang keluarga, Arya, Nadira, Mika, dan Dr. Leon berkumpul, merayakan sukses besar tersebut.

"~~," kata Dr. Leon sambil mengangkat gelas.

Liora tersenyum bahagia. "Terima kasih ayah - ibu - mika dan dr leon."

Setelah berpesta, Liora keluar dari rumah untuk menatap bintang-bintang di langit malam.