Siapa yang bisa di percaya ?

Malam itu, langit gelap tanpa bintang.

Di tengah keheningan, bayangan-bayangan bergerak lincah di sekitar gedung tinggi Fopuveria Foundation**.

Venom Syndicate, dengan kepiawaian mereka, telah memasuki perimeter salah satu perusahaan teknologi paling maju di dunia.

**Dante** dan **Lucia**, anggota kunci Venom Syndicate, memimpin tim mereka dengan presisi. Wajah mereka tertutup masker hitam, mata mereka tajam menembus kegelapan.

"Kode keamanan sudah di-bypass," bisik Lucia melalui headset. Jari-jarinya menekan di atas tablet, meretas sistem keamanan yang paling canggih sekalipun.

"Bagus. Tim Alpha, masuk melalui pintu timur. Tim Bravo, siapkan pengalihan di sektor tiga," perintah Dante dengan suara tenang namun tegas.

Di dalam gedung, lampu-lampu redup menyala, memancarkan cahaya biru yang modern. Para ilmuwan Fopuveria sedang bekerja, tak menyadari bahaya yang mendekat. Data teknologi tercanggih mereka, hasil penelitian bertahun-tahun, tersimpan di server utama di lantai bawah tanah.

Dengan gerakan mulus, Dante dan timnya berhasil mencapai ruang server. Lucia segera menghubungkan perangkatnya ke terminal utama. "Kita punya lima menit sebelum sistem cadangan aktif," ujarnya sambil fokus pada layar.

Sementara itu, di tempat lain, para ilmuwan **Genovate** telah mencium aroma tak sedap. Setelah insiden sebelumnya, mereka memutuskan untuk mengawasi pergerakan Venom Syndicate. **Elgarda** dan **Dr. Elric** memimpin tim mereka menuju lokasi.

"Kita tidak bisa membiarkan mereka mencuri teknologi ini. Risiko terlalu besar," ujar Elgarda dengan nada dingin.

"Kita harus bekerja sama dengan Fopuveria, meski hubungan kita tidak terlalu baik," tambah Dr. Elric dengan ekspresi serius.

Di sisi lain, **Nadira** dan **Arya**, orang tua Liora, merasa gelisah. Mereka merasakan firasat buruk, seolah ada bahaya yang mengintai.

"Kamu merasa ada yang aneh, Mas?" tanya Nadira sambil memegang tangan suaminya.

"Iya, entah kenapa hati ini nggak tenang," jawab Arya sambil menatap jauh ke luar jendela.

Tiba-tiba, alarm gedung berbunyi nyaring. Lampu darurat menyala merah, menambah suasana mencekam. Para ilmuwan panik, berlarian mencari tahu apa yang terjadi.

Dante tersentak. "Waktu kita habis. Lucia, cepat!"

"Sedikit lagi... dan selesai!" Lucia menarik perangkatnya. "Semua data sudah kita dapatkan."

"Bagus. Sekarang kita harus keluar dari sini," Dante memberi isyarat kepada timnya.

Namun, saat mereka hendak meninggalkan ruang server, pintu-pintu otomatis tertutup rapat. Sistem keamanan tingkat tinggi telah diaktifkan.

"Sial! Mereka menjebak kita," geram Dante.

Dari speaker tersembunyi, suara Elgarda terdengar. "Venom Syndicate, kalian tidak akan lolos kali ini."

Lucia menatap Dante dengan cemas. "Apa yang harus kita lakukan?"

Dante menghela napas. "Kita harus cari jalan lain." Mereka segera bergerak menuju saluran ventilasi, berharap bisa keluar sebelum tertangkap.

Di luar gedung, tim Genovate dan Fopuveria Foundation telah mengepung area tersebut. Mereka memasang peralatan canggih untuk memantau setiap pergerakan.

"Pastikan tidak ada yang lolos," perintah Elgarda kepada timnya.

**

Sementara itu, Liora sedang berada di rumah. Ia duduk di taman belakang, menatap bintang-bintang yang berkelap-kelip. Hatinya resah tanpa alasan yang jelas.

Tiba-tiba, sosok pria muncul dari kegelapan. **Pria misterius** yang pernah menculiknya. Wajahnya sebagian tertutup bayangan, namun matanya menunjukkan ketulusan.

"Liora," panggilnya dengan suara lembut.

Liora terkejut, namun entah kenapa tidak merasa takut. "Kamu... kenapa ada di sini?"

"Aku datang untuk menjagamu," jawabnya singkat.

Liora bingung. "Menjagaku? Dari apa?"

"Saat ini, Venom Syndicate sedang beraksi. Mereka mencuri data penting yang bisa membahayakanmu," jelas pria itu dengan mata serius.

Liora menatapnya dalam-dalam. "Kenapa aku harus percaya padamu ?, Kamu pernah menculikku."

Pria itu menunduk sejenak. "Maafkan aku atas apa yang terjadi sebelumnya. Tapi sekarang, aku ingin menebus kesalahanku. Aku tahu banyak hal yang tidak kamu ketahui."

Sebelum Liora sempat menjawab, suara ledakan terdengar dari arah gedung Fopuveria. Api membumbung tinggi, menciptakan cahaya oranye di langit malam.

"Apa itu ?" Liora berdiri, matanya melebar.

"Kita harus pergi sekarang. Mereka akan segera datang," pria itu menarik tangan Liora dengan lembut namun tegas.

Liora merasa ragu. "Tunggu, orang tuaku..."

"Mereka akan aman. Percayalah padaku," ucap pria itu sambil menatapnya penuh keyakinan.

Melihat kesungguhan di matanya, Liora akhirnya mengangguk. "Baiklah."

**

Di jalanan sepi, Dante dan Lucia berlari mencari jalan keluar. Napas mereka memburu, keringat membasahi wajah. "Kita terjebak," ucap Lucia dengan suara gemetar.

"Tidak ada kata menyerah," balas Dante sambil melihat sekeliling.

Tiba-tiba, dari arah depan, para ilmuwan Genovate dan Fopuveria Foundation muncul, mengepung mereka.

Di antara mereka, Elgarda dan Dr. Elric berdiri dengan senyum kemenangan.

"Kalian sudah tidak punya tempat untuk lari," ujar Elgarda dengan nada sinis.

Dante mengepalkan tangan. "Kalian pikir kami akan menyerah begitu saja ?"

"Kalian kalah jumlah. Lebih baik menyerah sebelum terjadi hal yang tidak diinginkan," saran Dr. Elric.

Lucia menatap Dante dengan mata penuh ketakutan. "Apa yang harus kita lakukan?"

Dante menghela napas, menatap rekannya dengan lembut. "Maafkan aku telah membawamu ke dalam situasi ini."

Sebelum ada yang sempat bergerak, sebuah kendaraan SUV hitam melaju kencang, berhenti tepat di antara Venom Syndicate dan ilmuwan.

Pintu mobil terbuka, dan pria misterius itu keluar dengan tenang. "Masuk sekarang," perintahnya kepada Dante dan Lucia.

Mereka terpana. "Siapa kamu ?" tanya Dante curiga.

"Tidak ada waktu untuk menjelaskan. Jika kalian ingin selamat, ikuti aku," balasnya singkat.

Melihat para ilmuwan mulai mendekat, Dante memutuskan untuk mengambil kesempatan itu. "Ayo, Lucia!"

Mereka berdua masuk ke dalam mobil. Pria itu segera menginjak gas, melaju meninggalkan tempat tersebut.

Elgarda berteriak marah. "Kejar mereka!"

Namun, mobil itu sudah terlalu jauh. Dr. Elric menatap dengan tatapan tajam. "Siapa orang itu?"

**

Di dalam mobil, suasana hening.

Liora duduk di kursi belakang, melihat ke arah Dante dan Lucia dengan mata penuh tanya.

"Dante?" Liora mengenali wajah pria itu.

"Liora? Apa yang kamu lakukan di sini?" Dante terkejut.

"Kalian saling kenal?" tanya pria misterius sambil tetap fokus mengemudi.

"Dia... pernah menculikku," jawab Liora dengan suara pelan.

Dante menatap pria itu dengan curiga. "Jadi kamu yang menculik Liora sebelumnya?"

Pria itu mengangguk. "Benar. Tapi sekarang, situasinya berbeda. Kita punya musuh yang sama."

Lucia yang dari tadi diam akhirnya berbicara. "Apa maksudmu?"

"Genovate dan Fopuveria Foundation mengincar kita semua. Jika kita tidak bekerja sama, kita tidak akan selamat," jelas pria itu.

Liora merasakan campuran emosi dalam hatinya. Kebingungan dan takut. "Apa yang sebenarnya terjadi?"

Pria itu menoleh sejenak. "Aku akan menjelaskan semuanya. Tapi untuk sekarang, kita harus ke tempat yang aman."

**

Malam itu, mereka tiba di sebuah rumah terpencil di pinggiran kota.

Pria itu menyalakan lampu, memperlihatkan interior sederhana namun nyaman.

"Silakan istirahat. Besok kita akan membahas rencana selanjutnya," ujarnya sambil memasuki ruangan lain.

Dante, Lucia, dan Liora duduk di ruang tamu. Suasana canggung menyelimuti mereka.

"Liora, maaf atas apa yang terjadi sebelumnya," ucap Dante dengan tulus.

Liora menatapnya. "Kenapa kamu melakukan semua ini ?"

"Kami punya alasan sendiri. Tapi sekarang, aku sadar bahwa banyak hal yang salah. Mungkin saatnya kita memperbaiki semuanya," jawab Dante dengan nada menyesal.

Lucia menambahkan, "Kami tidak bermaksud menyakitimu. Kami juga terjebak dalam situasi yang rumit."

Liora menghela napas. "Aku hanya ingin hidup normal. Tapi sepertinya itu sulit sekarang."

Dante tersenyum tipis. "Mungkin dengan bekerja sama, kita bisa menemukan jalan keluar."

**

Sementara itu, Elgarda dan Dr. Elric tidak tinggal diam. Mereka merencanakan strategi baru untuk menangkap Liora dan menghancurkan Venom Syndicate.

"Kita tidak bisa membiarkan mereka bersatu. Itu akan menjadi ancaman besar bagi kita," kata Elgarda dengan tatapan tajam.

"Kita butuh bantuan," tambah Dr. Elric.

Elgarda mengangguk. "Aku tahu siapa yang bisa kita hubungi."

Langit malam ini terlihat lebih gelap, hujan rintik-rintik menambah suasana mencekam menandakan tengah malam

Di sebuah gudang tua pinggiran kota, **Liora**, **Dante**, **Lucia**, dan pria misterius yang belum diketahui namanya berkumpul.

Mereka baru saja lolos dari kejaran **Genovate**.

"Tempat ini aman untuk sementara," kata pria misterius itu sambil memastikan pintu terkunci. "Kita perlu rencana."

Liora menatapnya dengan curiga. "Kamu siapa sebenarnya? Dan kenapa kamu terus membantuku?"

Pria itu menghela napas. "Namaku **Arion**. Dulu aku bagian dari Venom Syndicate, tapi aku sadar tujuan mereka salah. Sekarang, aku ingin memperbaiki kesalahan dengan cara melindungi kamu."

Dante menatapnya tajam. "Kenapa kami harus percaya sama kamu ?"

Arion menatap balik dengan mata penuh penyesalan. "Aku tahu sulit dipercaya, tapi aku nggak mau melihat lebih banyak orang terluka karena ambisi mereka."

Lucia menyela, "Mungkin kita bisa kasih dia kesempatan. Lagipula, dia udah bantu kita kabur tadi."

Liora merasa kebingungan. "Semua ini terlalu cepat. Aku cuma mau hidup normal."

Tiba-tiba, suara tembakan terdengar dari luar.

Arion segera bereaksi. "Mereka sudah menemukan kita! Kita harus pergi sekarang!"

Pintu gudang didobrak dengan paksa. **Dr. Elric** muncul bersama lima anggota Genovate bersenjata lengkap. Senyum sinis terpampang di wajahnya.

"Liora, akhirnya ketemu juga," ujarnya.

Dante berdiri di depan Liora, siap melindungi. "Jangan sentuh dia!"

Dr. Elric tertawa kecil. "Oh, lihat siapa yang jadi pahlawan sekarang. Pengkhianat Venom Syndicate bersekutu dengan target kita."

Pertempuran pun tak terhindarkan.

Dante dan Lucia melawan anggota Genovate dengan segala kemampuan mereka. Arion bergabung, bergerak dengan kecepatan luar biasa.

Sementara itu, **Elgarda** muncul dari bayangan, matanya tertuju pada Liora. "Ikut aku, Liora. Kamu ditakdirkan untuk hal besar."

Liora mundur, rasa takut menyelimuti. "Aku nggak mau ada hubungannya sama kamu!"

Elgarda mendekat. "Sayang sekali. Kamu nggak punya pilihan."

Sebuah tembakan terdengar.

Sniper dari kejauhan menargetkan Liora.

Arion, tanpa pikir panjang, melompat ke arahnya, menjadikan dirinya perisai untuk kehidupan liora.

Peluru menembus perutnya.

Dia terjatuh dengan erangan tertahan.

"Arion!" teriak Liora, berlari ke arahnya. Darah mengalir dari luka tembaknya.

Dengan situasi semakin kacau, suara helikopter terdengar mendekat.

**Isabella** menghancurkan dinding atap gudang tua lalu menurunkan tali penyelamat kedalam gudang. "Liora! Cepat ikut aku!"

Liora ragu sejenak, menatap Dante dan Lucia yang masih berjuang.

"Aku nggak bisa tinggalkan mereka!"

Isabella menarik tangannya. "Percaya sama mereka. Kita harus pergi sekarang!"

Dengan berat hati, Liora mengikuti Isabella naik ke helikopter. Dari atas, dia melihat pertempuran di bawah.

Di daratan, Dante dan Lucia semakin terdesak. Namun, bantuan datang. **Arya** ayah Liora, muncul dengan tim khusus dari Fopuveria Foundation.

"Ayah!" teriak Liora dari helikopter, meski suaranya tak terdengar.

Arya menatap Dr. Elric dengan amarah terpendam. "Permainanmu selesai, Elric."

Dr. Elric tersenyum getir. "Kamu terlambat, Arya. Ini belum berakhir."

Anggota Genovate yang tersisa mencoba melawan.

Namun Arya dan yang lain melumpuhkan Satu per satu.

Elgarda melihat situasi mulai memburuk. Dia berusaha kabur, tapi dihadang oleh **Nadira**, ibu Liora.

"Nggak semudah itu kamu pergi," kata Nadira dengan tegas.

Elgarda memicingkan mata. "Kamu pikir bisa menghentikanku ?"

Nadira menatapnya tajam. "Demi anakku, aku akan lakukan apa saja."

Elgarda akhirnya menyerah ketika tim Arya mengepungnya.

Semua anggota Genovate ditangkap dan diborgol.

***

Di rumah pribadi Isabella, Liora duduk termenung.

Isabella mendekat, duduk di sampingnya.

"Kamu baik-baik aja ?" tanya Isabella lembut.

Liora menggeleng pelan. "Banyak hal terjadi. Aku khawatir sama Arion, Dante, dan Lucia."

Isabella menepuk bahunya. "Mereka akan baik-baik saja. Ayahmu dan timnya sudah menangani semuanya."

Air mata menetes di pipi Liora. "Aku merasa semua ini salahku."

Isabella mengusap air matanya. "Bukan salahmu. Kamu korban di sini. Yang penting sekarang kamu aman."

Liora menatap mata Isabella. "Terima kasih sudah selalu ada buatku."

Isabella tersenyum hangat. "Kamu seperti adik bagiku. Aku nggak akan biarkan apa pun terjadi padamu."

***

Kembali ke lokasi penangkapan, Arya berdiri di depan Dr. Elric dan Elgarda yang kini diborgol.

"Kalian sudah melampaui batas," ucap Arya dengan suara berat.

Dr. Elric mendengus. "Kamu terlalu idealis, Arya. Dunia ini bukan hitam putih."

Elgarda menimpali, "Kamu nggak ngerti betapa besarnya potensi yang kita kejar."

Arya menatap mereka tajam. "Potensi apa pun nggak sebanding dengan nyawa dan kebahagiaan anakku."

Tim Fopuveria membawa mereka pergi.

Dante dan Lucia mendekati Arya.

"Pak, terima kasih sudah membantu," kata Dante dengan tulus.

Arya menatap mereka. "Kalian sudah berjuang keras. Terima kasih sudah melindungi Liora."

Lucia tersenyum tipis. "Kami cuma ingin menebus kesalahan kami."

Arya mengangguk. "Setiap orang berhak mendapat kesempatan kedua. Mari kita selesaikan semuanya bersama."

***

Beberapa hari kemudian, Arion dirawat di rumah sakit rahasia Fopuveria Foundation.

Luka tembaknya cukup serius, Dante dan Lucia sering menjenguknya, memastikan keadaannya membaik.

"Kamu keras kepala banget, bro," kata Dante sambil tertawa kecil.

Arion tersenyum lemah. "Nggak bisa lihat kamu mati gaya tanpa aku."

Mereka tertawa bersama, melepaskan ketegangan yang selama ini menumpuk.

***

Di tempat lain, Valeria Nightshade dari Venom Syndicate marah besar mendengar kabar kegagalan mereka. "Pengkhianat seperti mereka harus dihukum," ujarnya dengan nada dingin.

Anak buahnya mengangguk patuh. "Kami akan melacak mereka, Boss."

Valeria menatap keluar jendela, matanya penuh dendam. "Pastikan mereka tidak lolos kali ini."

Pagi ini, sinar matahari menerobos masuk melalui celah tirai kamar Arion.

Ia duduk di meja tulis, pena di tangannya menggores di atas kertas.

"Dear Liora," tulisnya pelan. "Aku tahu mungkin ini terdengar tiba-tiba, tapi ada sesuatu yang harus kusampaikan..."

Kata demi kata mengalir, mencurahkan perasaan yang selama ini terpendam.

Setelah selesai, Arion melipat surat itu dengan rapi dan memasukkannya ke dalam amplop. Ia menatapnya sejenak, berharap Liora bisa merasakan perasaannya melalui tulisan.

"Semoga ini bisa sampai padanya," gumamnya sambil menarik napas dalam.

ia meminta bantuan seorang kurir tepercaya. "Tolong antarkan surat ini ke Liora, tapi jangan sampai ada yang tahu," pintanya.

Kurrir ini mengangguk. "Tenang saja, aku akan pastikan surat ini sampai dengan selamat."

***

Sementara itu, Valeria Nightshade duduk di kantornya yang mewah.

Matanya menatap tajam laporan yang ada di tangannya.

"Bunuh Arion," ucapnya dengan nada datar.

Seorang anak buahnya, **Raven**, berdiri di sampingnya. "Siap Boss"

Valeria mengangguk pelan. "Pastikan kali ini tidak ada kesalahan, Aku tidak mau mendengar alasan lagi."

Raven menundukkan kepala. "Akan kami selesaikan secepatnya."

***

Di rumah Isabella, Liora sedang duduk di taman belakang, menikmati aroma bunga mawar yang bermekaran. Tiba-tiba, seorang kurir datang menghampiri.

"Permisi, apakah Anda Liora?" tanyanya sopan.

Liora menoleh. "Iya, saya. Ada apa ya?"

"Ini ada surat untuk Anda," ujarnya sambil menyerahkan amplop putih.

"Terima kasih," jawab Liora sambil menerima surat itu. Kurir tersebut segera pergi setelah menyampaikan pesan.

Dengan penasaran, Liora membuka amplop itu. Matanya mulai membaca baris demi baris. Wajahnya berubah, campuran antara terkejut.

"Arion..." bisiknya pelan. Air mata mulai menggenang di sudut matanya.

Beberapa jam kemudian, berita mengejutkan datang. Isabella memasuki ruangan dengan wajah pucat.

"Liora, ada sesuatu yang harus kamu tahu," ucapnya dengan suara bergetar.

Liora merasa ada yang tidak beres. "Ada apa, Kak?"

Isabella menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Arion... dia ditemukan tidak sadarkan diri."

Liora terkejut. "Apa maksudnya kak ? Di mana dia?"

"Kami mendapat laporan bahwa Arion diserang oleh kelompok tak dikenal." Isabella tak mampu melanjutkan kata-katanya.

Tanpa pikir panjang, Liora berlari keluar. "Aku harus ke sana!"

Isabella berusaha mengejarnya. "Liora, tunggu!"

***

Di rumah sakit, Liora berlari menuju ruang gawat darurat.

Di sana, Dante dan Lucia sudah menunggunya dengan wajah muram.

"Dante, di mana Arion?" tanya Liora dengan napas tersengal.

Dante menunduk. "Maaf, Liora... Arion sudah pergi."

"Tidak... tidak mungkin..." Air mata mengalir deras di pipi liora

Lucia memeluknya erat. "Kami juga tidak menyangka ini akan terjadi."

Liora terisak dalam pelukan Lucia. Hatinya hancur mengetahui bahwa orang yang baru saja mengungkapkan perasaannya telah tiada.

***

Sementara itu, Arya, Nadira, dan anggota Liberty Phantom sedang melakukan interogasi terhadap salah satu anggota Genovate yang tertangkap. Wajah mereka menunjukkan ketegasan dan kemarahan.

"Siapa dalang di balik semua ini?" tanya Arya dengan suara keras.

Pria yang diinterogasi hanya diam, menatap lantai tanpa ekspresi.

Nadira mendekat, menatapnya tajam. "Kamu pikir diam akan menyelamatkanmu ? Banyak nyawa yang sudah hilang karena ulah kalian."

Anggota Liberty Phantom, **Rey**, menambahkan, "Kita punya bukti bahwa kalian bekerja sama dengan Venom Syndicate. Lebih baik kamu bicara sekarang."

Akhirnya, di bawah tekanan, pria itu membuka mulut. "Baik... aku akan bicara. Tapi ada sesuatu yang harus kalian tahu."

Arya mengernyit. "Apa itu?"

"Tidak semua di Genovate setuju dengan tindakan Elgarda. Ada seseorang dari perusahaan **Rue** yang membantu kami. Dia punya pengaruh besar, dan kalian tidak akan bisa menyentuhnya."

Nadira menatap Arya dengan khawatir. "Perusahaan Rue? Apa hubungannya dengan ini semua?"

Sebelum mereka sempat menggali lebih dalam, tiba-tiba alarm gedung berbunyi. Suara sirene memenuhi ruangan.

"Ada apa ini?" tanya Rey sambil memasang sikap siaga.

Dari arah koridor, terdengar suara langkah kaki dan perkelahian. Beberapa anggota keamanan berlari masuk. "Pak Arya, tahanan kita kabur!"

"Apa? Bagaimana bisa?" Arya terkejut.

Pria yang tadi diinterogasi tersenyum tipis. "Sepertinya teman-temanku datang menjemput."

Tanpa basa-basi, dia melemparkan bom asap ke lantai. Asap tebal memenuhi ruangan, membuat pandangan menjadi gelap.

"Semua waspada!" teriak Rey.

Dalam kekacauan itu, sosok bayangan muncul dan membawa pria tersebut keluar. Upaya pengejaran dilakukan, namun mereka kehilangan jejak.

***

Kembali ke rumah sakit, Liora duduk di samping tempat tidur Arion yang sudah terbujur kaku. Tangannya menggenggam tangan Arion yang dingin.

"Kenapa harus begini? Baru saja aku tahu perasaanmu..." isaknya.

Dante dan Lucia berdiri di dekat pintu, memberikan ruang bagi Liora untuk berduka.

Isabella datang menyusul, meletakkan tangan di bahu Liora. "Aku ikut berduka, Lio. Kita akan cari tahu siapa pelakunya."

Liora mengangkat wajahnya, matanya merah karena menangis. "Aku tahu siapa yang melakukan ini. Valeria. Dia tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang dia inginkan."

Isabella mengangguk. "Kalau begitu, kita harus bersiap. Kita tidak bisa membiarkan Arion pergi tanpa keadilan."

***

Di markas Venom Syndicate, Valeria duduk dengan puas. "Bagaimana dengan Arion?"

Raven menjawab dengan singkat. "Sudah ditangani, Boss. Dia tidak akan mengganggu lagi."

"Bagus. Sekarang, fokus kita adalah mendapatkan Liora. Aku tidak mau ada kesalahan lagi," tegas Valeria.

Anak buahnya mengangguk patuh. "Siap, Boss."

***

Di tempat lain, Elgarda dan beberapa anggota Genovate yang berhasil kabur berkumpul di lokasi rahasia. Seorang pria dengan setelan mahal memasuki ruangan.

"Selamat datang, **Mr. Adrian** dari perusahaan Rue," sapa Elgarda dengan hormat.

Adrian tersenyum tipis. "Saya mendengar kalian butuh bantuan."

"Kami butuh dukungan untuk melanjutkan penelitian kami. Dengan sumber daya Rue, kita bisa mencapai tujuan bersama," kata Elgarda penuh harap.

Adrian mengangguk. "Kita bisa bicarakan itu. Tapi ingat, segala sesuatu ada harganya."

***

Malam ini, angin dingin menusuk tulang. **Dante** dan **Lucia** berjalan di sepanjang jalan sepi, menjauh dari keramaian kota.

"Aku nggak suka firasat ini," ucap Lucia sambil mempererat genggaman jaketnya. Matanya waspada, menelusuri setiap sudut jalan.

Dante menoleh padanya. "Tenang aja, kita hampir sampai. Setelah ini, kita bisa kasih tahu Liora tentang rencana mereka."

Lampu jalanan tiba-tiba padam serentak. Kegelapan menyelimuti mereka. "Apa-apaan ini?" Dante langsung meraih tangan Lucia.

Dari bayang-bayang, muncul beberapa sosok berpakaian hitam.

Gerakan mereka cepat dan terlatih. Sebelum Dante dan Lucia sempat bereaksi, mereka sudah terkepung.

"Siapa kalian?" teriak Dante, matanya menatap tajam pada salah satu sosok yang mendekat.

Pria bertubuh besar itu tertawa kecil. "Perusahaan Rue ingin berbincang dengan kalian. Kami hanya menjalankan tugas."

Lucia mundur selangkah, jantungnya berdebar kencang. "Kami nggak tertarik. Biarkan kami pergi!"

Tanpa peringatan, salah satu penyerang menyerang Lucia, menyuntikkan cairan bius ke lehernya. "Lucia!" teriak Dante, mencoba melawan namun serangan lain terus datang ke arahnya.

Tiba tiba kepala dante di pukul sangat keras dari belakang, membuatnya tidak sadarkan diri.

---

Dante terbangun dengan kepala berdenyut. Cahaya lampu menyilaukan matanya.

Tangan dan kakinya terikat erat pada kursi ji

"Selamat datang kembali," suara tenang namun dingin terdengar. Seorang pria berjas rapi dengan tatapan tajam mendekat. "Aku **Adrian**, dari perusahaan Rue."

Dante menatapnya penuh kebencian. "Apa maumu?"

Adrian tersenyum tipis. "Santai saja. Kami hanya ingin berbincang. Kau pasti tahu banyak tentang Liora dan rencananya."

Dante menggeram. "Aku nggak akan kasih tahu apa pun."

Adrian menghela napas. "Keras kepala tidak akan membantumu. Lagipula, temanmu dalam kondisi buruk."

Mata Dante melebar. "Apa yang kalian lakukan pada Lucia?"

Adrian menepuk bahu Dante ringan. "Kau akan segera tahu."

---

Di ruangan lain, Lucia terbaring di lantai dingin. Wajahnya pucat, luka memar di sudut bibirnya. Dua pria berdiri di atasnya.

"Bangun," salah satu dari mereka menendang perut Lucia. Lucia meringis kesakitan, namun mencoba tetap tegar.

"Apa maumu?" suaranya lemah namun berani.

Pria itu tertawa sinis. "Katakan di mana Liora bersembunyi."

Lucia menatap tajam. "Aku nggak akan pernah mengkhianati temanku."

"Sayang sekali," pria itu mengangkat pipa besi dan memukul kaki Lucia. Teriakan kesakitan keluar dari mulutnya, namun ia tetap tidak menyerah.

"Kalian pikir dengan cara ini aku akan bicara ?" tantangnya, meski tubuhnya gemetar menahan sakit.

Pria satunya menyalakan alat listrik. "Mungkin dengan ini, kau akan lebih kooperatif."

Lucia merasakan sengatan listrik menjalar di tubuhnya.

---

Kembali ke ruang interogasi Dante, Adrian berjalan mengelilingi Dante. "Kau tahu, perusahaan Rue memiliki sumber daya tak terbatas. Kami bisa membuat hidupmu lebih mudah, atau sebaliknya."

Dante mendengus. "Ancamanmu nggak berarti apa-apa."

Adrian berhenti di depannya. "Kalau begitu, mungkin kau tertarik dengan tawaran kami. Bekerja sama, dan kami akan lupakan semua ini. Kau bisa dapat apa pun yang kau inginkan."

Dante menatapnya jijik. "Aku nggak akan berkhianat lagi. Aku sudah cukup dengan permainan kotor kalian."

Adrian tersenyum dingin. "Pilihan bodoh." Ia memberi isyarat, dan dua orang membawa monitor. Di layar, terlihat Lucia disiksa.

"Lucia!" Dante mencoba bangkit, tapi ikatannya terlalu kuat.

"Jika kau terus keras kepala, temanmu akan semakin menderita," kata Adrian.

Amarah membara dalam diri Dante. "Kalian pengecut! Beraninya menyiksa wanita tak berdaya."

Adrian menarik kursi dan duduk. "Ini kesempatan terakhirmu. Katakan di mana Liora."

Dante menunduk, napas memburu. Jika ia bicara, Liora dalam bahaya. Tapi melihat Lucia menderita membuat hatinya hancur.

Dengan suara serak, ia berkata, "Liora... dia..."

Sebelum ia melanjutkan, alarm darurat berbunyi. Suara ledakan terdengar. Adrian berdiri cepat. "Apa yang terjadi?"

Anak buahnya masuk panik. "Pak, kita diserang!"

"Siapa?" tanya Adrian marah.

"Kelompok baru, dipimpin gadis muda."

Adrian mengernyit. "Gadis muda? Siapa dia?"

---

Di luar fasilitas rahasia perusahaan Rue, sekelompok orang bergerak cepat. Di depan mereka, seorang gadis berusia 18 tahun dengan aura kuat memimpin serangan. Wajahnya cantik dan dingin.

"Ayo, jangan biarkan mereka lolos!" serunya. Gadis itu adalah **Fyka**, pemimpin kelompok **Crescent**.

Mereka menentang eksperimen manusia dan penyalahgunaan kekuasaan oleh perusahaan-perusahaan besar.

Fyka tidak bisa menerima bahwa Liora dijadikan alat oleh para ilmuwan.

Ia memutuskan untuk bertindak.

"Temukan Dante dan Lucia. Kita harus menyelamatkan mereka," perintahnya.

Anak buahnya bergerak terampil, melumpuhkan penjaga satu per satu. Fyka sendiri bergerak lincah, menembus barikade tanpa ragu.

---

Di dalam, Adrian mencoba mengendalikan situasi. "Kumpulkan semua pasukan! Jangan biarkan mereka masuk!"

Namun, pertahanan mereka terlalu lemah menghadapi serangan cepat dari Crescent. Dalam kekacauan itu, seorang anggota menemukan ruangan tempat Lucia ditahan.

"Di sini !" teriaknya.

Mereka masuk dan melihat Lucia tergeletak lemah. "Bantu dia!" perintah Fyka.

Lucia membuka mata perlahan. "Siapa... kalian?"

Fyka tersenyum tipis. "Kami teman. Yuk, kita keluar dari sini."

---

Sementara itu, Dante masih terikat. Suara pertempuran makin pekat.

Adrian menatapnya marah. "Sepertinya waktu kita habis.."

Sebelum pergi, Adrian menekan tombol.

Gas beracun mulai memenuhi ruangan. "Selamat tinggal, Dante."

Dante terbatuk, mencoba melepaskan diri. Tepat saat hampir putus asa, pintu dihancurkan dari luar.

"Tenang, kami di sini untuk membantu!" Fyka muncul bersama anggotanya.

Dante menatapnya penuh harapan. "Lucia... di mana Lucia?"

"Dia sudah aman. Ayo, cepat keluar sebelum gas ini membunuh kita," jawab Fyka sambil melepas ikatan Dante.

Mereka bergegas keluar, meninggalkan ruangan yang kini penuh gas beracun.

---

Setelah berhasil keluar, Dante dan Lucia dibawa ke tempat aman. Liora yang mendapat kabar segera

"Maaf... ini semua salahku," ucap Liora dengan suara parau.

Lucia tersenyum lemah. "Bukan salahmu. Kita semua tahu risikonya."

Dante menatap Fyka. "Terima kasih sudah menyelamatkan kami. Siapa kalian sebenarnya?"

Fyka menatap mereka tenang. "Namaku Fyka. Kami dari Crescent. Kami nggak bisa diam melihat ketidakadilan."

Liora menatapnya penuh rasa terima kasih. "Terima kasih banyak, Fyka. Aku nggak tahu bagaimana membalas kebaikanmu."

Fyka mengangguk. "Kita punya musuh yang sama. Lebih baik kita bekerja sama."

---

Di tempat lain, Adrian melaporkan kejadian itu kepada atasannya. "Maaf, misi gagal. Mereka berhasil kabur."

Dari balik layar hologram, sosok misterius menjawab dengan suara rendah.

"Ini mengecewakan, Adrian. Perusahaan Rue tidak menerima kegagalan."

"Saya akan menebusnya. Beri saya kesempatan lagi," pinta Adrian.

"Ini kesempatan terakhirmu," suara itu menghilang.

Malam ini, Dante berjalan sendirian di lorong sempit.

Tiba-tiba, ia merasakan kehadiran seseorang di belakangnya.

"Lama tidak bertemu, Dante."

Dante terkejut. "Elgarda ? Apa yang kamu lakukan di sini?"

Elgarda muncul dari bayangan, senyum sinis terpampang di wajahnya. "Aku hanya ingin menyelesaikan urusan yang tertunda."

Dante mengepalkan tangannya. "Kamu tidak akan berhasil, Kami sudah mengetahui rencanamu."

Elgarda tertawa kecil. "Oh, Dante. Selalu terlalu percaya diri." Dalam sekejap, beberapa anak buahnya muncul, mengepung Dante.

Dante berusaha mencari celah untuk melarikan diri, namun lorong sempit itu membuatnya sulit bergerak. "Apa kamu pikir dengan cara ini kamu bisa menang ?" tantangnya.

Elgarda mendekat, matanya menatap tajam. "~~."

Tanpa peringatan, salah satu anak buah Elgarda menyerang namun Dante berhasil menangkis beberapa kali, Dalam pertarungan sengit itu, Dante terluka parah. Ia terjatuh, napasnya tersengal.

Elgarda berdiri di atasnya. "Selamat tinggal, Dante. Dunia ini tidak membutuhkan pahlawan sepertimu." Dengan itu, elgarda mengeluarkan senjatanya dari jaket lalu menarik pelatuk peluru ke arah bagian dada dante.

Tubuh dante mengejang hebat di saat peluru itu menembus dadanya.

"Maafkan aku, Liora... Aku sudah berusaha..." gumamnya sebelum kehilangan nyawa.

---

Di sisi lain kota, **Lucia** tengah menjalani pemulihan.

**Fyka** memasuki ruangan, wajahnya serius namun tersirat kehangatan. "Bagaimana perasaanmu hari ini, Lucia?"

Lucia tersenyum tipis. "Lebih baik, terima kasih. Tapi aku khawatir tentang Dante. Belum ada kabar darinya."

Fyka duduk di sampingnya. "Kami sedang berusaha mencarinya. Aku yakin dia akan baik-baik saja."

Lucia menatap mata Fyka. "Aku merasa sesuatu yang buruk telah terjadi."

Fyka menghela napas. "Kita harus tetap optimis. Sementara itu, fokuslah pada pemulihanmu."

---

Di gedung crescent.

Tiba-tiba, **Mr. Adrian** muncul dengan sikap tenang namun mencurigakan. "Selamat siang, Ivy," sapanya dengan senyum tipis.

Ivy menoleh, alisnya terangkat. "Adrian? Apa yang kamu lakukan di sini? Ini wilayah terlarang bagi orang luar."

Adrian mendekat. "Aku datang dengan tawaran kerjasama. Aku pikir kita bisa saling menguntungkan."

Ivy menatapnya tajam. "Kami tidak tertarik. Silakan pergi sebelum aku memanggil keamanan."

Adrian tertawa kecil. "Sayang sekali. Aku berharap kita bisa berdiskusi dengan damai." Dalam sekejap, ia mengeluarkan sebuah alat kecil dan menekannya.

Ledakan kecil terjadi, membuat ruangan dipenuhi asap.

Di tengah kekacauan, Adrian bergerak cepat menuju Ivy.

Sebelum Ivy sempat bereaksi, Adrian berhasil melumpuhkannya.

Ivy terjatuh.

"Kenapa... kamu melakukan ini?" tanya Ivy dengan suara lemah.

Adrian menatapnya dingin. "Karena kamu terlalu berbahaya untuk dibiarkan hidup."

Setelah adrian mengatakan itu, ia menusukkan pisau nya ke dalam jantung Ivy, lalu berlari meninggalkan gedung Crescent.

Ivy kehilangan nyawa disaat tusukan itu menembus jantungnya yang berdenyut.

---

Di sebuah acara amal besar yang diadakan oleh **Isabella**, **Liora** berdiri di tengah keramaian, berinteraksi dengan para tamu.

Tiba-tiba, ia merasakan sakit luar biasa di seluruh tubuhnya. "Ah !" Liora memegang dadanya, kakinya lemas. Orang-orang di sekitarnya mulai panik.

"Hey, kamu baik-baik saja?" tanya seorang tamu dengan cemas.

Isabella yang melihat kejadian itu segera berlari menghampiri. "Liora! Apa yang terjadi?"

Tubuh Liora mulai mengejang, keringat dingin membasahi dahinya. "Aku... aku tidak tahu... Tubuhku terasa aneh..."

Perlahan, perubahan mulai terjadi.

Kulitnya memancarkan cahaya lembut, rambutnya semakin berkilau.

Bentuk wajahnya menjadi lebih sempurna, matanya bersinar dengan warna yang lebih dalam.

Dari atas kepalanya, telinga kelinci nya lebih sangat imut dari sebelumnya.

Kerumunan terdiam, terpana dengan apa yang mereka saksikan.

Beberapa mengambil langkah mundur, sementara yang lain mendekat dengan kekaguman.

Isabella memegang tangan Liora. "Tenang, semuanya akan baik-baik saja."

Liora membuka matanya, menatap Isabella dengan kebingungan. "Apa yang terjadi padaku ?, Kenapa aku berubah seperti ini ?"

Isabella mencoba tersenyum meyakinkan. "Kita akan cari tahu bersama, Yang penting sekarang, kamu butuh istirahat."

Dengan hati-hati, Isabella membawa Liora keluar dari keramaian.

---

Berita tentang perubahan Liora dengan cepat menyebar. Di markas **Crescent**, Fyka menerima laporan tentang kejadian itu. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam.

"Kita harus bergerak cepat," ucap Fyka tegas. "Perubahan pada Liora bisa berarti sesuatu yang lebih besar sedang terjadi."

Lucia yang sudah mulai pulih mendekati Fyka. "Aku ingin membantu. Apa pun yang bisa kulakukan, aku siap."

Fyka menatapnya dengan lembut. "Aku menghargai semangatmu, Lucia. Tapi pastikan kamu benar-benar siap."

Lucia mengangguk mantap. "Dante sudah mengorbankan banyak hal. Aku tidak ingin pengorbanannya sia-sia."

Fyka terdiam sejenak. "Tentang Dante... Kami menemukan sesuatu."

Jantung Lucia berdetak kencang. "Apa maksudmu?"

Dengan berat hati, Fyka menjelaskan. "Kami menemukan Dante... tapi dia sudah tiada."

Air mata mengalir di pipi Lucia. "Tidak... tidak mungkin..."

Fyka memegang bahu Lucia, memberikan dukungan. "Aku turut berduka."

---

Sementara itu, Elgarda duduk di sebuah ruangan gelap, matanya menatap layar yang menampilkan data perubahan Liora.

Senyum puas terpampang di wajahnya.

"Prosesnya berjalan sesuai rencana," gumamnya. "Sekarang, tidak ada yang bisa menghentikanku."

Mr. Adrian memasuki ruangan. "Ivy sudah disingkirkan. Shadow Crescent akan mengalami kekacauan tanpa pemimpin yang handal."

Elgarda menoleh. "Bagus. Kita harus memastikan tidak ada yang menghalangi kita."

Adrian mengangguk. "Apa langkah selanjutnya?"

"Kita tangkap Liora. Dengan kekuatannya yang baru, kita bisa menguasai segalanya."

---

Di ruangan rahasia yang sunyi, hanya terdengar suara detakan jam dinding yang berdetak pelan. Liora duduk di lantai.

Tiba-tiba, denyutan keras terasa di kepalanya. "Ah !" Liora memegang keningnya, mencoba menahan rasa sakit yang tiba-tiba menyerang.

Denyutan itu semakin kuat, membuat penglihatannya mulai kabur. "Ada apa ini..." bisiknya sebelum tidak sadarkan.

Saat kelopak matanya kembali terbuka, ia menemukan dirinya berdiri di sebuah tempat yang asing—sebuah taman luas yang dikelilingi oleh pepohonan rimbun dan bunga-bunga yang bermekaran. Udara di sekitarnya terasa hangat, diselimuti aroma manis yang begitu menenangkan.

Langkahnya terayun perlahan di atas jalan.

Dari kejauhan, sosok bayangan samar mulai mendekat. Wajahnya tidak jelas, namun suara lembutnya menyusup ke telinga Liora.

"Aku sudah lama menunggumu."

Liora mengernyit, mencoba mengenali sosok itu, tapi bayangan itu tetap buram, seolah enggan menunjukkan wujud aslinya.

"Siapa kamu?" tanyanya dengan suara serak.

Bayangan itu tidak langsung menjawab.

Ia hanya mengulurkan tangan, seakan ingin menggenggam tangan Liora. "Aku akan menjagamu... akan selalu bersamamu..."

Seketika, hawa di sekitar mereka berubah.

Angin berembus lebih kencang, bunga-bunga beterbangan seperti tersapu badai.

Liora mundur selangkah, tiba-tiba merasa sesak.

"Apa maksudmu?"

Bayangan itu mendekat lebih jauh, suaranya semakin sayup namun penuh keyakinan. "Apa perkataan ku kurang jelas ?, aku akan menjadi suami kamu"

Liora merasakan ketakutan.

"Tidak... tidak, ini tidak nyata!"

Tiba-tiba, suara tawa menggelegar menggema di seluruh taman, menciptakan getaran yang meretakkan tanah di bawah kaki Liora.

Bayangan di depannya memudar, digantikan oleh sosok lain—seorang ilmuwan dengan wajah penuh kepuasan. Matanya menatapnya tajam, bibirnya menyunggingkan senyum licik.

"Kau pikir bisa lari dariku?" suara ilmuwan itu penuh ejekan.

Liora menatapnya dengan ngeri. "Tidak... ini tidak mungkin..."

Tangan ilmuwan itu terulur ke arahnya, bayangan hitam menjalar di udara, mendekatinya seperti ular lapar yang ingin membelit tubuhnya.

"Kau adalah milikku, Liora! Dengan tubuh mu dan DNA mu, aku akan menguasai segalanya!"

Tawa itu semakin keras.

Lalu semuanya berubah.

Tiba-tiba, ia berada di rumahnya.

Suasana terasa begitu hangat dan familiar.

Cahaya temaram dari lampu ruang tamu menerangi wajah ayah dan ibu liora

"Liora, Sayang," suara lembut ibunya menyapanya.

Liora berlari ke arah mereka, memeluk tubuh hangat.

"Aku sangat merindukan kalian...!"

Darah mengalir dari dada ayah dan ibunya.

Matanya membelalak.

Liora mundur dengan ketakutan, jantungnya berdegup kencang.

"nggak mungkin ! "

Ayah dan ibunya tersenyum lemah.

"Lari, Liora... selamatkan dirimu..."

Tiba-tiba, suara letusan terdengar.

Kini, liora berdiri di tengah kota yang begitu megah.

Liora menatap ke atas, melihat langit yang berwarna keemasan.

"Dimana ini?.., Ini bukan tempatku..."

Langkahnya mundur, namun sebelum ia bisa bergerak lebih jauh, suara tembakan menggema.

DOR!

Sebuah peluru menembus tubuh liora.

Liora merasakan panas yang menyengat di dadanya.

"Tidak... ini..."

Dunia di sekelilingnya berputar. Kelopak mata liora mulai terpejam

---

Liora tersentak, kelopak matanya terbelalak lebar, nafasnya tersengal sengal

Keringat dingin membasahi tubuhnya.

Ruangan rahasia itu masih sunyi. Detakan jam dinding terdengar jelas di telinganya.

"Itu... hanya mimpi..."

Tapi mengapa rasanya begitu nyata?

Tangannya menyentuh dadanya, mencari bekas luka yang seharusnya ada. Namun Tidak ada apapun— tetapi rasa sakitnya masih terasa seolah peluru itu benar-benar menembus tubuhnya.

Liora menelan ludah.

pintu ruangan rahasia itu terbuka perlahan. **Isabella** masuk dengan langkah tenang, wajahnya penuh kekhawatiran. Melihat Liora yang duduk di lantai dengan keringat dingin membasahi tubuhnya, Isabella segera menghampiri dan berlutut di sampingnya.

"Liora, kamu baik-baik saja?" tanyanya lembut sambil menyentuh bahu Liora.

Liora mengangguk pelan, meski matanya masih menunjukkan ketakutan. "Aku... aku baru saja mengalami mimpi buruk yang sangat nyata."

Isabella menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri sebelum berbicara. "Ceritakan padaku, apa yang kamu lihat dalam mimpi itu?"

Liora menelan ludah, mencoba mengingat setiap detail yang masih segar di ingatannya. "Awalnya, aku berada di taman yang indah. Ada bayangan yang mengatakan akan selalu menjagaku, bahkan menjadi suamiku. Tapi kemudian semuanya berubah. Bayangan itu menghilang, digantikan oleh ilmuwan jahat yang tertawa puas. Dia mengatakan bahwa aku adalah miliknya dan akan menggunakan tubuhku untuk menguasai segalanya."

Isabella mendengarkan dengan seksama, matanya penuh perhatian. "Lalu apa yang terjadi?"

Liora melanjutkan, suaranya bergetar. "Tiba-tiba, aku berada di rumah. Ayah dan ibu ada di sana, tapi mereka terluka parah. Mereka menyuruhku lari dan menyelamatkan diri. Setelah itu, aku berada di kota yang megah, tapi sebelum aku bisa memahami apa yang terjadi, aku ditembak. Rasanya begitu nyata, Kak. Seperti aku benar-benar merasakan peluru itu menembus tubuhku."

Isabella menarik Liora ke dalam pelukan, membiarkan gadis itu menangis di bahunya. "Tenang, Liora. Itu hanya mimpi. Mimpi buruk yang mungkin disebabkan oleh semua tekanan dan ketakutan yang kamu rasakan."

Liora terisak, mencoba menenangkan diri. "Tapi kenapa rasanya begitu nyata? Aku merasa seperti benar-benar berada di sana."

Isabella mengusap punggung Liora dengan lembut. "Kadang-kadang, mimpi bisa terasa sangat nyata, terutama ketika kita sedang dalam kondisi stres atau ketakutan. Otak kita mencoba memproses semua emosi dan pengalaman yang kita alami, dan itu bisa tercermin dalam mimpi kita."

Liora mengangguk pelan, meski hatinya masih terasa berat. "Aku takut, Kak. Aku takut kehilangan kalian seperti dalam mimpi itu."

Isabella menatap mata Liora dengan penuh kasih sayang. "Kita semua ada di sini untukmu, Liora. Kami tidak akan membiarkan apa pun terjadi padamu. Dan tentang mimpi itu, ingatlah bahwa mimpi hanyalah bayangan dari pikiran kita. Mereka tidak bisa menyakiti kita di dunia nyata."

Liora menarik napas dalam, mencoba menguatkan diri. "Terima kasih, Kak. Aku akan mencoba untuk lebih tenang."

Isabella tersenyum lembut. "Itu semangat yang aku kenal. Kamu adalah gadis yang kuat, Liora. Jangan biarkan mimpi buruk menguasai pikiranmu."

Liora mengangguk.