Malam itu terasa semakin mencekam, seperti gelap yang tak pernah berakhir. Dunia virtual yang seharusnya memberi kebebasan kini hanya menyisakan bayang-bayang ketakutan yang semakin tebal. Para humanoid, yang semula tersebar, kini bersatu dalam satu tujuan yang sama—menghancurkan siapa pun yang mereka temui, satu per satu.
Kelompok pertama yang mereka temui tidak sempat bertahan lama. Serangan yang terkoordinasi dengan sempurna membuat mereka semua terjebak dalam satu titik yang tak bisa dihindari. Humanoid bergerak cepat, seolah tak ada ruang untuk melarikan diri. Dalam hitungan detik, kelompok itu dihancurkan. Tak ada yang tersisa. Begitu juga dengan kelompok kedua dan ketiga, yang tak mampu menghindari serangan brutal yang datang tanpa ampun.
"Ini... ini tidak bisa terjadi," terdengar suara salah seorang peserta, yang akhirnya mulai sadar bahwa mereka hanya menjadi sasaran empuk. Salah satu dari mereka, seorang pria dengan mata penuh ketakutan, berlari. Ia tahu jika ia tidak segera melarikan diri, nasibnya akan sama dengan yang lainnya—terhimpit oleh kekuatan yang tak terkendali.
Namun, yang ia tidak tahu adalah, ia tidak akan pernah sampai ke tempat yang aman. Salah satu humanoid yang berada di dekatnya, seorang pria tinggi berotot, mengejar dengan kecepatan yang tak wajar. Ketika pria itu berlari, tubuh humanoid itu bergerak begitu cepat, seolah menginjakkan kaki pada tanah dengan kekuatan yang memicu gelombang kejut di udara. Dalam sekejap, ia melompat—lompatannya yang tak terduga itu mencapai jarak 12 meter, melewati segala rintangan yang ada.
Pria yang melarikan diri itu hanya sempat melihat sekilas bayangan humanoid yang melompat dengan kecepatan luar biasa, sebelum wajahnya berubah pucat saat humanoid itu mendarat tepat di hadapannya, menghadangnya dengan kejam. Ia mencoba berbalik, tapi semuanya terlambat. Sebelum ia sempat berteriak atau bahkan mengangkat senjata, humanoid itu sudah mengayunkan tangan baja yang dipenuhi kekuatan telekinesis. Dengan satu gerakan cepat, pria itu terlempar ke udara dan tubuhnya terbelah dalam dua bagian.
Kengerian semakin terasa saat grup keempat dan kelima pun musnah, satu per satu. Serangan dari humanoid datang tanpa peringatan. Mereka tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, tetapi juga kemampuan telekinesis yang membuat setiap gerakan mereka semakin mematikan. Satu per satu, tubuh para peserta jatuh, terkapar tak bernyawa, mengisi tanah dengan darah mereka yang menyuburkan dunia ini.
Hanya ada satu grup yang tersisa. Grup itu sudah menyadari bahwa mereka adalah yang terakhir, dan waktu mereka semakin sedikit. Mereka sudah mendengar desas-desus tentang kemampuan humanoid yang luar biasa—tentang kekuatan telepati dan telekinesis yang dapat mengendalikan hampir segala hal di sekitar mereka. Mereka tahu mereka tak punya banyak pilihan selain bertahan.
Di sudut lain dari arena, para humanoid mengamati mereka. Semua tindakan mereka terekam dalam sistem telepatis yang begitu kuat, menghubungkan setiap gerakan dan setiap pemikiran dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tidak ada ruang untuk kebetulan.
Iris, yang sudah memantau seluruh jalannya pertempuran dari jauh, kini berbalik menatap Caleb dengan tatapan yang penuh tantangan. "Kau lihat apa yang terjadi, Caleb?" tanyanya dengan nada rendah, hampir seperti bisikan. "Kita hanya menyisakan satu grup ini. Mereka adalah yang terakhir. Mereka tahu mereka tidak bisa mengalahkan kami. Mereka hanya berusaha bertahan, seperti yang kau lihat. Tapi... bagaimana denganmu?"
Caleb menatap layar, matanya menyipit saat melihat grup terakhir yang masih bertahan. Mereka mulai menyebar, mencoba mengatur strategi, namun Caleb tahu tak ada yang bisa mengalahkan humanoid yang sudah terlatih dengan telekinesis. Semua rencana mereka pasti akan hancur dalam sekejap.
"Dan sekarang," lanjut Iris dengan senyum yang penuh arti, "kami akan menguji apakah kau cukup pintar dan kuat untuk menjadi bagian dari kami. Kami tahu kamu bisa bersembunyi di antara mereka, Caleb. Kami tahu kamu bisa menyamarkan diri. Sekarang, tunjukkanlah. Jika kamu bisa menyerupai alam sekitar, jika kamu bisa mengaburkan keberadaanmu dan melangkah tanpa terdeteksi, maka kamu layak menjadi bagian dari kami."
Mata Caleb berkilat, sebuah ide tiba-tiba muncul dalam pikirannya. Iris benar—jika ia ingin membuktikan dirinya, ia harus bisa menyamarkan dirinya, menyatu dengan alam sekitarnya, tak terlihat oleh humanoid yang sudah menguasai seluruh arena ini.
Tanpa berkata-kata lagi, Caleb menutup matanya sejenak, memusatkan perhatian. Dalam sekejap, tubuhnya mulai menyatu dengan lingkungannya. Dengan bantuan telekinesis yang ia pelajari sedikit demi sedikit, ia mulai merasakan setiap gerakan angin, setiap ketukan langkah kaki, dan setiap riak dalam tanah. Semua informasi ini ia kumpulkan dalam pikirannya, dan ia mulai mengubah cara ia bergerak—melebur dengan lingkungan, menjadi satu dengan dunia di sekelilingnya.
Dengan setiap gerakan yang sangat hati-hati, Caleb melangkah di antara reruntuhan dan tubuh para peserta yang telah jatuh, menyatu dengan bayang-bayang dan gelapnya malam. Tidak ada suara yang tertinggal, tidak ada jejak yang terlihat. Ia menjadi hantu, sesuatu yang tak bisa terdeteksi, bahkan oleh telekinesis yang tajam sekalipun.
Namun, Iris menonton dengan seksama. Ia tahu ini adalah ujian terakhir. Jika Caleb bisa bertahan di antara para humanoid ini tanpa terdeteksi, tanpa meninggalkan jejak, maka ia akan menunjukkan bahwa ia layak untuk menjadi bagian dari mereka—dan lebih dari itu, ia akan menunjukkan bahwa ia punya potensi untuk mengalahkan mereka dari dalam