Kein melangkah perlahan, meninggalkan tubuh Rhaegar yang terluka di belakangnya. Napasnya berat, bukan karena kelelahan fisik, tetapi karena konflik batin yang terus menggerogoti dirinya. Ia tak pernah menyukai pertarungan—terutama yang mempertaruhkan nyawa seperti ini.
Di tengah perjalanan menuruni puncak, Kein berhenti di sebuah batu besar yang cukup rata. Dia menjatuhkan dirinya ke atasnya, membiarkan tubuhnya beristirahat. Pedang peraknya kini tertancap di tanah, cahaya birunya mulai redup.
Pikirannya melayang ke tujuan awalnya. Semua ini bukan hanya tentang menghentikan Rhaegar. Dia sedang mengejar sesuatu yang jauh lebih besar, sesuatu yang hanya bisa ditemukan di lembah tersembunyi di balik gunung ini—Artefak Takdir, sebuah relik kuno yang konon memiliki kemampuan untuk mengubah alur sejarah.
Masa Lalu yang Menghantui
Sambil menatap langit yang mulai memerah karena fajar, Kein teringat masa lalunya. Bukan sekali atau dua kali dia harus mempertaruhkan nyawa untuk sesuatu yang tidak sepenuhnya dia percayai. Namun kali ini berbeda.
Artefak Takdir adalah alasan mengapa dia di sini, di dunia asing ini, terjebak dalam tubuh yang bukan miliknya. Jiwanya telah terlempar dari dunia asalnya ke dalam tubuh seorang wanita yang sedang hamil. Dan kini, ia harus menjalani hidup baru sambil mencari cara untuk kembali.
"Kein," sebuah suara memecah lamunannya.
Kein segera mengambil pedangnya dan berdiri dengan waspada. Dari balik kabut, muncul seorang wanita muda dengan pakaian sederhana namun berwibawa. Rambutnya panjang dan keemasan, wajahnya dihiasi oleh luka samar di pipi kirinya.
"Mira?" Kein sedikit terkejut. "Kenapa kau di sini?"
Mira, salah satu sekutunya yang paling dipercayai, tersenyum tipis. "Kau benar-benar tidak tahu kapan berhenti, ya? Aku melihat pertarunganmu dengan Rhaegar dari kejauhan. Kau hampir saja kehilangan nyawamu."
Kein menghela napas. "Itu sudah selesai. Rhaegar tidak akan menghalangi kita lagi."
Mira mendekat, menatap tajam ke arah Kein. "Tapi kau tahu ini baru permulaan, bukan? Banyak yang menginginkan Artefak Takdir itu, dan mereka semua tidak akan segan-segan membunuhmu untuk mendapatkannya."
Perjalanan Menuju Lembah Terlarang
Kein hanya mengangguk. Dia sudah memperkirakan hal itu sejak awal. Tanpa membuang waktu, dia dan Mira melanjutkan perjalanan mereka. Jalan menuruni gunung semakin sulit, dengan bebatuan yang licin dan jurang di kedua sisi.
Setiap langkah terasa seperti ujian baru. Beberapa kali, mereka harus berhenti untuk memastikan tidak ada jebakan atau musuh yang mengintai. Namun, Kein merasa bahwa mereka sedang diawasi.
"Mira, kau merasakan sesuatu?" tanya Kein, matanya menyapu sekeliling mereka.
Mira mengangguk. "Ya. Sepertinya kita tidak sendiri."
Tiba-tiba, suara gemerisik terdengar dari semak-semak di dekat mereka. Kein mengangkat pedangnya, bersiap menghadapi ancaman apa pun. Namun, yang muncul bukanlah musuh yang mereka bayangkan. Seekor serigala hitam besar dengan mata merah menyala melompat keluar, menggeram dengan suara yang memekakkan telinga.
"Serigala penjaga," bisik Mira. "Mereka dikirim untuk melindungi artefak."
Pertarungan Melawan Penjaga
Serigala itu tidak memberi mereka waktu untuk berpikir. Dengan kecepatan yang luar biasa, ia melompat ke arah Kein. Namun, Kein berhasil menangkis serangan itu dengan pedangnya, mendorong makhluk itu mundur.
Mira segera melancarkan serangan sihir, meluncurkan bola api ke arah serigala. Bola api itu mengenai tubuh makhluk itu, tetapi serigala hanya menggeram lebih keras, seolah-olah rasa sakit tidak mempengaruhinya.
"Ini tidak akan mudah," kata Mira sambil bersiap melancarkan serangan berikutnya.
Kein tahu mereka tidak bisa membuang waktu. Jika serigala ini hanya penjaga pertama, apa yang menunggu mereka di depan pasti lebih berbahaya.
Dengan taktik yang cermat, mereka mulai bekerja sama. Kein mengalihkan perhatian serigala dengan serangan cepat, sementara Mira terus melancarkan sihir dari kejauhan. Namun, serigala itu cerdas. Ia mulai mempelajari pola serangan mereka dan menyesuaikan gerakannya.
Saat Kein mencoba menyerang dari samping, serigala itu berbalik dengan cepat, mencakar lengan Kein hingga darah mengalir. Dia meringis kesakitan, tetapi tidak mundur. Sebaliknya, dia menggenggam pedangnya lebih erat.
"Mira! Aku butuh waktu beberapa detik!" teriak Kein.
Mira mengangguk dan melancarkan sihir es, menciptakan dinding yang membatasi gerakan serigala itu. Dalam sekejap, Kein memusatkan seluruh energi sihirnya ke dalam pedangnya. Cahaya biru kembali bersinar, kali ini jauh lebih terang daripada sebelumnya.
Dengan teriakan keras, Kein meluncur ke arah serigala dan menusukkan pedangnya tepat ke dada makhluk itu. Serigala itu melolong keras sebelum tubuhnya membeku dan hancur menjadi pecahan es.
Langkah Selanjutnya
Mereka berdiri di sana, napas terengah-engah, menatap sisa-sisa pertempuran. Tubuh Kein gemetar karena kelelahan, tetapi dia tetap tegak.
"Kita harus segera pergi," kata Mira sambil membantu Kein berdiri.
Kein hanya mengangguk. "Ya. Artefak Takdir semakin dekat. Aku bisa merasakannya."
Namun, dalam hati, Kein tahu bahwa pertarungan sesungguhnya baru saja dimulai. Lembah Terlarang bukanlah tempat bagi mereka yang lemah, dan musuh yang lebih kuat sedang menunggu di depan.