Duplikat

Kein dan Mira melanjutkan perjalanan mereka setelah mengalahkan serigala penjaga. Lembah di depan kini tampak dari kejauhan, sebuah tempat yang hampir tak tersentuh cahaya matahari karena pepohonan besar yang tumbuh rapat. Udara di sekitarnya semakin dingin, seperti menyimpan rahasia kelam yang tak ingin diungkap.

Kein menatap lembah itu dengan hati-hati. Di antara dahan-dahan pohon yang menjulang tinggi, ia bisa merasakan tatapan-tatapan tersembunyi, seolah-olah makhluk tak kasat mata sedang memperhatikan setiap langkah mereka.

"Ini dia," kata Kein, lebih kepada dirinya sendiri.

Mira berhenti di sampingnya, memperhatikan lembah itu dengan ekspresi tegang. "Kau yakin artefak itu ada di sini?"

Kein mengangguk pelan. "Sihir yang memancar dari lembah ini terlalu kuat untuk diabaikan. Ini satu-satunya tempat yang cocok untuk menyembunyikan sesuatu seperti Artefak Takdir."

Mira menarik napas panjang, menguatkan dirinya. "Baiklah. Tapi jika kita masuk, aku yakin penjaga yang lebih kuat menunggu kita."

Kein tersenyum tipis, meskipun wajahnya tampak letih. "Itu sudah pasti."

Hutan Tanpa Jalan Keluar

Mereka melangkah masuk ke dalam lembah, dan atmosfer berubah drastis. Udara di sekitar mereka menjadi berat, seolah-olah menekan tubuh mereka dengan kekuatan tak terlihat. Suara-suara alam, seperti kicauan burung atau desiran angin, menghilang begitu saja.

Pepohonan di sekitar mereka tampak hidup, dengan cabang-cabang yang bergerak perlahan, seperti sedang memperhatikan. Tanah di bawah kaki mereka terasa basah dan lengket, mengeluarkan aroma busuk yang menusuk hidung.

"Ini seperti jebakan," gumam Mira sambil mengangkat tangannya, siap meluncurkan sihir kapan saja.

Kein mengangguk. Dia memegang pedangnya erat-erat, matanya menyapu setiap sudut hutan itu. Namun, setelah beberapa langkah, mereka menyadari sesuatu yang aneh. Jalan yang mereka lalui terasa seperti berputar-putar di tempat yang sama.

"Kita tidak bergerak maju," kata Mira dengan nada frustrasi.

Kein berhenti, mencoba memusatkan pikirannya. "Ini ilusi. Hutan ini mencoba membuat kita kehilangan arah."

Mira mengerutkan kening. "Bagaimana kita bisa keluar?"

Kein menutup matanya, merasakan energi di sekitarnya. Ilusi ini terasa seperti simpul sihir yang rumit, tetapi dia tahu ada cara untuk memecahnya. Dia membuka matanya, menatap Mira. "Aku butuh waktu untuk memecahkan ini. Lindungi aku."

Mira mengangguk tanpa ragu. Dia berdiri di depan Kein, mengangkat tongkat sihirnya. Tidak butuh waktu lama bagi ancaman untuk muncul. Dari bayangan pepohonan, makhluk-makhluk berbentuk seperti manusia namun dengan kulit hitam legam dan mata bersinar merah mulai bermunculan.

Pertempuran Melawan Bayangan

Mira segera melancarkan serangan pertamanya. Bola api melesat dari tangannya, menghantam salah satu makhluk bayangan itu. Makhluk itu meledak menjadi asap hitam, tetapi dua makhluk lainnya segera menyerang dari sisi yang berbeda.

"Kein, cepatlah!" teriak Mira sambil menangkis serangan dengan perisai sihir.

Kein duduk bersila di atas tanah, memejamkan mata, tangannya memegang gagang pedangnya yang tertancap di tanah. Dia memusatkan seluruh perhatiannya pada simpul sihir di sekitar mereka, mencoba mencari titik lemah.

Sementara itu, Mira semakin terdesak. Jumlah makhluk bayangan itu terus bertambah, dan mereka semakin agresif. Satu makhluk berhasil melompat mendekatinya, mencakar lengan kirinya hingga darah mengalir.

Namun Mira tidak menyerah. Dengan satu tangan, dia menciptakan lingkaran sihir besar yang melingkupinya dan Kein. Api biru menyala di sekeliling lingkaran itu, membakar makhluk-makhluk yang mencoba mendekat.

"Aku butuh waktu lagi!" seru Kein, keringat mulai mengalir di dahinya.

Mira mengatupkan rahangnya. "Cepatlah, atau kita berdua mati di sini!"

Memecahkan Ilusi

Kein akhirnya menemukan simpul utama dari sihir ilusi itu. Dia membuka matanya, cahaya biru menyala di irisnya. Dengan satu gerakan cepat, dia mencabut pedangnya dari tanah dan mengayunkannya ke udara.

Energi biru yang kuat meluncur dari pedang itu, menghantam pohon-pohon di sekeliling mereka. Suara retakan terdengar di udara, dan dalam sekejap, ilusi itu hancur.

Hutan yang sebelumnya gelap dan membingungkan kini terbuka, memperlihatkan jalan sempit yang mengarah ke pusat lembah. Namun, di tengah jalan itu, berdiri sosok tinggi dengan jubah hitam yang menutupi wajahnya.

Penjaga Terakhir

Sosok itu mengangkat tangan, dan tanah di sekitar mereka bergetar. Dari dalam tanah, muncul pilar-pilar batu besar yang mengelilingi mereka, membatasi ruang gerak.

"Siapa dia?" bisik Mira, menatap sosok itu dengan waspada.

Kein menyipitkan matanya. "Dia adalah penjaga terakhir. Jika kita mengalahkannya, kita bisa mencapai Artefak Takdir."

Penjaga itu tidak berbicara, tetapi dia mengangkat tongkat panjang yang bersinar dengan cahaya merah. Dalam sekejap, serangan pertama diluncurkan. Pilar-pilar batu meluncur ke arah Kein dan Mira dengan kecepatan yang luar biasa.

Mereka melompat ke sisi yang berbeda, menghindari serangan itu dengan susah payah. Namun, serangan berikutnya datang lebih cepat. Tanah di bawah kaki mereka mulai retak, menciptakan jebakan-jebakan tajam.

Kein melompat ke depan, menyerang penjaga itu dengan pedangnya. Namun, sebelum pedangnya mengenai, penjaga itu menghilang seperti bayangan. Dia muncul kembali di belakang Kein, melancarkan serangan balik dengan tongkatnya.

Kein berhasil menangkis serangan itu, tetapi kekuatannya cukup besar untuk mendorongnya mundur beberapa meter.

"Kita tidak bisa mengalahkannya dengan cara biasa," kata Mira, melancarkan serangan sihir ke arah penjaga itu. Namun, serangan itu hanya memantul, tidak memberikan efek apa pun.

Kein mengangguk. "Dia dilindungi oleh sihir kuno. Kita harus menghancurkan sumber kekuatannya terlebih dahulu."

Mira mengerti. Dia mulai mencari titik lemah di sekeliling mereka, sementara Kein terus bertarung melawan penjaga itu. Serangan mereka semakin sengit, dengan energi yang menghancurkan tanah dan batu di sekitar mereka.

Setelah beberapa saat, Mira menemukan sebuah batu kecil di salah satu pilar yang bersinar samar. "Kein, itu dia!"

Kein melompat ke arah batu itu, menghindari serangan penjaga yang terus mengejarnya. Dengan satu ayunan kuat, dia menghancurkan batu tersebut.

Penjaga itu berhenti bergerak, cahaya merah di tongkatnya memudar. Dalam sekejap, tubuhnya berubah menjadi debu dan menghilang tertiup angin.

Menuju Artefak Takdir

Setelah pertarungan itu, jalan di depan mereka terbuka. Di ujung lembah, mereka melihat sebuah altar kuno yang terbuat dari batu hitam. Di atasnya, melayang sebuah bola cahaya emas yang berkilauan, Artefak Takdir.

Namun, Kein dan Mira tahu, perjalanan mereka belum selesai. Mata Kein menatap artefak itu dengan serius. "Jika ini benar-benar bisa mengubah takdir... apakah aku siap menanggung konsekuensinya?"

Mira menepuk bahunya pelan. "Kita akan tahu setelah mencobanya."