Beberapa hari telah berlalu sejak pertempuran dengan Inheritor. Salju masih menyelimuti reruntuhan, tetapi aura mencekam yang dulu terasa kini perlahan memudar. Di sebuah pondok kecil yang tersisa di tepi hutan, Mira duduk di dekat perapian, sesekali melirik Kein yang berdiri di dekat jendela, memandangi langit kelabu.
Aura dingin yang menyelimuti tubuh Kein masih terasa, meskipun lebih stabil sekarang. Cahaya biru di matanya sesekali berpendar lembut, namun ekspresinya lebih tenang dibanding saat pertama kali dia menyatu dengan kekuatan artefak itu.
"Mira," suara Kein memecah keheningan. "Kau tahu aku bisa merasakannya, bukan? Kekuatan ini… seperti bisikan di kepalaku. Selalu memintaku untuk melepaskan kendali."
Mira menoleh, tatapannya lembut namun penuh ketegasan. "Tapi kau berhasil menahannya sejauh ini. Itu berarti kau lebih kuat dari yang kau pikirkan, Kein."
Kein tersenyum tipis, sesuatu yang jarang terlihat sejak insiden itu. Dia berjalan mendekat dan duduk di seberang Mira. Di antara mereka, perapian memancarkan kehangatan yang kontras dengan aura dingin Kein.
"Kau tidak takut padaku, Mira?" tanyanya pelan, matanya menatap langsung ke mata Mira.
Mira terdiam sejenak sebelum menjawab. "Aku takut, Kein. Tapi bukan padamu. Aku takut kehilanganmu—bukan karena kau kalah dalam pertempuran, tetapi karena kau menyerah pada kekuatan itu."
Kein menundukkan kepalanya, tangannya yang memegang pedang bergetar sedikit. "Aku tidak ingin menyakitimu. Jika suatu hari aku kehilangan kendali…"
"Kalau hari itu datang," potong Mira tegas, "aku akan berada di sini. Menarikmu kembali. Kau tidak akan sendirian, Kein."
Adaptasi yang Sulit
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan latihan dan meditasi. Kein belajar mengendalikan kekuatan barunya—membekukan air di udara, menciptakan dinding es yang kokoh, hingga memfokuskan energi dingin ke dalam pedangnya untuk serangan mematikan.
Mira tetap berada di sisinya, mengawasi setiap langkah dan mengingatkannya saat kekuatan itu mulai mengambil alih. Mereka berbicara lebih banyak sekarang—tentang ketakutan Kein, tentang masa lalu mereka, dan tentang masa depan yang tidak pasti.
"Ini bukan hanya tentang mengendalikan kekuatan itu, Kein," ujar Mira suatu hari saat Kein gagal menahan ledakan energi yang membekukan seluruh taman kecil di sekitar mereka. "Ini tentang menerima bahwa kekuatan itu sekarang adalah bagian dari dirimu. Bukan musuhmu, tetapi sekutumu."
Kein menatap Mira dengan sorot mata yang dalam. Kata-kata itu perlahan meresap ke dalam dirinya.
Ikatan yang Lebih Dalam
Suatu malam, di bawah cahaya bulan yang pucat, Kein duduk di tepi danau beku. Uap tipis keluar dari napasnya, dan di hadapannya, pantulan dirinya di permukaan es tampak asing—mata biru bercahaya, kulit pucat seperti porselen.
Mira mendekat perlahan, mantel tebal membungkus tubuhnya. "Kein, apa kau baik-baik saja?"
Kein mengangguk pelan. "Aku hanya… berpikir. Tentang kita. Tentang diriku. Tentang apa yang akan terjadi jika aku gagal mengendalikan semua ini."
Mira duduk di sampingnya, kedua tangannya disilangkan di lutut untuk menghangatkan diri. "Kau tahu, Kein, kekuatan itu mungkin telah mengubahmu. Tapi tidak sepenuhnya. Kau masih orang yang sama—pribadi yang sama yang melindungiku berkali-kali, yang selalu memikirkan orang lain lebih dari dirinya sendiri."
Kein menoleh padanya, matanya yang bercahaya kini lebih lembut. "Dan kau… selalu ada di sini untukku, bahkan ketika aku sendiri meragukan diriku."
Mira tersenyum kecil. "Aku berjanji akan tetap di sini, Kein. Apa pun yang terjadi."
Dalam keheningan malam itu, sesuatu di antara mereka berubah—ikatan yang lebih dalam, saling percaya yang tak tergoyahkan. Kein tahu bahwa selama Mira berada di sisinya, dia akan mampu menjaga keseimbangan dalam dirinya.
Langkah ke Depan
Waktu berlalu, dan Kein perlahan mulai menemukan keseimbangan antara dirinya dan kekuatan artefak. Dia tidak lagi memandangnya sebagai kutukan, tetapi sebagai bagian dari dirinya yang harus diterima dan diatur dengan bijak.
Mira, di sisi lain, menjadi jangkar Kein—satu-satunya yang dapat menariknya kembali ketika kekuatan itu mencoba mengambil alih.
"Jadi, apa selanjutnya?" tanya Mira saat mereka berdiri di puncak bukit, memandang hamparan salju yang berkilauan di bawah sinar matahari.
Kein menyarungkan pedangnya, napasnya membentuk uap tipis di udara dingin. "Kita melangkah maju. Selama dunia ini masih membutuhkan kita, aku akan bertarung—dengan kekuatan ini, dan denganmu di sisiku."
Mira mengangguk, senyum hangat menghiasi wajahnya. "Kalau begitu, mari kita mulai perjalanan baru ini. Bersama."
Dengan langkah mantap, mereka berjalan menuruni bukit, meninggalkan jejak kaki di salju yang akan memudar seiring waktu—tetapi ikatan mereka kini lebih kuat dari sebelumnya, tak tergoyahkan oleh dinginnya es atau kegelapan yang mungkin menanti di depan.