Hjajaba

Kein duduk bersandar di dinding reruntuhan, tubuhnya penuh luka, namun tatapannya tajam seperti bilah pedang yang baru diasah. Udara dingin di sekitar mereka masih menggigit kulit, meskipun ancaman Sentinel Beku telah berakhir. Tetapi, perasaan ganjil terus menghantuinya, sebuah kegelisahan yang semakin mencekik sejak dia menghancurkan inti artefak.

"Kein, kau baik-baik saja?" Mira mendekat, menatapnya dengan cemas.

Kein tidak menjawab. Tangannya memegang pedang dengan erat, ujung-ujung jari mulai memutih. Dalam diamnya, dia bisa merasakan sesuatu yang asing merayap di dalam dirinya, sesuatu yang tidak berasal dari dirinya sendiri.

"Kein?" Mira menyentuh bahunya, tetapi saat itu juga, dia merasakan aura dingin yang menusuk keluar dari tubuh Kein.

Kein perlahan membuka matanya, yang kini tidak lagi memancarkan kehangatan manusia. Mata itu tajam seperti mata pisau, dengan cahaya biru redup yang memancar dari irisnya. Wajahnya dingin, tanpa emosi, seperti patung es.

"Kein, ada apa denganmu?" Mira bergidik, mundur satu langkah.

Kein berdiri perlahan, gerakannya begitu terkontrol, seperti seorang pembunuh yang sedang merencanakan langkah terakhirnya. Suara dingin keluar dari bibirnya. "Mira, jangan terlalu dekat."

Mira menatapnya dengan ekspresi bingung. "Apa yang terjadi padamu? Ini bukan kau."

Kein mengalihkan pandangannya ke pedang di tangannya, yang kini berkilauan dengan energi es. "Artefak itu… sebagian dari kekuatannya masuk ke tubuhku. Aku bisa merasakannya—rasa dingin ini, kekuatan ini."

Kein yang Baru

Udara di sekitar mereka mulai berubah, semakin dingin hingga embun beku terbentuk di tanah. Mira mencoba melangkah mendekat lagi, tetapi Kein menatapnya dengan mata tajam yang menghentikan langkahnya.

"Kein, kau tidak perlu melakukan ini. Kita bisa mengatasinya bersama!" Mira memohon.

Namun, Kein hanya menunduk, senyum kecil yang nyaris tidak terlihat terukir di wajahnya. "Aku tidak tahu apakah ini berkah atau kutukan. Tapi yang jelas… aku tidak lagi sama seperti sebelumnya."

Dia mengayunkan pedangnya ke udara, dan gelombang es meluncur keluar, membelah tanah di depan mereka. Mira terkejut melihat betapa kuatnya Kein sekarang, tetapi dia juga menyadari bahwa kekuatan ini bukan tanpa risiko.

"Kein, dengarkan aku. Kau harus melawan pengaruh ini sebelum ia menguasaimu sepenuhnya!"

Kein menatapnya, dingin dan tanpa ampun. "Mungkin ini adalah harga yang harus aku bayar. Tidak ada jalan mundur."

Serangan Tak Terduga

Sebelum Mira bisa membalas, sebuah ledakan besar mengguncang tempat itu. Dari balik bayangan reruntuhan, seorang wanita muncul, mengenakan jubah putih berkilauan seperti salju. Rambutnya perak panjang, dan matanya memancarkan aura dingin yang sama seperti Kein.

"Aku tidak menyangka ada yang cukup bodoh untuk menyerap kekuatan Artefak Takdir," katanya dengan suara yang angkuh. "Tapi kurasa ini akan membuat semuanya lebih menarik."

Mira mengarahkan tongkat sihirnya ke arah wanita itu. "Siapa kau?"

Wanita itu tersenyum tipis. "Aku adalah Inheritor, pewaris sejati kekuatan Sang Ratu Es. Dan aku datang untuk mengambil kembali apa yang menjadi milikku."

Kein melangkah maju, aura dinginnya semakin intens. "Kalau begitu, kau harus melewatiku dulu."

Pertarungan yang Mematikan

Inheritor melayangkan tangannya, dan serpihan-serpihan es meluncur seperti ribuan jarum tajam ke arah Kein. Namun, dengan kecepatan yang luar biasa, Kein mengangkat pedangnya dan memutar tubuhnya, menciptakan perisai es yang menghancurkan semua jarum itu sebelum bisa menyentuhnya.

"Aku tidak membutuhkan perlindungan siapa pun," kata Kein dengan suara datar.

Mira menatap Kein dengan campuran rasa takut dan kagum. Kekuatannya sekarang jauh melampaui apa yang dia miliki sebelumnya, tetapi ekspresi dingin di wajahnya membuat Mira merasa bahwa Kein bukan lagi orang yang dia kenal.

Inheritor tertawa kecil. "Menarik. Kau bahkan bisa mengendalikan kekuatannya tanpa kehilangan dirimu. Tapi, itu tidak akan berlangsung lama."

Dia menjentikkan jarinya, dan tanah di bawah mereka retak, menciptakan pilar-pilar es raksasa yang melesat ke langit. Kein melompat dari satu pilar ke pilar lainnya dengan kelincahan luar biasa, setiap langkahnya begitu presisi.

Ketika dia mencapai puncak salah satu pilar, dia melompat ke arah Inheritor, mengayunkan pedangnya dengan kekuatan penuh.

Puncak Konflik

Benturan antara pedang Kein dan kekuatan es Inheritor menciptakan gelombang kejut yang meruntuhkan pilar-pilar di sekitar mereka. Kedua sosok itu terus bertukar serangan, setiap gerakan mereka seperti tarian mematikan di tengah badai salju.

Mira, yang hanya bisa menonton dari jauh, mencoba mencari cara untuk membantu. Dia tahu bahwa Kein membutuhkan bantuannya, bahkan jika dia tidak mengakuinya.

"Aku tidak akan membiarkanmu tenggelam dalam kekuatan itu, Kein," gumamnya, mulai merapal mantra kompleks yang membutuhkan semua energi sihirnya.

Sementara itu, Kein terus menyerang tanpa henti. Setiap ayunan pedangnya semakin cepat dan semakin kuat, hingga akhirnya dia berhasil membuat celah dalam pertahanan Inheritor.

Dia mengarahkan pedangnya langsung ke jantung wanita itu, tetapi sebelum serangan itu mengenai, Inheritor tersenyum.

"Kau kuat, Kein. Tapi, apa kau yakin tidak akan hancur oleh kekuatan yang kau pilih?"

Dengan suara ledakan, Inheritor menghilang menjadi serpihan salju, meninggalkan Kein yang berdiri sendiri, pedangnya terangkat.

Akhir yang Tidak Pasti

Kein menurunkan pedangnya perlahan, napasnya berat. Mira mendekatinya dengan hati-hati, matanya penuh kekhawatiran.

"Kein, apa kau baik-baik saja?"

Kein tidak menjawab, hanya menatap pedangnya yang kini bersinar biru. Aura dingin masih mengelilinginya, tetapi perlahan mulai mereda.

"Aku tidak tahu," katanya akhirnya, suaranya pelan. "Tapi yang aku tahu

… aku tidak akan pernah menjadi seperti dulu lagi."