WebNovelThe Cuckoo100.00%

Chapter 10 : Hospital

Saat aku menerima rumah itu, semua hal yang dulu sering mengganggu keluargaku menghilang begitu saja. Seperti saat orang-orang iseng yang terus saja meneror keluargaku setelah kakak di bawa ibu dan ayah pergi ke rumah sakit jiwa. Aku pikir itu semua sudah berakhir, jadi setelah mendapat hak atas rumah ini aku mengumpulkan uang untuk menikahi Elena dan merenovasi rumah. Meskipun pernah terjadi insiden mengerikan di basement, aku tetap membiarkan ruangan itu sebagai ruang kerja, lebih tepatnya ruang kerjaku untuk sekarang. Semua barang ayah ada disana seingatku dan gudang yang ada dibawah tanggapun terlihat sangat normal saat pertama kali aku memasuki rumah itu lagi. Mungkin buku, dokumen, juga lukisan ayah ada disana tanpa disadari.

"Aku harus pulang untuk memeriksa semuanya" kata Leo tiba-tiba

"Kau kan masih belum pulih" ucap Pendeta Ben

"Biar aku saja" Elena menawarkan dirinya

"Tapi-"

"Tulis saja apa yang harus aku cari"

"Kau yakin dengan itu Elena? Biar aku temani" kata sang Pendeta

"Iya, setelah kejadian itu aku merasa khawatir" jawab Leo

"Baiklah, mohon bantuannya Pendeta Bennedict"

Aku mulai menulis apa-apa saja yang harus mereka temukan, dengan mencoba mengingat semua hal yang berkaitan dengan Yayasan Eden Garden. Sebenarnya aku tidak begitu yakin jika ini dapat menjadi jalan keluar untuk semua kekacauan yang telah terjadi, tapi Elena juga Pendeta Ben selalu meyakinkanku. "Semua masalah, pasti ada jalan keluarnya" itulah yang selalu ia ucapkan padaku sewaktu Pendeta Ben manjadi waliku.

"Baiklah, ini" Leo menyodorkan secarik kertas

"Kami akan berusaha, jadi tak usah khawatir. Lebih baik kau fokus saja pada kesehatanmu" ucap Pendeta Ben

"Iya, terimakasih Pendeta Ben"

"Aku pergi dulu" kata Elena sambil mengecup kening sang suami

"Umm, berhati-hatilah" jawab Leo

Tak lama setelah itu merekapun langsung berangkat menuju rumah (Elena dan Pendeta). Sebelum memasuki rumah, Elena harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari pihak kepolisian meskipun hendak masuk kerumahnya sendiri karena masih terpasang police line disekitar rumah. Walau polisi tidak bisa menemukan pelaku penyerangan dan bukti-bukti dalam rekaman CCTV, tapi investigasi masih dilakukan. Melihat aku (Leo) dalam keadaan lemah terluka, juga rumah yang terlihat berantakan jadi selama 1 minggu polisi akan mencoba mencari tau apa yang sebenarnya terjadi. Oh, jika kalian bertanya kenapa polisi tidak mempercayai kesaksian kami sebagai korban (Leo dan Elena), itu karena polisi dituntut harus menyelesaikan masalah yang ada dengan logika. Jadi karena aku dan Elena mengatakan hal-hal yang diluar akal sehat, maka polisi tidak menyelesaikan masalah ini dengan begitu saja saat medengar pernyataan kami padahal itulah yang sebenarnya terjadi. Aku sangat frustasi mengingat itu.

Sudah sejak pagi mereka berangkat, dan sekarang sudah sore, namun belum juga kembali. Apa akan menghabiskan waktu seharian untuk menemukan semua hal yang aku tulis?. Memang tidak akan semudah itu, apalagi tidak bisa yakin 100% jika barang itu masih ada disana semua. Jam terus berdetak, tak terasa sekarang sudah menunjukan pukul 21.00 namun Elena juga Pendeta Ben tidak kunjung datang, itu membuatku sangat khawatir. Seharusnya kalau tidak berhasil menemukan barang yang di tuju lebih baik mereka kembali saja kesini, atau paling tidak mengabariku lewat ponsel. Saat aku mencoba keluar ruang inap, telihat dari bawah pintu lampu di lorong tiba-tiba berkedip cepat, tapi aku memberanikan diri untuk membuka pintu ruangan ini. *Kriett*

"Anda mau kemana sir?" tanya suster tiba-tiba tepat di depan pintu.

"Ah Sh*t!!" umpatku refleks

"Oh, maafkan aku, aku benar-benar tidak tau" tambah Leo langsung membungkuk

"Ya tida apa, kemari saya akan melakukan medical check up" katanya sembari membawa perlatan medis

"Oke, baiklah" Leo kembali duduk di ranjangnya

Suster mulai melakukan pemeriksaan, di samping itu aku benar-benar sudah tidak bisa tenang mengingat istriku belum kunjung kembali dengan Pendeta Ben. Saat aku mencoba untuk menghubunginya (Elena), ponselku tidak ada disini meski sudah aku cari satu ruanganpun.

"Err, maaf suster apa anda tau dimana barang-barang pasien disimpan?"

Suter itu hanya *menggelengkan kepala*. Lalu aku mencoba untuk bertanya kembali padanya.

"Telephone disini tidak berfungsi, bisakah saya meminjam ponsel anda?" Leo bertanya kembali

Dan suster itu kembali menjawab dengan gestur lagi *Mengangkat bahu* kemudian pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata apapun. Apa memang pelayanan disini sangat buruk dari pertama kali aku di rawat? Gerutuku. Mungkin aku memang harus keluar sebentar untuk mencari telephone umum disekitar rumah sakit dan jika tidak ada mau tidak mau aku harus meminjam telephone dari resepsionis di lobby. Aku melihat kembali ke bawah pintu, ternyata lampu di lorong sudah kembali normal, jadi aku memutuskan untuk pergi keluar mencari telephone umum. Aku mulai berjalan menyusuri lorong sambil menggeret tiang infus bersamaku. Lorong ini sangat sunyi, mungkin karena memang sudah malam jadi pasien di kamar lain sudah tertidur lelap tidak sepertiku yang malah berkeliaran begitu saja. "Wah aku seperti buronan yang kabur dari sel" gumamku sambil melihat-lihat sekitar untuk menghafal jalan.

"Dulu aku duduk di situ sambil menunggu ayah datang"

Bisikan yang tiba-tiba saja terdegar saat aku melewati sebuah ruangan, yang terlihat seperti ruang tunggu dengan perapian cukup hangat disana. Aku kembali berjalan, mengabaikan itu semua karena akan memakan waktu nantinya.

"Lagi pula aku tidak peduli dengan urusan kalian" ucapku dengan frontal

Terlihat lobby depan yang sepertinya agak sepi, tidak seperti rumah sakit pada biasanya. Beberapa pasien dan orang yang mungkin mengantar keluarganya ke rumah sakit tengah duduk di kursi tunggu dengan tatap kosong. Aku berpikir mungkin mereka kelelahan menunggu disini, yah wajar saja untuk orang sakit terlihat pucat begitu. Aku juga tidak peduli dengan urusan orang lain pikirku. Dua satpam yang tengah berjaga di depan pintu masuk tidak melarangku sama sekali saat aku pergi keluar tanpa izin, mereka hanya menoleh sebentar lalu kembali menatap ke arah depan. "Wah...benar-benar seperti robot" gumamku kagum. Setelah berjalan beberapa langkah dari rumah sakit akhirnya aku menemukan sebuah telephone umum, tapi sekarang masalahnya adalah.

"Anjinggg!! Aku tidak punya uang koin!!" teriakku kesal.

Dasar manusia bodoh, bagaimana bisa aku pergi dan berpikir untuk mencari sebuah telephone umum tanpa membawa uang sepeserpun. Memang orang panik akan melakukan semua tindakan yang sangat bodoh dan ceroboh. Jadi, aku terpaksa kembali menuju rumah sakit sambil terus menggeret tiang infus ini dan meminjam telepone di lobby.

"Hello miss, bolehkah saya menggunakan ini? Tidak, i mean meminjamnya" tanyaku sambil menunjuk ke arah telephone.

Wanita itu menatapku tajam untuk sesaat, lalu kemudian *Mengangguk* yang artinya "Iya" atau "Boleh". Dengan cepat aku langsung mengambilnya dan menekan beberapa angka yang selalu aku ingat karena itu adalah hal yang cukup penting.

*Tut* *Tut* Belum juga ada jawaban. Lalu dari arah belakang dengan cepat melesat begitu saja sebuah pisau cukup tajam dan menancap di dahi wanita yang tengah duduk dibangku resepsionis.

*Brukk* wanita itu ambruk seketika dengan darah yang mengalir banyak. Seluruh tubuhku bergetar hebat karena melihat kejadian itu tepat di depan mataku. Orang-orang yang berada di kursi tunggu mulai berhamburan tak tentu arah, seperti orang yang baru saja tersadar dari hipnotis. Teriakan yang bergema diseluruh ruangan membuat semua panik tak terkecuali aku. Pintu terkunci dengan sendirinya sedangkan para satpam yang tadi berjaga terlihat sangat mengenaskan dengan kepala yang tertancap gagang pintu. Entah siapa yang melakukan ini semua, kejadiannya terlalu cepat dan tidak terlihat sama sekali. Aku yang masih di lobby tertabrak oleh orang-orang yang panik berlarian, hingga infusku tercabut paksa karena tiang infusnya tertabrak oleh seseorang.

"Argh si*lan.." rintihku memegang tangan

Karena tercabut begitu saja jadi menyebabkan pendarahan di tanganku, sambil menyeret tubuhku berusaha kembali ke ruangan tadi, aku merobek lengan baju guna membalut tanganku agar darah tidak terus menetes. Aku berusaha menjaga kesadaranku, mual dan sangat lemas rasanya membuatku sangat tersiksa. Entah halusinasi atau memang ini penglihatanku, di ujung lorong terlihat bayangan seorang anak kecil tengah berdiri. Apa itu? Aku yakin yang aku lihat tadi hanyalah bayangan sesosok anak kecil, tapi setiap langkahku dia akan terlihat membesar. Dengan perlahan, aku mulai melangkah mundur dan sialnya setiap aku melangkah dia juga akan berjalan maju.

"Aku harap ini hanya ilusiku saja" gumamku sambil memejamkan mata

'TENTU SAJA BUKAN, ADIKKU'  suaranya menggeram dan sangat menusuk telinga.

Adikku? Tunggu? Itu kakak? pikirku. Dan saat aku membuka mata, dia datang secara tiba-tiba lalu mencekikku sangat erat hingga aku kesulitan untuk bernafas.