Ethan Pramata

Di sebuah kota kecil bernama Kendari, hiduplah seorang pemuda bernama Ethan Pramata. Usianya 25 tahun, bekerja sebagai cleaning service di sebuah perusahaan swasta. Rambut hitamnya selalu tergerai bebas, dan sorot matanya yang cokelat tajam kerap menyiratkan kelelahan dan harapan yang samar. Ethan punya hobi membaca novel—terutama yang bertema horor dan fantasi. Membaca bagi Ethan bukan sekadar kegiatan, melainkan bagian dari hidupnya.

Pagi itu, cuaca cerah. Ethan melangkah menuju tempat kerjanya dengan mengenakan seragam biru cleaning service dan celana jeans yang mulai pudar warnanya. Jam sudah menunjukkan pukul 08.00 WITA ketika ia mulai menyapu lantai dan membersihkan meja-meja kantor seperti biasa.

Pukul 12.00 WITA

Saat jam istirahat tiba, Ethan duduk di taman kecil dekat kantor. Ia membuka ponselnya dan mulai membaca novel digital kesukaannya. Sesekali matanya melirik pepohonan yang bergoyang pelan ditiup angin.

"Ahhh... sampai kapan aku harus terus hidup begini?" gumamnya pelan.

"Entah kenapa, aku ingin sekali hidupku seperti karakter utama di novel-novel yang aku baca..."

Lamunannya buyar ketika sebuah suara keras mengagetkannya.

"Heii! Ethan! Jangan melamun, nanti kau kesurupan!" teriak seseorang.

Ethan menoleh kaget. Ternyata Bintang, rekan kerjanya, berdiri di belakangnya dengan ekspresi jahil.

"Ya Tuhan! Kaget aku!" ujar Ethan sambil menepuk dadanya.

Bintang tertawa lepas. "Makanya, jangan melamun terus."

"Aduh... jadi ada apa nih, Bintang?"

Tanpa menjawab langsung, Bintang duduk di sebelah Ethan dan menyerahkan sebotol minuman dingin padanya.

"Nih, minum dulu. Kau kelihatan seperti orang banyak pikiran."

"Hmm... mungkin memang iya. Hidupku terasa jalan di tempat," jawab Ethan, mengambil botol itu.

Bintang melirik layar ponsel Ethan, lalu tiba-tiba merebutnya.

"Lah, kamu suka baca novel, ya?" tanyanya sambil melihat layar.

"Eh, kembalikan! Itu privasi, tahu!" Ethan berusaha merebut kembali ponselnya.

Bintang tertawa. "Santai aja, bro."

"Ngomong-ngomong, habis kerja nanti ikut aku ke perpustakaan, yuk!" ajaknya tiba-tiba.

Ethan menatapnya heran. "Kenapa tiba-tiba ngajak ke perpustakaan?"

"Aku pengin baca beberapa buku, siapa tahu kamu punya rekomendasi. Kamu kan kutu buku," jawab Bintang dengan wajah ceria.

Ethan tertawa. "Nggak nyangka kamu suka baca juga."

"Heii, jangan bikin aku malu!" sahut Bintang, cemberut.

"Tenang aja. Mungkin aku bisa bantu pilihkan buku yang menarik buat kamu."

"Mantap! Selesai kerja, langsung kita ke sana, ya!" seru Bintang.

"Sip. Tapi sekarang kita balik kerja dulu, bos," kata Ethan sambil bangkit.

Setelah jam kerja usai pukul lima sore, Ethan keluar dari kantor. Di depan, Bintang sudah menunggunya sambil bersandar di sepeda motor.

"Sudah siap, mas bro?" sapa Bintang dengan senyum lebar.

"Ayo cepat, nggak usah banyak omong," jawab Ethan sambil tersenyum tipis.

Mereka pun berangkat berboncengan menuju perpustakaan kota Kendari. Perjalanan tidak memakan waktu lama. Sesampainya di depan gedung megah berarsitektur klasik itu, Ethan berdiri sejenak memandangi fasad perpustakaan yang penuh kenangan.

"Kapan terakhir ya, aku ke sini?" gumamnya.

"Lah, ini pertama kalinya aku ke tempat begini," ujar Bintang sambil cekikikan.

"Nggak heran juga sih. Lihat penampilanmu, kayak preman," canda Ethan.

"Hahaha, jadi menurutmu preman nggak boleh ke perpustakaan?"

"Boleh sih... asal jangan bikin malu."

"Udah, ayo masuk! Si abang preman ini sudah nggak sabar baca novel romantis," seru Bintang dengan semangat.

Ethan tertawa kecil, dan mereka pun masuk. Di dalam, ratusan rak buku berjajar rapi. Suasana sunyi dan tenang langsung menyambut mereka. Aroma khas buku-buku lama menyelimuti udara.

"Astaga, Ethan... banyak banget buku di sini. Bingung aku," ujar Bintang sambil menatap rak-rak tinggi.

"Aku juga selalu takjub meskipun sudah sering ke sini," sahut Ethan.

Tiba-tiba, seorang wanita menghampiri mereka. Seragam petugas perpustakaan membungkus tubuhnya yang ramping. Rambut hitam sebahu dan mata cokelatnya yang tenang membuat kehadirannya terasa hangat.

"Permisi, mas. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan sopan.

Ethan cepat-cepat membalas senyum. "Oh, tidak, Mbak. Kami cuma... ya, kagum saja lihat banyaknya buku."

Wanita itu terkekeh kecil. "Saya kira kalian berdua kesurupan tadi. Diam saja seperti lihat hantu."

"Kalau kesurupan beneran, bahaya juga ya, Mbak. Bisa viral!" timpal Bintang sembari tertawa.

"Hei, Bintang, jangan berisik. Ini perpustakaan!" tegur Ethan.

"Maaf, mas bro," sahut Bintang, masih cekikikan.

"Kalau begitu, saya tinggal dulu ya. Kalau ada yang dibutuhkan, panggil saja," ujar sang petugas sebelum kembali ke mejanya.

"Baik, Mbak. Terima kasih," balas Ethan.

Setelah itu, mereka mulai memilih buku. Ethan membantu Bintang mencari novel ringan, sementara dirinya sendiri sibuk berburu buku horor favorit. Mereka lalu duduk di sudut ruangan yang tenang.

"Hei Ethan," bisik Bintang, "petugas tadi cantik, ya?"

"Baca bukumu aja, jangan ganggu," jawab Ethan datar.

"Padahal aku mau minta nomor HP-nya tadi, loh," goda Bintang.

"Hah! Mana mungkin dia mau kasih ke preman kayak kamu," balas Ethan sambil tersenyum.

"Ish, dasar teman nggak suportif."

Ethan tertawa dan bangkit dari tempat duduk.

"Aku mau cari buku buat dibawa pulang. Kamu tunggu sini aja."

"Siap, mas bro. Eh, kalau ketemu Mbaknya, minta nomor HP-nya juga ya!" seru Bintang.

"Kalau dikasih..." jawab Ethan sambil berlalu.

Ethan kembali menyusuri rak-rak buku. Langkahnya pelan, matanya sibuk menelusuri judul-judul. Tapi pikirannya malah melayang ke kalimat yang sempat ia ucapkan di taman tadi siang: “Aku ingin hidup seperti karakter utama di novel...”

Saat ia mulai merasa buntu memilih buku, sebuah suara lembut memanggil namanya.

"Permisi Mas?"