Di tengah lorong sunyi perpustakaan, seorang perempuan berdiri di depan Ethan. Petugas perpustakaan itu menatapnya dengan senyum tipis.
“Kamu memanggilku?” tanya Ethan dengan dahi berkerut.
“Iya, Mas. Maaf sebelumnya, boleh minta tolong sebentar?” suaranya lembut namun datar, ada sesuatu yang tak biasa dari nada bicaranya.
Ethan mengangguk pelan. “Boleh, minta tolong apa ya?”
“Tolong bantu aku memindahkan buku-buku ke rak. Cuma satu kardus kok.”
“Boleh saja. Di mana bukunya?”
“Yuk, ikut aku.” Ia berbalik, melangkah menuju pintu besi tua di ujung lorong.
Ethan mengikuti langkah perempuan itu menuju gudang perpustakaan. Saat pintu dibuka, aroma debu tua langsung menusuk hidung. Di dalamnya, kardus-kardus menumpuk di sudut ruangan. Beberapa tampak baru, namun sebagian lainnya sudah menguning dimakan waktu.
Petugas itu menyerahkan satu kardus pada Ethan.
“Mas, tolong taruh kardus ini di dekat rak buku, persis di pintu masuk gudang. Nanti aku yang atur.”
“Oke,” jawab Ethan sambil mengangkat kardusnya.
Dalam hati ia bergumam, “Perpustakaan sebesar ini, masa cuma satu pegawai?”
Saat Ethan tiba di dekat rak, ia meletakkan kardus perlahan. Matanya menangkap sebuah buku tua di dalamnya. Sampulnya coklat pudar, berselimut debu, dengan tulisan nyaris tak terbaca: ‘Kenyataan dalam Halaman’.
“Buku ini...” gumam Ethan sambil mengelap sampulnya. Ada sensasi aneh saat jemarinya menyentuh kulit buku itu—dingin dan sedikit berdenyut.
Ia membuka halaman pertama. Tulisan besar menyambutnya:
“Di dalam kegelapan, terdapat kebenaran yang menunggu.”
Baru saja membaca itu, hawa di sekitarnya berubah. Angin dingin seperti menyelinap masuk dari celah rak buku. Ethan menoleh ke sekeliling—lorong perpustakaan kini sunyi, terlalu sunyi.
Ia menelan ludah dan melanjutkan membaca.
“Liam, sang pemburu kegelapan…”
“Nama tokoh utama, mungkin,” ucap Ethan sambil tersenyum kecil.
Namun senyum itu lenyap seketika saat lampu di atasnya mulai berkedip... lalu padam.
Suasana berubah mencekam. Gelap total. Jantung Ethan berdegup keras. Ia merasa ada sesuatu—atau seseorang—mengawasinya.
Perlahan ia menoleh ke belakang.
Sosok itu berdiri di ujung lorong. Seorang wanita bergaun hitam, rambut panjang terurai, tubuhnya hitam legam seperti bayangan, dan sepasang mata merah menyala menusuk kegelapan.
Ethan ingin berteriak, tapi mulutnya terkunci. Tubuhnya membeku.
Sosok itu melayang mendekat. Mulutnya terbuka, mengeluarkan suara seperti kertas yang koyak diseret angin.
Dengan putus asa, Ethan melemparkan buku ke arah sosok itu—namun lemparannya menembus tubuhnya, seolah tak berbobot. Anehnya, sosok itu menoleh ke arah buku yang jatuh. Tangannya meraihnya... dan memeluknya.
Hantu itu mendekat, sangat dekat. Nafas Ethan tercekat. Sosok itu membisikkan satu kata:
“...Pembaca…”
Kata itu menggema di kepala Ethan, menghantam pikirannya. Dunia berputar. Pandangannya kabur. Gelap menelan segalanya.
“Mas Bro! Bangun!”
Suara Bintang membuyarkan kegelapan. Ethan membuka mata—ia berbaring di lantai koridor perpustakaan. Di sampingnya, Bintang dan petugas perpustakaan itu menatapnya dengan wajah panik.
“Minum dulu, Mas.” Perempuan itu menyodorkan sebotol air.
“Apa... apa yang terjadi?”
“Kamu pingsan,” kata Bintang. “Tiba-tiba kami temukan kamu jatuh di lorong.”
Ethan duduk perlahan, tangannya gemetar. Anehnya, buku itu masih dalam pelukannya—erat, seperti tak rela dilepaskan.
“Maaf… saya masih mau pinjam buku ini,” ucap Ethan sambil menatap sampulnya.
“Baik, saya proseskan dulu,” ucap perempuan itu.
Setelah proses peminjaman selesai, Ethan dan Bintang meninggalkan perpustakaan. Jalanan sore terasa lebih dingin dari biasanya. Sampai di depan rumah Ethan, Bintang menepuk pundaknya.
“Langsung istirahat, Bro. Muka lo pucat banget.”
“Iya, makasih ya.”
“Besok aku cek lagi, siapa tahu kamu udah kesambet,” candanya setengah serius.
Ethan tertawa lemah, lalu masuk ke rumah.
Sunyi.
Rumah Ethan memang selalu sunyi. Ia tinggal sendiri. Setelah meletakkan buku itu di meja kamarnya, Ethan masuk kamar mandi, mencoba menyegarkan diri. Tapi suara-suara dari lorong perpustakaan tadi terus membayangi pikirannya.
Selesai mandi, ia berbaring di ranjang, mencoba santai sambil main ponsel. Namun...
“Ethan…”
Bisikan itu terdengar lagi. Sangat dekat.
Ia menoleh—buku itu terbuka... sendiri. Halamannya bergetar pelan seolah tertiup angin, padahal jendela tertutup rapat.
“Ini... gak normal,” ucapnya.
Tapi rasa penasaran membuncah.
“Baiklah, akan kubaca malam ini. Toh besok aku libur.”
Ia duduk, mengambil buku itu, dan mulai membaca.
Waktu bergulir cepat. Tanpa sadar, pagi menjelang. Jam menunjukkan pukul 07.00.
“Akhirnya tamat juga... tapi—”
Bab terakhir sobek. Tidak ada penutup cerita. Tidak ada jawaban atas akhir petualangan Liam.
“Yah... sial,” keluhnya. “Tapi ceritanya gila banget.”
Ethan berbaring, memeluk buku itu. Matanya mulai berat. Pikiran tentang Liam dan dunia dalam novel itu masih terputar di kepalanya.
Dalam tidurnya, Ethan berada di ruang gelap, seperti tidak ada dinding, tidak ada tanah. Hanya kehampaan.
Lalu terdengar suara berbisik:
“Ethan Pramata…”
Ethan terbangun dengan terengah. Keringat dingin membasahi lehernya.
Dan dari meja, halaman buku itu terbuka pelan… sendiri.